Delapan cerpen FFK 2011 mendapat kunjungan masing-masing kurang dari 50 klik. FFK berhasil menghimpun lebih dari 170 kelompok kolaborasi. Jika setiap kelompok beranggotakan 2 Kompasianer, maka ada 340 Kompasianer yang terlibat dalam 'huru-hara' festival tersebut. Jika setiap Kompasianer yang berkolaborasi mengklik setiap karya fiksi yang diposting, maka setiap karya tersebut akan mendapat minimal 339 klik. Kenyataannya, 8 cerpen dan 18 puisi masing-masing hanya mendapat kurang dari 50 klik. Data ini diambil pada 28 Maret 2011, 10 hari setelah usainya FFK 2011. Delapan cerpen yang tersedikit dikunjungi tersebut adalah (diurutkan mulai posting terbaru): 1.
Untuk Sebuah Cita-cita Bag.2 (mendapat 42 klik/23 komentar) 2.
Falih dan Cerita Mandi Bola (27/12) 3.
X, Y = XY (49/24) 4.
Lika-liku Hati (48/10) 5.
Aku, Vero dan Hatiku (41/10) 6.
Wachid (25/12) 7.
Selembar Daun Kering untuk Pengirim Bom (38/15) 8.
Sebuah Nisan Bertulis Kartini (49/19)
PENYEBAB Beberapa hal dapat diduga sebagai penyebab mengapa hanya sedikit Kompasianer yang mengunjungi delapan cerpen tersebut: 1. Link dari postingan tersebut belum dilaporkan ke kampung fiksi, misalnya
Falih dan Cerita Mandi Bola 2. Sedemikian banyaknya karya fiksi yang diposting pada 2 hari berturut-turut yang, menurut Bang
Odi Shalahuddin, seperti
banjir bandang menyebabkan para Kompasianer sibuk luar biasa dan kebingungan untuk mengklik postingan mana. 3. Catatan khusus bagi
Untuk Sebuah Cita-cita Bag.2. Cerpen ini hanya mendapat 42 klik, 23 komentar dan 5 vote inspiratif, sedangkan
Untuk Sebuah Cita-cita Bag.1 mendapat 158 kunjungan, 96 komentar dan 25 vote inspiratif. Mengapa bisa terjadi demikian? Selain sebab nomer 2 di atas, kemungkinan lainnya adalah gaya penulisan dalam USC-1 yang bilingual (dwibahasa) membuat mereka yang telah mengkliknya tidak berminat untuk mengklik lanjutannya. Tetapi, ini hanya dugaan saja. Menyisipkan dialog bahasa setempat ke dalam sebuah cerpen memang dapat menghidupkan suasana cerpen seperti dalam
Air Mata Kumiko, misalnya. Tetapi, USC-1 dan USC-2 seperti sebuah kamus bahasa Jawa - Indonesia. Sementara itu bahasa Jawa dalam cerpen-cerpen tersebut terasa 'asing'. USC-2 dibuka dengan "
Sumpriiit! Aku ngga ngerti opo sih sing ditakoni bu guru... lah ya opo belajar bahasa inggeris meh aku ngga butuh bahasa inggeris" seharusnya "
Sumpriiit! Aku ngga ngerti opo sih sing ditakokno bu guru... lah kanggo opo belajar bahasa inggeris nek aku nggak butuh bahasa Inggris".
PELEMBAB Kepada kolaboran yang karyanya belum mendapat kunjungan yang 'memuaskan', teruslah berkarya. Dengan berkarya secara rutin dan teratur, niscaya kemampuan untuk menghasilkan karya yang aktual, inspiratif, bermanfaat, dan menarik akan semakin terasah. Kepada Kompasianer yang belum klik cerpen-cerpen tersebut, dipersilahkan mengkliknya. Kliklah tanpa paksaan, tanpa godaan, dan tanpa ancaman. Saya tidak mengatakan bahwa cerpen-cerpen tersebut layak baca (
worth reading), karena itu jika sahabat Kompasianer ingin memberi kritik yang kelak bisa membuat para kolaboran mampu meningkatkan karya mereka, monggo please.
KEMBALI KE ARTIKEL