Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

(Rase) Begal Alas Pandanagung

15 Mei 2011   08:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:40 163 2
Matahari bersinar cerah. Pasar Prambon mulai sepi. Para pedagang mulai mengemasi barang dagangan mereka. Hanya beberapa orang pembeli yang tertinggal. Para pedagang dan pembeli akan bertemu lagi pada Pahing berikutnya. Pasar Prambon - disebut pasar pahing - ramai oleh pedagang dan pembeli setiap Pahing, sekali sepekan.

Sekelompok lelaki dan perempuan bergerombol di salah satu sudut pasar. Mereka nampak gelisah. Ada yang berjalan mondar-mandir. Yang lain, sebentar duduk sebentar berdiri. Kegelisahan ini tertangkap mata Rase. Bocah lelaki - yang kini berumur empat belas - itu belum pulang karena dia menunggu pedagang yang sedang menyiapkan barang-barang yang dibeli Rase. Bocah itu mendekati mereka. "Kalian sedang menunggu siapa?" tanya Rase kepada seorang lelaki.

"Bido," jawabnya dengan acuh.

"Siapa Bido itu?"

Lelaki itu tidak menjawab. Perempuan di sampingnya, mungkin isterinya, mengatakan kepada Rase bahwa Bido adalah pengawal atau pelindung mereka terhadap para begal. Perempuan itu melanjutkan bahwa dia dan kelompoknya berasal dari Desa Kali Kethek. Dalam perjalanan mereka pergi pulang dari Prambon, mereka harus melintasi hutan Pandanagung. Di hutan ini, mereka sering dihadang beberapa orang begal. Suatu hari, Bido menolong mereka. Lelaki itu mengalahkan para begal. Dan, sejak saat itu Bido selalu menjadi pengawal mereka. Tentu saja, orang-orang itu berterima kasih kepadanya. Sebagai ucapan terima kasih, orang-orang itu memberi Bido sejumlah uang.

Rase penasaran. Dia ingin tahu seperti apakah Bido itu. Rase mengambil barang belanjaannya, menaruhnya ke dalam dua buah keranjang, dan memikulnya. Rase menggabungkan diri dengan orang-orang dari Kali Kethek itu.

Tak lama kemudian, seorang lelaki tegap datang menghampiri mereka. Orang-orang itu segera berdiri, menyiapkan semua barang belanjaan, dan berangkat. Rase juga berangkat, bukan untuk pulang ke desanya Tluwe tetapi ikut ke Kali Kethek. Sepanjang perjalanan, tak ada yang berbicara, bercanda, apalagi tertawa. Hanya suara decit pikulan bambu, bersahut-sahutan, mengiringi langkah kaki tergesa-gesa. Nampaknya orang-orang itu ingin segera terbebas dari hutan Pandanagung. Suasana yang aneh, hawa kematian. Decit pikulan bambu mengalunkan senandung marabahaya, bersahutan.

Akhirnya, rombongan itu berhasil melintasi hutan Pandanagung tanpa gangguan apapun. "Nah, kalian sudah aman sekarang," Bido berkata. Rombongan itu berhenti, menurunkan barang bawaan, dan memberi uang terima kasih kepada Bido. Lelaki itu menerimanya dan segera pergi, kembali memasuki hutan Pandanagung. Rombongan itu melanjutkan perjalanan mereka, tetapi Rase duduk di bawah sebatang pohon.

"Ayo berangkat, Le," seorang lelaki berkata kepada Rase.

"Saya masih ingin istirahat sebentar lagi, Pak. Lagi pula, kita 'kan sudah aman."

"Iya, tetapi hati-hati sendirian di tepi hutan. Jangan sampai digondol wewe." Suara lelaki itu ceria.

Rase menyembunyikan barang belanjaannya di rerimbunan semak-semak. Dengan langkah ringan, dia menyusul Bido. Dari jarak sepemanah, Rase mendengar Bido sedang berbicara kepada tiga orang lain. Tahulah Rase bahwa mereka adalah satu komplotan begal, Bido salah seorang anggotanya.

"Jadi, begitu cara kalian mencari uang!" Suara Rase mengejutkan ke empat begal itu. Serempak mereka menyerang Rase. Serangan itu sangat mudah dielakkan. Gerakan dan jurus mereka kacau, kaku, dan tidak terarah. Tahulah Rase bahwa ke empat orang itu sama sekali tidak menguasai ilmu kanuragan. Hanya karena penampilan yang menyeramkan, mereka berhasil menakut-nakuti orang. Dengan cepat Rase dapat melumpuhkan mereka, benar-benar lumpuh. Mereka terduduk di tanah dengan lutut serasa lepas dari tempurungnya.

"Maafkan kami, Kisanak. Tetapi, kami tidak pernah melukai siapapun," Bido memohon-mohon.

"Kenapa kalian tidak mencari pekerjaan yang baik? Di desa kami, Tluwe, kalian bisa menjadi penggarap sawah ladang. Kami memerlukan banyak orang untuk ...,"

"Terima kasih, Kisanak. Terima kasih. Terima kasih."

Pesan moral:

Bido memanfaatkan 'rasa takut' orang-orang Kali Kethek untuk memperkaya diri. Orang yang selalu takut, cemas, atau kuatir adalah korban dari 'rasa takut' itu sendiri.

CERITA TENTANG RASE DAPAT DI BACA DI Prajurit Telik Sandi Mahapatih Gajah Mada.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun