Mbok Tamirah memiliki beberapa petak sawah dan ladang. Dia memilih sawah ladangnya digarap oleh para buruh tani dari desanya sendiri walaupun dia harus menunggu giliran. Dan, selalu saja dia mendapat giliran terakhir. Seperti pada musim tanam yang lalu, dia mendapat giliran terakhir untuk menyewa pembajak untuk mengolah sawah ladangnya. "Kapan sawah ladang kita digarap, Mak?" tanya Rase.
"Seperti biasanya, pada giliran terakhir. Dua pekan lagi," jawab Mbok Tamirah tanpa menunjukkan rasa kecewa karena selalu mendapat giliran terakhir.
Keesokan paginya, sesaat setelah ayam berkokok, Rase pergi menuju sawah ladangnya. Bocah lelaki berumur sebelas tahun itu mulai mencangkul. Menggunakan jurus garan pacul - yang telah dilatihnya selama bertahun-tahun - diolahnya tanah sawah dan ladang itu. Sebelum matahari meninggi, ketika para penggarap tiba di lahan yang akan mereka kerjakan hari itu, Rase telah selesai mencangkul semua sawah ladangnya. Para penggarap biasanya memerlukan dua atau tiga hari untuk bisa menyelesaikan pekerjaan seperti itu. Kemudian Rase pergi ke hutan sebelah barat untuk menemui gurunya.
Bibit telah siap. Rase menanam bibit padi itu pagi berikutnya. Kokok ayam jantan mengantarkan dia menuju sawah ladang. Dicabutinya bibit yang telah disemaikan beberapa hari sebelumnya. Ditancapkannya bibit-bibit padi itu berjajar rapi di petak-petak sawahnya. Selesai. Rase menuju ladang. Dibuatnya lubang-lubang dengan sebatang ranting, dimasukkannya ke dalam lubang-lubang itu tiga atau empat butir padi, dan ditutupnya lubang-lubang itu kembali dengan tanah. Pekerjaan itu selesai sebelum para petani lain tiba di sawah ladang mereka pagi itu.
Lima bulan berlalu. Padi sudah siap dituai. Seperti yang sudah-sudah, Mbok Tamirah kembali mendapat giliran terakhir untuk mendapatkan buruh tani yang akan mengerjakan penuaian. Ayam jantan mengingatkan Rase - dengan kokoknya - bahwa hari baru segera dimulai. Rase bangun dari tidurnya, berangkat menuju sawah ladangnya. Harum aroma padi yang siap tuai dan hawa sejuk pagi hari membuat Rase bersemangat. Dituainya padi di sawah ladangnya, diikatnya berberkas-berkas. Dikumpulkannya juga damen 1) dan diikatnya. Selesai.
Matahari belum memunculkan diri di ufuk timur, Rase memandang hamparan padi di sawah dan ladang lain. "Mereka harus menunggu beberapa pekan untuk bisa menuai padi-padi itu," gumam Rase seorang diri. "Burung-burung akan memakan padi-padi yang sudah siap tuai itu. Ah, apa perduliku. Itu bukan padiku, itu bukan milikku."
Rase duduk di pematang sawah, dia menghadapi dua pilihan: membiarkan padi-padi itu dituai beberapa pekan lagi dan burung-burung akan menjarah atau menolong pemiliknya untuk menuai padi-padi itu. "Ilmu yang berguna adalah ilmu yang dipakai untuk menolong orang lain, bukan untuk merugikan atau menyengsarakan orang lain," Rase teringat pada apa yang dikatakan gurunya beberapa hari yang lalu.
Rase bangkit, dituainya semua padi itu, diikatnya berberkas-berkas, ditaruhnya berkas-berkas itu di petak-petak sawah. Matahari mulai menyembulkan wajahnya ketika Rase telah selesai menuai padi-padi itu. Rase segera pergi ke tengah hutan. Pagi itu, desa Tluwe gempar.
Pesan Moral:
"Ilmu yang berguna adalah ilmu yang dipakai untuk menolong orang lain, bukan untuk merugikan atau menyengsarakan orang lain," kata lelaki tua itu kepada Rase. Dan, itu benar.
---------------------
1) damen = batang padi sehabis dituai
CERITA LAIN TENTANG RASE BISA DILIHAT DI Prajurit Telik Sandi Mahapatih Gajah Mada.