Mohon tunggu...
KOMENTAR
Kebijakan

Pilar Otonomi Daerah

19 Mei 2012   00:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:07 313 0
Berdasarkan data yang ada, terdapat sekurangnya empat pilar otda yang dilanda arus balik. Pertama ; pilar politik elektoral, ditandai munculnya wacana pergantian sistem pilkada langsung (pilkadal) dengan kembali memakai sistem tak langsung, seperti pemilihan oleh DPRD (usulan PBNU) atau pengangkatan gubernur oleh presiden (rekomendasi Lemhannas). Alasannya bersifat teknis, pilkada memakan biaya besar dan tidak efisien.

Kedua, pilar pelayanan publik, ditandai inkonsistensi kerangka kebijakan pusat bagi reformasi birokrasi lokal. Fakta di sebagian daerah menunjukkan, sistem pelayanan terpadu (one stop service) terbukti sukses menjadi titik masuk pembaruan civil and public service. Pelayanan birokrasi berlangsung lebih cepat, jelas dan murah, dengan kinerja yang relatif profesional dan humanistik. Grafik kepuasan dan kepercayaan publik dan pelaku bisnis juga meningkat dibandingkan dengan masa sebelumnya.

Sedemikian jauh daerah telah melangkah, ternyata pusat tak siap dan malah bertendensi negatif. Langgam kebijakan tidak saja maju-mundur, tapi bahkan mempraktikkan gerakan patah-patah, suatu waktu daerah didorong maju (Permendagri No.24/06), tak lama berselang lalu dipreteli (PP No.41/07). Akibatnya daerah pecah dalam dua sikap : nekat jalan terus atau sebaliknya apatis (bermain aman).

Ketiga, pilar keuangan daerah, ditandai diskrepansi antara desentralisasi fiskal yang semakin kuat dengan administrasi perencanaan dan pengelolaannya yang kurang efektif. Seiring gonta-ganti aturan induk (Kepmendagri No.29/02, Permendagri No.13/06, kini Permendagri No.59/07), tidak saja mengganggu sistem penganggaran/APBD, tetapi asas Anggaran Berbasis Kinerja yang menjadi roh reformasi administrasi keuangan daerah turut memudar.

Akhir dari semua itu, diperparah lagi oleh SDM pemda/DPRD dan aturan yang sering tak konsisten sehingga menjadi sebuah bumerang bagi aparatur dan stakeholder, sehingga berdampak pada rendahnya daya serap APBD dan terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini. Dapat dipahami, jika ada alih-alih menggandakan belanja modal bagi program kesejahteraan rakyat, sebagian besar uang justru habis membiayai birokrasi atau diparkir sebagai dana nganggur berbentuk SBI yang tak produktif. Di sini ada missing link dalam relasi intrinsik antara desentralisasi fiskal, administrasi keuangan, dan agenda pembangunan. Ini adalah wujud kejahatan anggaran yang serius, hanya setingkat di bawah korupsi.

Keempat, pilar manajemen otda, ditandai kaburnya sistematika kerja dalam beberapa agenda kunci. Belum lama ini misalnya, Presiden SBY meminta agar problem lokal tidak selalu diusung ke istana dan cukup diselesaikan pemda setempat. Ini mestinya dilihat sebagai otokritik bagi pusat sendiri yang baru berfungsi memproduksi regulasi, dan acuh tak acuh dalam menjalankan tugas lanjutannya, penguatan kapasitas pemda. Jadi jangan heran jika pemda sulit menjadi tempat penyelesaian masalah bagi warganya, sebab masalah pemda sendiri pun kerap dibawa ke Jakarta (pemerintah pusat) .

Pilar-pilar tersebut bukan saja menjadi sendi inti dalam otda tetapi juga ciri pokok yang mewakili hadirnya otonomi daerah di ranah masyarakat. Sebaliknya, hilangnya pilar-pilar tersebut, atau terlalu banyaknya masalah yang mengitarinya, menandai absennya otonomi dalam relung kehidupan rakyat, sekaligus bukti kalau mereka belum menyatu dalam kerangka sistem yang ada.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun