.
“Koq macet jugaaa?!.. Katanya lebaran di Jakarta sepi ?”, protes Mamat Sambat kepada Bapak-nya saat kendaraan mereka memasuki simpang susun dan macet berhenti. Jam sebelas siang, ratusan kendaraan roda empat berjejal di tol Cawang. Berusaha memampatkan sepuluh lajur dirinya ke dalam dua lajur yang tersedia. Bemper saling menempel dan spion salam-salaman.
“Ini karena semua orang mau salam-salaman ke rumah handai taulan”, jawab Doel Semprul sambil kepalanya melongok-longok ke kanan memperhatikan apakah kaca spionnya sudah cukup menempel dengan mobil sebelah. Semprul! Ia cuma butuh satu senti saja untuk menyalip kaca spion mereka, untuk menghalangi mobil sebelahnya maju. Sehingga ia bisa masuk duluan. Ini Jakarta,bung! Harus punya strategi di jalan.
“Tapi koq bisa maceeet?...”, kejar Mamat Sambat yang baru playgroup di Condet.
“Ya karena semuanya harus lewat jalanan dalem kota. Jadi saling silang. Yang tinggal di timur, tapi saudaranya tinggal di barat. Yang tinggal di utara, tapi saudaranya di selatan. Pas lebaran, semuanya harus lewat tengah kota. Ini baru macet di tengah kota. Di pinggiran Jakarta macetnya lebih parah”
“Emangnya sodaranya tinggal sana?”
Si Doel diam-diam merenung. Iya juga ya. Dirinya sendiri contohnya, setiap lebaran harus bergerak ke setidaknya tiga daerah pinggiran: ke Bekasi, ke Depok dan ke Meruya untuk sowan ke Emak Bapak dan sodara-sodara tua. Ditambah ada beberapa saudara yang rumahnya di Bogor, Cibitung dan Tangerang. Semuanya di pinggiran. Pantesan aja setiap lebaran daerah pinggiran jadi mampet.
Sebenarnya, daerah pinggiran itu kan bukan lagi termasuk “Jakarta”. Tapi orang awam taunya “lebaran di Jakarta” itu ya termasuk dan meliputi lebaran di daerah-daerah pinggiran Jakarta semuanya itu. Semuanya ya “Jakarta”. (padahal di bunderan HI dan di Monas di pusat Jakarta malah sepi).
“Dari dulu kayak giniii?..”
“Dulu banget sih ga begini. Di Jakarta jaman dahulu banyak kantong-kantong komunitas etnik. Warganya ngumpul sesuai asal daerahnya. Yang orang dari Jawa ngumpul di Kampung Jawa. Yang berdarah Melayu, ngumpul di Kampung Melayu. Yang bawaan dari Arab, ngumpul di Tanah Abang atau di Koja. Yang aseli Betawi ngumpul di Condet atau di Ciganjur. Yang orang turunan Banten ngumpul di Jatinegara Kaum. Pas lebaran ya mereka ngubek aja sendiri-sendiri di daerahnya masing-masing. Tinggal jalan kaki saling nyambangin dari pintu ke pintu. Ga ada istilah macet jaman dulu, karena ga perlu pada mondar-mandir keluar daerahnya.”
“Wah..asik banget tu kalau Jakarta bisa dibikin kayak begitu lagi. Jadi ga ada macet-macetan kalau lebaran..”, seru Mamat sambil tertawa
Doel Semprul ikut tertawa. Bener juga si Mamat. Hm….Jadi terfikir olehnya untuk besok mengirim surat ke Pak Jokowi. Isinya? Si Doel mau usul, supaya dikeluarkan ketentuan untuk mengumpulkan warga Jakarta sesuai dengan asal daerahnya. Karena kalau dibikinkan peta silsilah, pasti ada sambungan kesaudaraannya semuanya. Saudara dekat ataupun saudara jauh. Kalau sudah ngumpul semua, kan ga perlu bersaling-silang hilir-mudik kendaraan. Sehingga ga akan ada macet di jalananan. Karena semua orang kota ga perlu menggunakan mobilnya untuk bersilaturahmi Lebaran. Cukup jalan kaki saja sambil membawa oleh-oleh ketupat dan opor ayam dibungkus kain atau selendang. Mendatangi semua saudara seketurunan untuk salam-salaman. Hemat BBM bersubsidi dan mengurangi polusi.
“Semprul! Genius juga si Mamat! “, puji si Doel dalam hati dan bangga akan kepintaran anaknya yang visioner itu.
.
Lebaran Hari Pertama....Parem Kocok Pegel Linu.
.