"Hahh.. cerah sekali." kata si gadis itu sambil menggeliat -- geliatkan kedua lengannya. Ia meregangkan bahu dan punggungnya agar tak terlalu kaku, lalu melirik ke atas kasur di belakangnya.
"Belum bangun juga, dasar." gerutunya, lalu melangkah ke samping kasur dan meneteskan air ke bunga mawar.
"Aduh.. Apa? Ada apa?" teriak si mawar, sambil meloncat kaget dari tempat tidur.
"Ada apa? Ada aku yang sudah bangun dari tadi, dan ada kamu yang enak -- enakan mendengkur di atas kasur!" kata si gadis sambil berkacak pinggang.
"Biarkan aku meneruskan tidurku. Aku masih ngantuk."
"Hei, katamu kemarin kau janji mau ikut jalan -- jalan kan? Ayo bangkit dari kasur, mumpung udara masih segar!"
"Aku menunda janjiku. Besok saja aku ikut." Lalu si mawar kembali menggeletakkan kelopaknya dan mendengkur lagi.
"Huh, ya sudah. Aku akan berjalan sendiri. Aku akan mengunci kamar. Jangan pergi keluar sebelum aku datang. Jangan sampai nenek tahu kau tidur disini."
Si gadis pun menutup dan mengunci kamar itu tanpa jawaban dari si mawar yang sudah hilang kesadaran. Gadis itu turun ke lantai bawah, menemui nenek dan pergi ke luar toko menuju sebuah ladang yang tak jauh dari situ.
Saat di tengah perjalanan, ia bertemu dengan sebuah delman. Delman itu berhenti di sampingnya, lalu dari balik jendela penumpang, terlihat seorang pria tua menyapa gadis itu.
"Pagi sekali. Mau kemana kau sepagi ini?" kata tuan pengacara.
"Ah, ternyata anda. Saya mau berjalan -- jalan ke ladang sebentar. Disana udaranya masih segar, mumpung hari ini toko libur."
"Oh, begitu. Kenapa tak mengajak si nenek?"
"Nenek masih mencuci piring, katanya nanti sore saja jalan -- jalannya. Ngomong -- ngomong, tuan hendak kemana?"
"Kami mau pergi ke kerajaan seberang untuk minta tolong mengatasi wabah di kota ini. Bukan begitu, pak kusir?"
"Ya, sudah lama kami menunda perjalanan ini. Jadi mumpung makhluk api itu sudah tidak ada, kami hendak menyeberang hutan." kata si kusir.
"Jadi makhluk mengerikan itu sudah hilang?" tanya si gadis.
"Ya, seseorang telah mengusirnya dari jembatan itu. Jadi warga disini bisa melintasinya lagi dengan aman."
Karena matahari semakin menaik, si kusir dan si pengacara segera meneruskan perjalanan menuju kerajaan seberang. Sementara si gadis, terus melangkah dan tak berapa lama kemudian sampailah ia di sebuah ladang luas.
Ladang itu hampir seukuran lapangan sepakbola. Ada tanaman padi yang menguning, beberapa pohon mangga di kanan -- kiri dan sebuah pondok kayu mungil di tengah pematang. Si gadis berjalan menuju pematang itu, melihat ke bawah di sekitar tanaman padi yang rapat dan merunduk.
Sampai beberapa langkah, ia berhenti lalu menemukan sebuah tanaman liar di pinggir pematang. Ia mengamati beberapa tanaman kencana ungu yang berjejer di sepanjang pematang itu. Lalu ia memetik sebuah bijinya, dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Beberapa saat kemudian, terdengar bunyi "Tes!" dari dalam mulutnya. Ia pun memuntahkan biji -- biji yang meledak karena terkena air liurnya itu, lalu tertawa terbahak -- bahak kegirangan.
"Sudah lama aku tak bermain tanaman ini. Ternyata masih ada juga." Lalu ia kembali memetik biji lainnya, dan memasukkannya ke dalam sebuah kantong plastik.
Sampai matahari sepenggalah, ia sudah mengumpulkan sekantong plastik besar berisi biji pletekan itu. Ia kembali ke tokonya dan menuju ke kamarnya, dan melihat isi kamar yang sudah tertata rapi. Sprei kasur terlipat, lantai kamar bersih dan kaca jendela mengkilap.
"Apa yang terjadi?" tanya si gadis kepada si mawar.
"Aku merapikan kamarmu setelah bangun tidur tadi. Bagaimana, tidak terlihat acak -- acakan lagi kan?" kata si mawar yang duduk di selasar jendela yang terbuka.
"Wah, ternyata kau bisa merapikan kamar juga."
"Haha. Kau terlambat mengakuinya."
Lalu si gadis meletakkan kantong plastiknya di pojokan kamar. Ia lalu mengambil air dan minum seteguk demi seteguk.
"Apa itu?" tanya si mawar.
"Biji bunga kencana. Aku mengambilnya di ladang tadi."
"Banyak sekali! Mau kau apakan biji pletekan itu?"
"Aku mau bermain dengannya lagi. Biji itu kalau terkena air bisa meledak."
"Kau mau meledakkannya dimana?"
"Di dunia bunga. Aku akan meletakkannya di tanah tempat mandrake itu tumbuh. Jadi kalau hujan turun, biji -- biji itu akan meledak dan membunuh mereka."
Sebelum senja, mereka berdua pergi ke dunia bunga untuk melakukan rencana itu. Mereka menabur biji pletekan di sepanjang tanah tempat tanaman mandrake menjalar. Dan saat malam tiba, hujan turun lalu meledakkan biji -- biji itu sehingga mematikan tanaman mandrake. Para mandrake tersiksa setelah terkena dentuman pletekan itu, dan banyak mandrake yang tak bisa menyelamatkan diri.
"Sekarang tanah ini bersih dari sulur -- sulur mengerikan itu. Jadi kita bisa berjalan menuju kastil dan menemui penyihir itu." kata si gadis.
"Tapi penyihir itu masih ditemani para mandrake disana." kata si mawar.
"Ya, dan biji pletekan kita sudah habis. Jadi aku minta bantuanmu untuk terbang kesana dan memberikan ini." Si gadis memberikan sebuah kertas, dan si mawar membaca pesan di kertas itu lalu mengangguk paham.
"Temuilah penyihir itu, dan berikan pesan itu kepadanya. Tapi jangan lupa, berpura -- puralah untuk tidak tahu tentang mandrake dan nasib para bunga lainnya."
"Tentu. Demi dunia bunga kan?" Lalu si mawar terbang menuju kastil itu sambil membawa sepucuk pesan, sedangkan si gadis berjalan sendirian mengikuti di belakangnya.
Tamat
Cerita sebelumnya:
Dunia Bunga yang Terancam