"Benar. Disini benar -- benar gelap."
"Tapi dibawah belum aman."
Ketiga bunga itu saling berbisik tentang apa yang mereka rasakan. Mereka bersama ratusan bunga lain, berdiam diri di atas sebuah bukit. Mereka baru saja menyelamatkan diri dari serangan tanaman yang ingin membunuh mereka.
"Bagaimana kalau kita turun besok pagi?"
"Jangan. Kata gadis itu kita diminta tetap disini."
"Tapi disini gelap, kosong dan membosankan! Kalau di bawah kan enak, kita bisa jalan -- jalan sepuasnya."
Sekuntum dahlia tiba -- tiba menyela.
"Hei, tulip! Lebih enak mana, jalan -- jalan sepuasnya tapi diserang oleh mandrake gila itu, atau berdiam disini dan terus hidup?"
Si tulip tak bersuara.
"Tapi si tulip tidak salah. Disini memang membosankan! Kalau kita terus -- terusan tinggal di bukit gersang ini, lama -- lama kita juga bakal mati kebosanan!" kata si melati.
"Benar apa yang melati bilang. Kupikir lebih baik hidup singkat tapi penuh makna, ketimbang hidup lama tapi sekarat dalam kebosanan." kata si bugenvil.
"Oh, jadi kalian sudah tidak sayang dengan nyawa kalian? Apa kalian tak ingat nasib teman kita si anggrek?"
Si melati, tulip dan bugenvil mendadak terdiam.
"Jangan membicarakan dia lagi." kata si melati setengah ketus.
"Tidak, tidak. Justru saat ini saat paling tepat membicarakannya. Kalian tentu masih ingat, dia pergi seorang diri entah kemana, dan tak pernah kembali. Dia bunga yang tak pernah bohong, tapi dia harus mati dimangsa mandrake itu."
"Kalau saja dia mau mendengar pertimbangan kita, mungkin dia tak akan bernasib apes seperti itu. Bukankah kejadian itu sudah cukup agar kita lebih hati -- hati dalam bertindak?"
Ketiga bunga itu masih menahan suaranya.
"Aku pikir, merasa bosan di tempat ini sudah tak bisa kita hindari. Tapi kalau kita tetap memaksa turun ke bawah, aku takut hidup kita berhenti sampai disini, karena mandrake jahat itu akan menyerang kita lagi."
Saat keempat bunga itu meratapi kebosanan yang melanda mereka, perlahan -- lahan kegelapan malam mulai memudar. Dari ufuk timur, cahaya biru muda berbaur dengan jingga dan putih mulai merekah. Matahari mengintip dari balik sebuah awan, untuk naik menuju langit atas dan memutari dunia sekali lagi. Dan jauh di bawah bukit itu, tampaklah sekelebat bayangan berjalan menuju ke atas bukit. Keempat bunga itu mengamati dari atas, dan menemukan bahwa itu adalah bunga anggrek.
Bunga -- bunga di atas bukit merasa tak percaya akan yang dilihatnya. Ratusan bunga itu mengira bahwa anggrek telah tiada, namun kini ia sudah berdiri di depan mereka pada pagi itu.
"Sulit dipercaya! Aku pikir kau sudah mati!"
"Apa yang terjadi denganmu? Kemana saja kau?"
Beragam pertanyaan keluar dari bunga -- bunga itu. Mereka mendengarkan cerita si anggrek dengan penuh perhatian, karena anggrek adalah teman yang paling jujur. Namun siapa sangka, kejujuran anggrek itu mengancam keselamatan para bunga.
"Jadi begitulah. Aku diselamatkan oleh gadis dan bunga mawar, tepat sebelum mandrake itu menyerangku. Dan aku kesini untuk memberitahu kalian, kalau di bawah sudah aman. Mandrake itu sudah pergi, jadi kita bisa kembali kesana." kata si anggrek.
"Tunggu dulu. Tapi kata gadis itu, kami diminta tetap tinggal disini selama beberapa waktu." kata si dahlia.
"Ya, itu benar. Gadis itu juga bilang kepadaku, kalau dibawah sudah aman. Dia bilang, kita bisa turun kapanpun."
"Benarkah? Tapi kenapa gadis itu tidak kesini dan memberitahu kami?"
"Dia bilang, dia bersama mawar akan menunggu di bawah sana. Mereka berdua sedang merencanakan sesuatu untuk mandrake itu. Jadi aku diutus kesini memberitahu kalian."
Karena mendengar kabar itu, bunga -- bunga lain tampak senang. Tanpa diminta lagi, satu per satu dari mereka meluncur turun dari bukit itu. Si tulip meloncati gurun itu dengan riang. Si melati dan bugenvil berjalan di belakangnya. Bahkan saking tidak sabarnya, banyak bunga lain terbang ke bawah agar bisa merasakan tanah tempat tinggal mereka.
Hanya ada satu bunga yang belum turun. Si dahlia masih berada di atas bukit, menyeru teman -- temannya agar tak terburu untuk turun, tapi sayangnya mereka tetap melakukannya.
Bunga -- bunga yang sudah sampai di bawah, terkejut karena mereka telah ditunggu barisan tanaman mandrake. Mandrake itu tanpa ampun menghantam para bunga hingga tak bersisa. Siasat anggrek berhasil. Mandrake kembali merebut tempat itu, dan memenuhi dengan sulur -- sulur hijaunya. Namun mereka tahu ada satu yang masih lolos.
Si dahlia pergi ke balik bukit itu. Ia berlari menuruni lereng, menjauhi amukan para mandrake sambil menangisi kepergian teman -- temannya.
"Kenapa harus aku yang terus hidup? Kenapa aku yang tak bisa berhenti hidup?" isaknya sambil terus berlari menyelamatkan diri.
Tamat
Cerita sebelumnya:
Penyihir Bunga Anggrek