Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Cerpen: Pemuda di Gunung Asing dan Selembar Foto Gadis

18 Maret 2021   03:24 Diperbarui: 18 Maret 2021   03:27 399 2
Ladang tandus kan bersinar
Kepak elang kan terdengar
Benih tanaman kan bertemu


"Apa maksudnya ini?" katanya sambil garuk -- garuk kepala.

Tak tahu dengan isi kalimat di kertas itu, pemuda itu menaruhnya ke dalam sakunya kembali. Lalu ia mengeluarkan secarik foto lusuh. Foto seorang gadis.

Saat ia menatap wajah teduh gadis itu, tanpa sadar ia kedatangan tamu. Seekor serigala, tidak begitu besar, telah berdiri di depannya. Air liurnya menetes dan taringnya tampak mencuat.

Si pemuda segera bangkit mengambil tombak dari punggungnya. Pertarungan tak bisa dihindarkan. Si pemuda berkali -- kali menghujamkan tombak, namun serigala selalu menghindar dengan cepat.

Pemuda itu terlalu lelah untuk bertarung. Ia sadar ia tak bisa menang. Ia bersiul kencang memanggil kudanya, namun ternyata kudanya telah hilang. Pemuda itu berlari melintasi lereng.

Ia tak tahu di ujung jalan ada jurang. Kakinya sudah terlanjur tak menginjak tanah. Ia terjatuh berguling -- guling lalu tak sadarkan diri. Sementara serigala hanya berdiri di atas tebing, lalu kembali ke arah gunung.

**

Siang itu cerah. Awan dan langit memayungi puncak gunung. Suasana tenang, namun sesekali terdengar suara kicauan burung, nyanyian cenggeret dan lenguhan banteng.

Sinat matahari dari atas menyilaukan mata pemuda. Ia membuka matanya pelan -- pelan, dan melihat beberapa wajah tak dikenal sedang menatapnya.

"Serigala! Dimana tombakku?" Ia ingin bangkit namun tak bisa. Punggungnya terasa pegal, dan kepalanya sedikit pusing.

"Tenanglah. Serigala itu sudah tidak ada. Kau aman sekarang." Kata salah seorang di antara mereka.

"Minumlah." Orang itu memberikan secawan air rebus. Airnya masih hangat dan ada beberapa lembar daun yang harum. Pemuda itu meminumnya.

"Terimakasih. Terimakasih."

"Kau jangan banyak bergerak dulu. Kau butuh istirahat agar cepat pulih."

Pemuda itu melentangkan tubuhnya lagi. Ia meringkih dan mengaduh, namun rasa sakit itu membuatnya tetap hidup.

"Kalian.. Siapa?"

"Kami warga yang tinggal di gunung ini. Kami menemukanmu tergeletak di bawah tebing. Lalu kami membawamu kesini, ke kampung kecil kami."

"Ah, jadi begitu. Terimakasih sudah menolongku."

"Tidak apa. Di sekitar tebing itu, kami juga menemukan ini."

Orang itu memberikan sebilah tombak, sebuah peta dan sebuah foto. Pemuda itu segera mengambilnya.

"Sepertinya kau bukan orang sini. Kami belum pernah melihatmu."

"Benar. Aku tinggal di pinggir hutan. Aku mau pergi ke air terjun di puncak. Namun di tengah jalan, serigala itu menyerangku dan aku terjatuh dari tebing. Untunglah berkat pertolongan kalian aku bisa selamat."

"Jadi begitu. Aku beritahu, bukan hanya kau saja yang mencari air terjun itu. Ada beberapa orang lagi yang mencarinya. Dan gunung ini banyak hewan buasnya. Aku sarankan kau jangan meneruskan perjalanan. Kembalilah ke desamu, disana masih ada hal yang bisa dilakukan."

"Ya, aku sudah merasakan sendiri. Serigala tadi tak bisa kukalahkan, dan mungkin di depan sana ada hewan yang lebih kuat."

Pemuda itu memegang tombaknya.

"Tapi aku sudah berjanji kepada temanku untuk menemukan air terjun itu. Jadi aku tidak bisa berhenti disini."

Orang gunung itu melihat tombak pemuda.

"Tunggu dulu. Rasanya aku tidak asing dengan tombak ini. Ada ukiran khusus di gagangnya. Darimana kau dapat ini?"

"Dari seorang temanku. Ia tinggal di pinggir hutan juga, tak jauh dari tempat tinggalku."

Orang -- orang gunung itu saling berbisik.

"Temanmu itu.. Apa dia seorang cenayang?"

"Ya. Darimana kau tahu?"

"Lihatlah tombak milik kami ini. Ukirannya sama persis. Kami mendapatnya dari cenayang yang tinggal di dekat pintu masuk gunung ini."

Pemuda itu memeriksanya dan menemukan kesamaan antara dua tombak.

"Dan kami juga punya ini." Orang gunung menyerahkan secarik kertas bergambar peta. Pemuda itu membandingkan dengan peta miliknya, dan ternyata sama juga.

"Jadi, kalian mencari air terjun itu juga?" Tanya pemuda itu.

"Begitulah. Sudah puluhan tahun kami tinggal disini, dan selama itu ada banyak kerajaan yang mengancam tempat ini. Kami meminta bantuan si cenayang agar kami bisa mempertahankan gunung ini, agar tak diambil oleh kerajaan lain."

"Lalu ia memberikan tombak dan peta ini?"

"Ya, begitulah. Kami diminta untuk mencari air terjun itu. Ia bilang kalau kami bisa mendapat beberapa tetes saja, kami akan mendapat tambahan kekuatan agar bisa bertahan."

Pemuda itu mengembalikan tombak dan peta kepada mereka.

"Kita punya teman yang sama. Tapi kalau boleh tahu, untuk apa kau capek -- capek mencari air terjun itu?"

"Aku ingin menyingkirkan Lemah Geni. Kata cenayang, kalau aku berhasil membawa setetes air bertuah itu, aku bisa menyingkirkan raksasa api itu."

"Lemah Geni? Makhluk di hutan sana itu tidak bisa kau taklukkan. Dia bukan tandinganmu."

"Benar. Cenayang juga bilang begitu padaku. Setan api itu tidak bisa dikalahkan manusia atau naga. Ia hanya bisa dipindah ke tempat lain. Dan cara memindahkannya adalah dengan tetesan air terjun itu."

"Ah, jadi begitu. Aku tidak tahu untuk apa kau berniat menyingkirkannya. Makhluk itu mengerikan! Ia memakan orang, hewan dan membakar hutan disana -- sini. Kami saja yang tinggal disini tak ingin bertemu makhluk itu, tapi kau justru malah mencarinya?"

"Benar. Karena makhluk itu menghalangi temanku untuk pergi ke kota. Jadi mau tidak mau aku harus menyingkirkannya."

"Kami salut dengan keberanianmu. Sekarang istirahatlah dulu. Pulihkan tenagamu, karena kau akan melanjukan perjalanan."

**

Selama beberapa hari, pemuda itu tinggal disana dan ditemani oleh warga gunung. Ia sudah pulih.

Di suatu malam, mereka berpesta di tengah api unggun. Orang -- orang gunung itu asyik makan sate. Si pemuda juga ikut, lalu ia membawakan sepotong sate telur puyuh kepada sang pemimpin.

"Terimakasih." Kata si pemimpin orang gunung.

"Tidak, akulah yang berterimakasih. Berkat kalian, aku selamat."

"Itu terjadi begitu saja. Jangan terlalu dipikirkan."

Mereka sama -- sama memakan sate itu.

"Jadi, apa rencanamu?" Tanya orang gunung kepada si pemuda.

"Entahlah. Untuk ke air terjun itu, aku butuh kudaku. Sedangkan dia tak tahu pergi kemana. Mungkin aku akan berjalan pelan -- pelan."

"Kalau kau berjalan, kau akan kesulitan saat ada serigala lagi. Lagi pula, gunung ini terlalu besar untuk dijelajahi dengan jalan kaki."

"Yah.. Apa lagi yang bisa kulakukan?"

"Begini saja. Kami akan memberimu seekor kuda, tapi ijinkan kami ikut bersamamu. Karena kami juga ingin menemukan air terjun itu. Setelah ketemu, kita bisa berbagi beberapa tetes. Bagaimana?"

Si pemuda masih mengunyah telur puyuh.

"Terimakasih telah menawariku. Tapi maaf, aku sudah lama berkelana sendiri. Aku akan pergi sendiri mencari air terjun itu."

"Kau benar -- benar pemuda tangguh. Tapi selain kita, orang -- orang juga saling berebut dan menumpahkan darah untuk menemukannya. Apa kau yakin bisa mengalahkan para pesaingmu sendiran?"

Si pemuda teringat pengalamannya dulu. Selama ini ia berhasil berpetualang sendirian. Sudah banyak daerah yang dijelajahinya.

Ia juga selalu mengalahkan orang yang menghalangi jalannya. Bahkan dulu ia pernah menaklukkan naga raksasa tanpa bantuan orang lain.

Lalu ia melihat keadaan dirinya sekarang. Kudanya hilang dan kalau berjalan mungkin akan memakan waktu lebih lama.

Lagipula, perkataan orang gunung ada benarnya juga. Gunung ini terlalu liar untuk dijelajahi seorang diri.

Tapi tidak, ia tidak akan menerima tawaran itu. Kepuasan berpetualang seorang diri terlalu mahal jika ditukar dengan seekor kuda dan seribu prajurit gunung sekalipun.

Saat hendak menolak tawaran itu, si pemuda tak sengaja melihat foto yang terselip di sakunya.

Pemuda itu mengingat kenangan waktu kecil dulu. Saat itu ia bersama gadis dalam foto. Mereka berdua bermain di sebuah taman.

"Tunggu dulu, aku capek! Aku ingin istirahat." Kata gadis itu.

Mereka berdua duduk di sebuah bangku kayu.

"Tempat ini sungguh indah, kan."

"Ya. Aku suka tempat ini. Banyak tumbuhan dan setiap pagi aku bisa mendengar suara burung emprit berkicau." Kata si pemuda, lalu ia bersiul menirukan kicauan burung itu.

"Ngomong -- ngomong, apa keinginanmu nanti?" Tanya si gadis.

"Keinginan? Aku ingin makan yang banyak dan enak. Mungkin aku akan menanam kacang, lalu merebusnya dan menjualnya. Kalau ada yang beli, aku jual. Kalau tidak, ya sudah aku makan sendiri."

"Tapi dengan begitu, kau tidak bisa makan banyak dan enak."

"Bisa saja. Asal aku menanam banyak kacang dan merebusnya dengan bumbu yang paling enak."

Si gadis meninju perutnya.

"Jangan makan banyak -- banyak. Nanti perutmu jadi buncit dan tak ada wanita yang mau denganmu."

Sambil meringis kesakitan, "Perut buncit lambang kemakmuran, tahu!"

"Kalau kau bagaimana, jangan -- jangan kau ingin menjadi pacar penjual kacang berperut buncit."

Si gadis menyikut lagi. si pemuda mengaduh lagi.

"Enak saja. Aku punya cita -- cita yang lebih tinggi!"


"Oh ya? Menjadi istri penjual kacang berperut buncit?"

Kali ini si pemuda berhasil menangkisnya.

"Aku suka tinggal disini. Mungkin aku akan membuat sesuatu yang berguna untuk kampung ini. Aku ingin membangun tempat ini biar lebih baik."

Si pemuda menatapnya sambil bengong.

"Kenapa?"

"Ah, enggak. Aku pikir itu cocok untuk gadis yang suka melamun sepertimu."

"Dasar kau!"


Mereka kembali kejar -- kejaran sambil tertawa riang. Dan bayangan itu perlahan sirna dari kepala si pemuda. Si pemuda kini hanya bisa menatap gadis itu dalam foto yang hampir pudar warnanya.

Foto gadis cantik itu mengingatkan satu tujuan awalnya. Lalu pemuda itu berkata kepada orang gunung.

"Baiklah. Karena kalian telah merawatku selama ini, sebagai gantinya aku akan ikut kalian."

Si pemimpin mengangguk, lalu mereka berdua menghabiskan sisa telur puyuh.

**

Esoknya, mereka bersiap mencari air terjun bersama. Pemimpin orang gunung meminta beberapa orangnya untuk menemani si pemuda. Mereka berkuda dari satu ladang ke ladang lain dan belum berhasil menemukannya.

Bahkan di tengah jalan, mereka dihadang oleh sekawanan babi buas, tiga serigala dan seekor naga yang mengorbankan beberapa orang. Namun karena mereka kompak, mereka bertahan dan terus mencari.

Hingga akhirnya di suatu ladang gersang, mereka bertemu dengan seorang lelaki yang terkapar di tanah. Ternyata ia adalah salah satu warga gunung. Dari mulutnya keluar banyak darah. Dan ia berkata dengan megap -- megap.

"Kunang -- kunang.. maksud dari bait pertama itu.. kunang -- kunang.. Mereka pergi kesana." Katanya dengan kepayahan, dan setelah mengucapkan kalimat itu, ia menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Tamat

Cerita sebelumnya:

Sang Cenayang

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun