Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Simbiosis Mutualisma Money Politics Pemilu 2014

23 April 2014   01:44 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:19 210 0
Secara teoritis dalam pelaksanaan Pemilu rakyat memiliki peranan penting dan sangat sentral.  Dalam hal ini rakyat bagaikan malaikat yang menentukan nasib seorang kandidat untuk terpilih maupun gugur, baik itu dalam pemilihan kepala desa, pemilihan kepala daerah, pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden.  Sehingga ada anekdot yang mengatakan bahwa hari H pemilihan merupakan momen penghakiman rakyat terhadap kandidat. Selain keberadaannya sebagai konstituen yang menentukan terpilihnya seorang kandidat, tujuan utama pemilihan tersebut pada esensinya bermuara kepada kepentingan rakyat itu sendiri.

Idealnya itulah makna dan tujuan sistem demokrasi sesungguhnya, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.  Suka tidak suka sampai hari ini sistem demokrasi merupakan pilihan yang paling ideal untuk diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika ada kritisi dan pandangan sinis terhadap praktek pemilihan umum sebagai bentuk penerapan sistem demokrasi maka hal itu mesti disikapi dengan wajar-wajar saja, karena memang masih banyak sisi negatif pelaksanaan pemilihan umum tersebut.

Namun menurut realita yang terjadi, apakah pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia yang berlangsung selama era reformasi telah terjadi sesuai dengan tujuan dan makna demokrasi itu sendiri ?

Kita sebagai warga negara Indonesia patut mensyukuri telah terjadinya proses demokratisasi kehidupan berbangsa dan bernegara dengan bentuk pemilihan umum yang menempatkan rakyat sebagai pemegang hak sesungguhnya menentukan pilihannya. Dinamika ini merupakan sebuah kemajuan jika dibandingkan dengan atmosfir kehidupan politik orde baru yang manipulatif, represif dan hanya bertujuan melanggengkan kepentingan kelompok tertentu mempertahankan rezim kekuasaannya.

Pemilihan umum yang dilaksanakan paska runtuhnya kekuasaan orde baru merupakan angin segar dan pintu terbuka bagi semua kalangan untuk ikut berpartisipasi dalam kehidupan berdemokrasi, dan menjadi sarana efektif bagi para politisi untuk berkiprah dalam gelanggang politik maupun menjadi anggota legislatif dan eksekutif. Dengan demikian terjadi proses regenerasi dan kemunculan para politisi baru yang mampu mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara. Maka wajar kehidupan demokrasi ini harus dikawal dan dilestarikan sebagaimana mestinya walaupun masih memiliki kekurangan dan ketidak puasan dalam prakteknya.

Menurut para pakar dan pengamat, pelaksanaan pemilihan umum legislatif 2014 dianggap memiliki kualitas paling buruk sepanjang era reformasi.  Memang masih diperlukan pemaparan lebih luas tentang sisi mana yang dianggap membuat kualitas pileg  kali ini disebut berkualitas rendah, apakah dari sisi pelaksana atau proses pemilihan umum itu sendiri. Jika melihat proses pelaksanaan pemilu memang masih banyak keraguan terhadap indepensi dan kemampuan para pelaksana, terutama ditataran terendah seperti di tempat pemilihan suara (TPS) maupun ketika pelaksanaan proses rekapitulasi perolehan suara.

Namun disamping kualitas pelaksana pemilu itu, ada fenomena lebih menarik untuk diperbincangkan dalam proses pelaksanaan pemilu 2014, yaitu dugaan semakin maraknya praktek money politics atau jual beli suara, terutama dalam hal pencoblosan atau memilih partai  maupun calon anggota legislatif. Banyak pihak yang sepakat praktek money politics kali ini sangat vulgar dan dapat dilihat secara kasat mata.

Bukan merupakan rahasia lagi bahwa masyarakat sebagai konstituen sudah secara terang-terangan berkata kepada para caleg bahwa "Ada uang-Ada Suara".  Artinya jika seorang caleg tidak memberikan sesuatu, baik itu berupa barang maupun uang maka jangan berharap seorang caleg akan memperoleh suara dari rakyat. Kejadian seperti ini banyak dirasakan langsung oleh para caleg ketika melakukan sosialisasi maupun kampanye di tengah-tengah masyarakat. Ironisnya, para pimpinan komunitas masyarakat juga mengaku tidak mampu mengarahkan pilihan anggota komunitasnya apabila tidak ada memperoleh sesuatu pemberian dari caleg maupun partai politik.

Berdasarkan pengalaman itu maka tidak dapat dipungkiri bahwa proses pemilihan atau pemungutan suara pada Pemilu 2014 yang baru saja berlangsung sangat sarat dengan praktek transaksional, baik secara terbuka maupun secara diam-diam. Bukan merupakan pemandangan asing lagi bahwa banyak para caleg mundur secara pelan-pelan dan hanya menyerahkan nasibnya kepada keberuntungan karena tidak mampu memenuhi permintaan masyarakat secara finansial.

Konsekuensi praktek money politics hanya caleg memiliki kemampuan keuangan besar melanjutkan proses sosialisasi serta  kampanye politik, sehingga para caleg yang memiliki dana besar yang berhasil terpilih menjadi anggota legislatif, baik sebagai anggota DPR RI maupun DPRD. Maka jangan heran jika para anggota legislatif yang akan menduduki kursi anggota dewan akan didominasi oleh orang yang telah mapan secara finansial, dan banyak diantara mereka merupakan para pengusaha maupun dari lingkaran keluarga penguasa daerah.

Mencermati kecenderungan yang terjadi, dan menelisik pelaksanaan pemilu yang telah beberapa kali dilakukan, banyak pihak mengakui bahwa untuk ikut terjun dalam pemilu membutuhkan dana yang besar (High Cost). Sehingga ada wacana mengatakan hanya orang yang memiliki duit banyak yang mampu berkiprah dalam pemilu, baik pemilihan kepala daerah maupun maupun pemilihan legislatif.  Logika tersebut memang ada benarnya jika melihat begitu besarnya biaya yang dibutuhkan dan dikeluarkan seorang kandidat yang ikut bertarung dalam setiap pemilihan umum.

Untuk ikut bertarung dalam pemilihan anggota legislatif  DPR RI diperkirakan seorang calon membutuhkan dana minimal satu miliar, bahkan ada calon yang sampai menggelontorkan dana sampai puluhan miliar.  Demikian juga untuk pemilihan kepala daerah, dapat dipastikan para kandidat Bupati saja tidak cukup hanya menyediakan dana satu  miliar, apalagi untuk pemilihan gubernur dan presiden.

Tingginya biaya yang dibutuhkan dalam proses pertarungan dalam pemilihan umum ini menjadi sebuah tantangan besar yang mesti dihadapi dalam kehidupan demokrasi Bangsa Indonesia saat ini. Bahkan dikuatirkan menjadi sebuah dilema untuk kebaikan kehidupan berdemokrasi karena mengurangi nilai-nilai universilatas arti demokrasi itu sendiri. Dalam kondisi praktek pemilu yang membutuhkan dana besar justru menutup pintu bagi para politisi maupun calon pemimpin, dan hanya akan memberi kesempatan berkiprah di dunia politik bagi kalangan yang memiliki uang, atau kalangan tertentu saja.

Pemilu yang  High Cost selain menyingkirkan nilai-nilai idealisme maupun idiologi, justru dikuatirkan akan menciftakan lingkaran setan korupsi, bahkan diprediksi menjadi sumber utama langgengnya tindakan korupsi yang dilakukan para elit politik, dengan asumsi para kandidat yang telah mengeluarkan banyak uang dalam pertarungan pemilu akan berusaha mengembalikan uang yang telah dikeluarkannya. Jika ini benar-benar terjadi maka upaya pemberantasan korupsi dan menjadikan pemerintahan yang bersih akan semakin jauh dari kenyataan, bagaikan panggang jauh dari api.

Apabila ditanyakan dimana sumber masalahnya, dan siapa sebenarnya biang keladi munculnya praktek money politics ini  maka jawaban yang kita terima justru pertanyaan balik bagaikan quis yang  berbunyi "mana duluan ada ayam atau telur ?".  Thesis ini sepertinya bagai mainan, tetapi itulah wacana yang kita dengar apabila kita ikuti dialog diantara sesama masyarakat dalam menanggapi praktek money politics ini.

Ketika kita berbicara kepada masyarakat bahwa money politics tidak baik untuk kemajuan demokrasi, dan hanya akan memilih orang-orang opurtunis, atau hanya akan memilih kandidat yang selanjutnya akan melakukan korupsi, maka masyarakat tidak jarang berujar "Siapapun yang terpilih menjadi anggota legislatif maupun pemimpin tidak ada jaminannya mereka akan melakukan yang terbaik bagi masyarakat". Artinya masyarakat sendiri sudah apatis dan tidak percaya lagi terhadap wakil mereka, dan masyarakat sudah merasa muak terhadap janji-janji manis tokoh politik selama ini, masyarakat tidak perduli lagi dengan visi dan misi partai politik maupun kandidat.

Memang dalam hal ini nampak sekali bahwa masyarakat tengah pragmatis dan mau yang serba instan, dan mereka juga membenarkan tindakan mereka itu sebagai sebuah pilihan untuk mengekspresikan rasa kecewa mereka terhadap praktek demokrasi selama ini, terutama pemberontakan mereka tehadap tingkah para elit politik yang selama ini banyak terlibat kasus korupsi. Masyarakat sudah kadung percaya bahwa para politisi itu hanya mengumbar janji manis saat kampanye, jika sudah terpilih para politisi dianggap akan melupakan janjinya serta mengutamakan kepentingan pribadinya, misalnya memperkaya dirinya sendiri, selanjutnya melupakan tugas dan tanggungjawabnya mengemban amanah rakyat, serta tidak akan memiliki kemauan memperjuangkan kepentingan masyarakat.

Demikian juga sebaliknya, ketika kepada para kandidat, baik itu calon legislatif maupun eksekutif ditanyakan atas sikap mereka yang melakukan money politics sebagai proses pembelajaran politik yang buruk, maka para politisi itu akan memberikan jawaban yang membenarkan sikap dan tindakan mereka dari sudut pandang mereka sendiri, sudah tentu jawaban mereka itu dianggap benar menurut kacamata mereka sendiri.

Sudah barang tentu jawaban para politisi itu lebih diplomatis, lebih ilmiah, dan lebih profesional serta terkesan smart. Para politisi lebih suka memilih cara money politics, atau mempengaruhi masyarakat untuk memilihnya melalui pemberian uang, menurut kalkulasi mereka justru lebih rendah biaya yang dikeluarkan jika dibandingkan dengan melakukan semua mekanisme kampanye yang lajim terjadi, selain efesien sudah tentu lebih efektif karena uang yang dikeluarkan tepat kena sasaran.  Nah, perbuatan mereka dianggap sangat profesional karena selaras dengan salah satu fungsi dan arti ilmu management, yaitu efesien dan efektif.

Jika ditinjau dari perspektif  marketing politics, pada intinya ilmu marketing politik itu adalah sebagai salah upaya mempengaruhi sikap dan pilihan calon konstituen untuk berkenan memilih seorang calon melalui cara memahami apa keinginan masyarakat dan kemudian memenuhi kebutuhannya.  Para politisi dalam hal ini sudah paham betul bahwa masyarakat dewasa ini sebagai calon konstituen sudah apatis terhadap para politisi dan masyarakat cenderung lebih tertarik terhadap apa yang mereka dapatkan segera dari seorang kandidat, dan masyarakat sekarang kurang peduli lagi terhadap visi dan misi apalagi orasi yang panjang lebar tidak membumi.

Sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran dalam ilmu ekonomi kedua kenyataan diatas bertemu dalam satu titik ekuiliberium, yaitu persilangan antara apa yang diinginkan oleh masyarakat dan apa yang ditawarkan oleh para politisi, yaitu sama-sama sepakat money politics atau pemberian uang untuk memilih dan dipilih.

Walaupun demikian, bukan berarti apa yang telah diutarakan diatas merupakan sebuah kebenaran mutlak yang tidak dapat diganggu gugat lagi, dan bukan merupakan sebuah kebenaran paripurna yang bisa dijadikan sebagai teori pembenaran bahwa dalam pertarungan pemilu satu-satunya cara paling efektif untuk menang hanya melalui pemberian uang atau dalam bentuk asessoris lainnya.  Keefektifan cara ini sudah tentu kebenarannya sesuai dengan cara seseorang memandangnya dan dari sudut mana dia memandangnya.

Diatas semua itu, munculnya dan maraknya praktek money politics dalam pemilu akhir-akhir ini yang bagaikan sebuah kesalahan yang terpelihara dengan baik sudah barang tentu tidak baik bagi kemajuan kehidupan demokrasi, dan merupakan  penyakit sosial yang semestinya dicari akar permasalahanya dan mendesak untuk dilakukan perbaikan maupun antisipasinya dalam pelaksanaan pemilu masa yang akan datang agar pemilu itu kembali berada pada orbitnya yang sesungguhnya, serta sesuai dengan arti dan tujuan kehidupan berdemokrasi itu sendiri.

Tanpa melebih-lebihkan maka dapat dikatakan bahwa pelaksanaan pemilu sebagai manifestasi demokrasi kehidupan berbangsa dan bernegara semakin lama semakin mengalami penurunan kualitas dan semakin menjauh dari orbit dan makna demokrasi itu sendiri. Kecenderungan ini terjadi bukan hanya karena kesalahan salah satu pihak atau golongan tertentu tetapi sudah merupakan keslahan bersama yang perlu diperbaiki bersama juga. Inilah tantangan terbesar pelaksanaan pemilu dan demokratisasi kehidupan berbangsa dan bernegara kedepan.

Memperbaiki kualitas pemilu masa yang akan datang tidak cukup hanya perbaikan secara prosedural tetapi dibutuhkan perbaikan lebih komprehensif terhadapa paradigma bersama, baik itu sikap, pemikiran dan tindakan. Tanpa adanya perbaikan paradigma ini maka perbaikan prosedural akan sia-sia. Ironisnya tanpa melakukan terhadap kedua-duanya maka pelaksanaan pemilu selanjutnya justru semakin menjauh dari arti dan makna demokrasi sesungguhnya.

Tanpa memperbaiki kualitas pemilu menjadi lebih baik maka upaya perbaikan tata kelola kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama upaya untuk menciftakan pemerintahan yang bersih serta bebas dari praktek korupsi tidak akan terealisasisasi, tentunya produk yang dihasilkan dari proses demokrasi itu juga tidak akan mampu merealisasikan tujuannya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menciftakan pemerintahan yang berempati terhadap kebutuhan masyarakat, apalagi membawa bangsa Indonesia menjadi salah satu bangsa besar yang diperhitungkan dalam kehidupan global.

Proses perbaikan itu juga tidak dapat diserahkan hanya kepada segelintir orang atau kepada kelompok tertentu tetapi menjadi tanggungjawab dan pekerjaan rumah semua lapisan masyarakat.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun