Sumber: Rumah Adat Kasepuhan Cisitu.
Gambar 1. Tata Ruang Kasepuhan Cisitu Banten Kidul.
Negeri ini rapuh sekali, hujan kebanjiran, panas kekeringan. Bencana alam terjadi dimana-mana. Kecuali gunung meletus dan gempa, bencana banjir dan tanah longsor adalah mutlak karena keserakahan manusia dalam menjalani hidup di bumi.
Tidak hanya di Pulau Jawa, pulau-pulau besar di Jamrud Khatulistiwa ini mengalami bencana ekologis yang sangat parah sekali. Tersebar merata dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote. Ada alih fungsi hutan menjadi perkebunan homogen, pertambangan dan pembangunan hutan beton di kota. Gaya hidup hedon dan kapitalis telah merusak hubungan manusia dengan alam. Padahal, nenek moyang kita dulu, telah banyak mengajarkan kearifan lokal dalam hubungannya dengan alam.
Tengoklah sebuah kawasan yang masih dekat dengan Ibu Kota Indonesia. Kira-kira 6-8 jam arah selatan Jakarta, biasa disebut Wewengkon Adat Kasepuhan Banten Kidul. Sebuah kawasan yang terkenal dengan upacara 'seren taun' sebagai rasa syukur atas nikmat panen padi yang hanya setahun sekali.
Bermukim dalam tradisi masyarakat Adat di Banten Kidul tidaklah hanya sebagai tempat tinggal, karena di sinilah masyarakat melakukan ritual kehidupan. Ketika alam menyediakan sumber kehidupan, maka di situlah terjadi bentuk komunikasi antar individu, antar keluarga, antar ikatan, antar sesama makhluk hidup dengan alamnya dan antar manusia dengan Penciptanya.
Tradisi tersebut tertuang dalam falsafah hidup “Leuweung Hejo Rakyat Ngejo“, Hutannya Hijau, Rakyatnya Makmur. Mereka punya kawasan yang disebut Hutan (tanah) Tutupan, Hutan (tanah) Titipan dan Tanah Olahan (Gambar 1). Hutan Tutupan merupakan hutan tertutup yang boleh dimanfaatkan oleh masyarakat adat tapi non kayu. Luasnya kurang lebih 51,2 % dari luas kawasan dan merupakan tempat sumber air berada. Hutan Titipan adalah hutan leluhur yang harus dijaga dan dilestarikan untuk generasi yang akan datang, berupa hutan yang memiliki luas kurang lebih 37,7 % yang berfungsi sebagai penjaga keseimbangan alam. Hutan Titipan ini tidak boleh dimanfaatkan baik itu kayu maupun non kayunya. Bahkan yang boleh memasukinya hanya Ketua Adat, itupun setahun sekali. Sisanya kurang lebih 11,1 % dari luas kawasan merupakan Tanah Olahan yang dimanfaatkan untuk perkampungan, persawahan dan lainnya.
Dari sisi Ketahanan Pangan, awal Desember 2012 ini, Kasepuhan Cisitu Banten Kidul baru saja meraih dan terpilih sebagai penerima penghargaan ‘Adhikarya Pangan Nusantara’ peringkat kesatu Nasional. Lahan persawahan yang hanya sekitar 10,4% dari luas wilayahnya mampu memenuhi lumbung padi (leuit) yang jumlahnya ribuan. Bahkan, ada padi yang usianya puluhan sampai ratusan tahun yang masih layak untuk dimakan dan dikeluarkan pada saat perayaan syukuran panen padi yang biasa disebut upacara Seren Taun. Ini sebagai bukti bahwa hasil padi disana sangat melimpah dan tidak habis untuk dimakan sendiri walaupun musim tanam padi disana hanya sekali dalam satu tahun. Oleh karena itu, sekitar tahun 80an, masyarakat Banten Kidul turut menyumbang beras untuk bencana kelaparan yang terjadi di Benua Afrika.
Secara hitungan matematis, dengan luas persawahan hanya 10.4%, panen padi hanya setahun sekali dan jumlah penduduk yang mencapai 4000 lebih, maka sangat mustahil lahan persawahan itu mencukupi kebutuhan pangan masyarakatnya. Namun dengan pola penataan ruangnya yang terdiri dari Hutan Tutupan, Hutan Titipan dan Tanah Olahan ternyata memberikan dampak yang luar biasa bagi lahan persawahannya. Waktu tanam yang hanya setahun sekali berarti memberikan waktu istirahat yang sangat cukup untuk mengembalikan unsur hara yang dibutuhkan padi. Kebutuhan air pun tersedia melimpah meskipun musim kemarau karena hutan tempat mata air berada seluas 51.2% masih terjaga dengan sangat baik. inilah yang membuat hasil tanamnya melimpah ruah memenuhi leuit-leuitnya meskipun teknologi pengolahannya masih sangat sederhana.
Ditinjau dari sisi ketahanan lingkungan binaannya, belum pernah terdengar kejadian bencana alam yang terjadi di Baduy dan Kasepuhan Banten Kidul yang diakibatkan oleh ulah tangan manusia. Tanah longsor, banjir bandang yang diakibatkan oleh penebangan liar tidak pernah terjadi di sana. Tanah Tutupan dengan luas sekitar 51.2% berupa hutan yang hanya dimanfaatkan non kayunya memberikan mata air dan cadangan air yang melimpah sebagai sumber kehidupan utama. Keseimbangan alamnya pun tetap terjaga dengan adanya Tanah Titipan seluas 37.7% berupa hutan yang tidak boleh dimanfaatkan baik kayu maupun non kayunya.
Di sisi ketahanan papan, penggunaan material lokal menjadikan masyarakat adat Banten Kidul dan Baduy tidak akan kekurangan material untuk membangun tempat tinggalnya. Kayu, Bambu, Ijuk, Tepus, Batu Kali, Pasir, Tanah Liat banyak tersedia disana. Pola permukimannya pun tertata dengan baik yang mengutamakan keserasian antara Adat, Agama dan Negara seperti yang ada di Kasepuhan Cisitu Banten Kidul. Bangunan Adat diwakili oleh Rumah Adat, bangunan Agama diwakili oleh Masjid dan bangunan Negara diwakili oleh Pendopo. Ketiga bangunan tersebut dikelilingi oleh bangunan yang berfungsi sebagai rumah singgah yang berjumlah 5 unit dan melambangkan dasar adat ‘Tilu Sapamulu Dua Sakarupa Nu Hiji Eta-Eta Keneh‘, rukun Islam dan Dasar Negara Pancasila.
Khusus untuk masalah kebutuhan kayu untuk tempat tinggal, Abah atau Ketua Adat di sana, memiliki kebijakan yang sangat arif, yaitu selain rumah adat, maka warga boleh menggunakan material non kayu untuk membangun rumahnya. Abah berpikir jika masih menggunakan kayu, maka hutan tutupan dan titipan yang masih ada tidak akan cukup memenuhi kebutuhan masyarakatnya yang selalu bertambah setiap tahunnya. Makanya jangan heran bila rumah-rumah di sana bukan rumah panggung dari kayu dan bambu lagi, tetapi sudah rumah permanen.
Tak kalah pentingnya adalah Ketahanan Energi. Tanah, Air, Udara dan Matahari adalah sumber energi terbarukan yang sangat melimpah. Aliran air sungai bisa untuk memenuhi kebutuhan energi listrik dengan turbin air, mikrohidro, pikohidro dan nanohidro. Begitupun dengan udara yang bisa menggerakkan kincir angin. Teriknya sinar matahari dan tanah yang bercampur dengan kotoran manusia, hewan dan tanaman bisa menghasilkan bio energi yang tak terhitung jumlahnya untuk memenuhi kebutuhan energi di sana.
Dengan komposisi penataan ruang 51:38:11 yang masih terjaga saat ini, masyarakat adat Baduy dan Kasepuhan Banten Kidul memiliki kualitas hidup yang jauh lebih baik dibandingkan dengan masyarakat perkotaan di JABODETABEKPUNJUR. Pola penataan ruang kawasannya pun memiliki peran yang sangat besar dalam upaya konservasi air dan tanah, menjamin tersedianya air tanah dan air permukaan, penanggulangan banjir dan pengembangan ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat.
- Mendorong terselenggaranya pengembangan kawasan yang berdasar atas keterpaduan antar daerah sebagai satu kesatuan wilayah perencanaan.
- Mendorong terselenggaranya pembangunan kawasan yang dapat menjamin tetap berlangsungnya konservasi air dan tanah, menjamin tersedianya air tanah dan air permukaan, serta menanggulangi banjir dengan mempertimbangkan daya dukung linkungan yang berkelanjutan dalam pengelolaan kawasan.
- Mendorong pengembangan perekonomian wilayah yang produktif, efektif, dan efisien berdasarkan karakteristik wilayah bagi terciptanya kesejahteraan masyarakat dan pembangunan yang berkelanjutan.
- Mencegah bencana ekologis yang diakibatkan oleh keserakahan manusia.