Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Percik Asa di Pelosok Senja

9 Agustus 2024   07:34 Diperbarui: 9 Agustus 2024   07:37 19 1
Di sebuah desa kecil yang tersembunyi di balik rimbunnya pepohonan, bernama Desa Harapan, hiduplah seorang anak bernama Bimo. Bimo adalah bunga desa, anak tunggal Pak Rahmat, seorang petani sederhana yang berjuang dari fajar hingga senja. Desa Harapan seolah-olah terputus dari arus zaman; tak ada sinyal yang menari di udara, tak ada jejak teknologi canggih. Kehidupan di sana berjalan seperti waktu yang enggan bergerak maju.

Sejak kecil, Bimo sering memandang jauh ke arah batas hutan, seolah-olah ada dunia lain yang memanggilnya dari balik pepohonan. Cerita-cerita yang ia dengar dari Pak Lurah tentang gemerlap kota dan kehidupan serba modern ibarat angin yang berhembus membawa harapan baru ke dalam hatinya. "Bagaimana rasanya hidup di kota?" pikirnya sambil memandangi hutan yang membungkus desanya dengan rapat.

Suatu hari, sepulang sekolah, Bimo menemukan ayahnya sedang berjuang melawan waktu untuk memperbaiki radio tua yang sudah lama tak bersuara. Radio itu adalah nyawa bagi warga desa, yang selama ini menjadi jendela mereka untuk mengintip dunia luar.

"Ayah, kenapa nggak beli radio baru saja?" canda Bimo sambil tersenyum tipis.

Pak Rahmat tertawa kecil, suara tawanya serupa gemericik air di tengah sunyi. "Nak, untuk beli beras saja kadang masih kurang, apalagi untuk beli radio baru."

Bimo terdiam, hatinya seperti digelayuti awan mendung. Namun, semangatnya tak mudah padam. Malam itu, di bawah sinar lampu minyak yang redup, ia termenung memikirkan masa depan desanya. "Aku harus melakukan sesuatu," tekadnya bergejolak.

Keesokan harinya, Bimo berlari menuju rumah Pak Lurah dengan langkah secepat kilat. Ia tahu Pak Lurah sering menerima surat dari anaknya yang kuliah di kota, dan ia ingin tahu lebih banyak tentang dunia di luar desanya. Sesampainya di rumah Pak Lurah, matanya tertumbuk pada sebuah benda asing yang tak pernah ia lihat sebelumnya.

"Apa itu, Pak Lurah?" tanya Bimo dengan rasa penasaran yang menyala-nyala.

"Oh, ini namanya laptop, Bimo. Anak saya kirim dari kota. Dengan alat ini, saya bisa tahu banyak hal dari seluruh dunia," jawab Pak Lurah, dengan nada bangga yang menguar seperti aroma kopi pagi.

Bimo terpana, matanya berbinar-binar bak bintang pagi. Ia mendekat, memperhatikan laptop itu dengan takjub, seakan-akan ia sedang memandangi harta karun. Pak Lurah menjelaskan berbagai hal tentang laptop, meskipun banyak istilah yang melayang begitu saja di kepala Bimo tanpa meninggalkan jejak.

"Bagaimana kalau kamu belajar pakai laptop ini?" tawar Pak Lurah, sambil tersenyum penuh pengharapan. "Kamu bisa bantu saya cari informasi tentang pertanian dan cara-cara modern mengolah hasil tani. Siapa tahu bisa berguna buat desa kita."

Mata Bimo bersinar seperti matahari yang baru terbit. "Boleh, Pak! Saya mau belajar!" jawabnya dengan semangat yang tak terbendung.

Hari-hari Bimo pun berubah. Setiap sore, setelah belajar di sekolah, ia bergegas menuju rumah Pak Lurah untuk mengeksplorasi dunia melalui layar laptop yang ajaib itu. Meskipun sinyal internet di desa lemah seperti angin semilir, Bimo tak pernah putus asa. Ia belajar mengetik, mencari informasi, bahkan menyusun laporan sederhana tentang apa yang ia pelajari. Pak Lurah sering memuji Bimo, semangat dan ketekunannya bagai embun yang menyegarkan pagi.

Namun, musim hujan tiba, membawa serta tantangan yang tak terduga. Hujan deras yang turun seperti air yang tumpah dari langit menyebabkan aliran listrik sering padam. Laptop Pak Lurah, yang bergantung pada listrik, menjadi tak lebih dari sekadar kotak tak berdaya. Kekecewaan menggantung di hati Bimo, tapi ia tidak menyerah. "Pasti ada cara lain untuk memajukan desa ini," gumamnya sambil memandang langit yang mendung.

Pada suatu malam yang penuh dengan kilat dan guntur, Bimo teringat pelajaran IPA di sekolah. Gurunya pernah bercerita tentang energi alternatif, seperti sebuah kisah ajaib dari negeri dongeng. "Mengapa tidak mencoba memanfaatkan sungai yang mengalir deras di dekat desa?" pikirnya. Keesokan harinya, Bimo pergi ke perpustakaan sekolah, yang meskipun kecil dan penuh debu, masih menyimpan beberapa buku tentang teknologi sederhana. Ia meminjam buku tentang pembuatan kincir air.

Selama berminggu-minggu, Bimo bekerja keras merancang kincir air sederhana di sungai yang berbisik lembut di telinga desanya. Awalnya, warga desa menertawakannya, menganggapnya seperti anak kecil yang sedang bermain-main dengan mimpi.

"Ah, anak kecil mau bikin apa sih?" ejek beberapa orang dengan suara yang bagai gemuruh di telinga Bimo. Namun, Bimo tak peduli. Dengan bantuan ayahnya, ia berhasil menyelesaikan kincir air tersebut. Aliran listrik yang dihasilkan memang kecil, seperti lilin yang menyala di tengah kegelapan, tapi cukup untuk menyalakan beberapa lampu dan laptop Pak Lurah.

Ketika kincir air Bimo mulai berputar, warga desa terpana. "Bimo ini anak ajaib!" seru mereka kagum, seakan-akan melihat sihir yang tak terduga. Perlahan-lahan, desa yang sebelumnya tenggelam dalam gelap gulita saat malam hari mulai diterangi oleh cahaya lembut dari lampu-lampu sederhana. Laptop Pak Lurah kembali bersuara, dan Bimo dengan bangga menunjukkan kepada warga cara-cara modern mengolah pertanian yang ia pelajari dari internet.

Pak Lurah, yang merasa bangga seperti burung yang terbang tinggi, mengajak seluruh warga berkumpul di balai desa. Di depan semua orang, Pak Lurah berkata, "Kita semua harus berterima kasih kepada Bimo. Dia tidak hanya membawa cahaya dalam arti yang sebenarnya, tapi juga harapan bagi masa depan desa kita."

Bimo hanya tersenyum malu, pipinya merona seperti mentari sore yang turun di ufuk barat. "Saya hanya ingin desa kita bisa maju, Pak. Biar kita nggak tertinggal jauh dari desa-desa lain," katanya dengan rendah hati.

Namun, di tengah kebahagiaan itu, Bimo dihadapkan pada dilema yang tak pernah ia bayangkan. Suatu pagi, Bimo menerima surat yang dikirimkan oleh Pak Lurah dari anaknya di kota. Isinya adalah tawaran beasiswa dari sebuah sekolah teknologi di kota besar. Sekolah itu mendengar tentang prestasi Bimo yang berhasil membuat kincir air dan ingin memberinya kesempatan untuk belajar lebih dalam tentang teknologi.

Bimo terkejut. Hatinya bergemuruh, seperti ombak yang menghantam karang. Tawaran itu adalah mimpi yang selama ini ia pendam---kesempatan untuk melihat dunia luar, belajar lebih banyak, dan mungkin kembali ke desanya dengan pengetahuan yang bisa memajukan Desa Harapan lebih jauh lagi.

Namun, di sisi lain, Bimo tahu bahwa jika ia pergi, tidak akan ada yang melanjutkan proyek kincir airnya, tidak ada yang mengajarkan teknologi kepada warga desa, dan mungkin, tidak ada yang akan menggantikan semangat yang telah ia bawa ke desa itu. Desa Harapan, yang baru saja mulai bersinar, bisa kembali gelap tanpa kehadirannya.

Bimo duduk termenung di tepi sungai, merenungkan keputusannya. "Jika aku pergi, desa ini akan kehilangan harapannya," gumamnya. "Tapi jika aku tinggal, aku mungkin tidak akan pernah mendapatkan kesempatan ini lagi."

Pak Rahmat, yang melihat anaknya dilanda kebingungan, duduk di sampingnya. "Nak, hidup ini penuh dengan pilihan. Kadang kita harus melepaskan sesuatu untuk mendapatkan yang lain. Tapi ingat, apapun keputusanmu, lakukan dengan sepenuh hati."

Bimo menatap ayahnya, hatinya terasa seperti dipecah menjadi dua. Tapi kemudian ia ingat, harapan itu bisa datang dari mana saja, bahkan dari seorang anak desa yang pernah bermimpi tentang teknologi. Dengan hati yang bulat, Bimo memutuskan untuk menerima beasiswa itu.

Ia meninggalkan Desa Harapan dengan janji kepada dirinya sendiri: suatu hari nanti, ia akan kembali. Kembali dengan lebih banyak ilmu, lebih banyak pengalaman, dan lebih banyak cahaya yang bisa ia bawa ke desa yang dicintainya.

Desa Harapan, meskipun ditinggal oleh Bimo, tetap menjaga api semangat yang telah dinyalakan olehnya. Warga desa terus mengembangkan teknologi sederhana yang telah diajarkan Bimo, dan mereka menunggu hari di mana anak kebanggaan mereka akan kembali membawa lebih banyak harapan.

Dan Bimo, di kota yang gemerlap, tak pernah melupakan desanya. Ia belajar dengan giat, menimba ilmu seperti sumur yang tak pernah kering, sambil memupuk harapan di hatinya. Harapan untuk kembali, dan untuk membawa lebih banyak cahaya ke tengah hutan yang pernah membesarkannya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun