Dulu aku menganggapnya lelucon, karena sikapku sungguh kekanak-kanakan. Tak kusangka hari ini aku menyadari semuanya. Seperti de ja vu, hari ini aku menapaki jalanan itu bersama seseorang, orang lain. Yang kulakukan hanyalah menundukkan kepala, aku masih sedih memikirkanmu. Namun tiba-tiba sesuatu terdengar di telingaku, seekor anak kucing basah yang mengeong kedinginan.
"Ambil, Far! Bawa pulang." Ucapnya cemas sambil mengeluarkan sapu tangan untuk mengelap kucing itu.
"Tidak, Bang. Ibu akan marah kalau aku memelihara kucing lagi." Jawabku dengan nada menyesal.
Wajahnya kecewa, lalu kemudian kami sama-sama berjongkok untuk membersihkan anak kucing itu. Kulihat dia sangat menyayanginya, tapi kemudian dia berkata, "Aku ingin sekali memeliharanya di rumah, tapi kau tahu sendiri, Far. Bagaimana mungkin seseorang yang tak mampu memelihara berteman dengan seseorang yang mampu memelihara?"
Aku tersentak kaget. Itukah kau? Namun segera kusadari bahwa dia adalah orang lain yang jauh berbeda darimu. Mengapa dia mengatakan perkataan yang sama dengan yang kau ucapkan? Di tempat yang sama pula?
"Far, kamu kenapa?"
"Nggak apa-apa, Bang." Ucapku setelah sekian lama terdiam.
Di sisa perjalanan itu, kami memutuskan anak kucing itu akan tinggal dan dipelihara di rumahnya, dan aku yang akan memberinya perawatan setiap hari. Anehnya, mengapa aku mudah saja mengucapkan kata "ya"?
Kutahu aku begitu kesepian akhir-akhir ini sejak kepergianmu, tapi bukan berarti aku ingin mencari penggantimu. Asal kau tahu, aku cukup kuat untuk hidup seorang diri dengan beberapa teman saja. Kau juga tahu, kan, bahwa sulit bagiku untuk berada dekat dengan seseorang? Persahabatan hanyalah topeng saja, topeng untuk membuang rasa kesepianku tanpamu. Canda dan tawa juga hanya sandiwara saja, untuk menutupi tangisan yang selama ini ada di jiwaku. Namun yang aku khawatirkan adalah: aku begitu menikmati saat-saat di mana aku merasa begitu sendiri.