Kali ini aku datang memakai batik berwarna biru dengan terusan jeans hitam agar berkesan lebih casual. Kemarin, aku sengaja membeli batik baru khusus untuk dikenakan di hari ini. Bukan untuk show off dan meyakinkan sang assessor bahwa akulah kandidat yang paling potensial. Sama sekali bukan! Rasanya itu motivasi yang terlampau dangkal, sama seperti ketika aku menjual diri dengan penampilan, senyum dan kata-kata manis kepada para psikolog industri pemburu human capital perusahaan. Aku sengaja memakainya untuk menghormati kawan-kawanku yang datang dari berbagai penjuru negeri membawa niat baik yang tak semua orang di negeri ini mau melakukannya. Lain itu aku tak mempersiapkan apapun. Materi mengajarpun tidak. Misiku cuma satu, menjadi diri sendiri, spontan dan asli. Biarlah, yang terjadi terjadilah.
Memang ada aura yang berbeda ketika mengikuti assessment calon pengajar muda. Tak ada aroma kompetisi dan pertunjukkan individu di depan para assessor.Yang ada justru suasana yang saling menghargai dan sesekali juga mengkerdilkan diri, bahwa merekalah yang lebih pantas untuk menjadi pengajar muda. Nafsu show-off tiba-tiba lenyap ketika memasuki sesi presentasi diri. Betapa tidak? Kali ini aku bertemu Nana yang pernah mencicipi sekolah di US, dan pernah bekerja juga di bank swasta asing lalu memilih untuk mendaftar menjadi calon pengajar muda. Hematku, Nana sudah gila. Inisial B, yang ini aku benar-benar lupa namanya, ia adalah Indiana Jones yang berburu bibit-bibit olimpiade fisika ke pelosok Papua. B juga gila, hingga aku sampai tak sadar menyalaminya begitu selesai presentasi, sebagai tanda hormat dan kagumku.Lalu masih ada Epong yang telah bergumul mengajar anak-anak jalanan, begitu juga dengan Tala sang psikolog yang telah banyak membantu anak-anak berkebutuhan khusus. Sementara aku? Hah..hah..aku sampai menertawai diri sendiri: seorang key account officer yang galau mencari panggilan jiwa. Oh, ayolah apa seburuk itu kelihatannya?
Biar bagaimanapun aku bahagia hari ini. Menjadi pengajar muda betulan atau tidak, itu tak lagi menjadi soal. Bertemu merekapun telah banyak memberi inspirasi. Bahwa nyatanya diluar gedung-gedung kaca dan partisi kantor, jauh dari kesan manusia yang serba tergesa, masih ada anak-anak bangsa yang peduli. Mereka tak meneriaki sang raja yang tak becus memimpin nusantara. Pun mereka sungkan untuk disebut mengabdi kepada negara. Mereka hanya mengabdi untuk kemanusiaan, membela orang-orang yang layak untuk dibela ketika negarapun telah melupakannya. Aku ingat Tumenggung Singaranu, sang negarawan dari Mataram pernah berkata, ‘ketika nasionalisme telah berada di titik nadir, pun sang raja telah kehilangan kewibawaanya, maka kewajiban kita bukanlah untuk mengabdi pada sang raja dan negara, tapi kawulo alit yang menjadi korban kesewenangan kekuasaan’*. Ya, mereka inilah kawan-kawan baruku yang telah melakukan itu. Mereka adalah manusia-manusia yang telah lama berdiri menjawab panggilan jiwa mereka. Berbeda dengan latar belakangku yang nota bene kapitalis, seorang corporate man yang sedang mencoba untuk menjadi filantropis. Tapi sudahlah, bukankah niat baik juga telah tercatat sebagai satu amal kebaikan?
Lalu untuk apa semua ini?
Sesederhana itukah dengan mengatakan mengikuti pangilan jiwa? Entahlah, aku pun sebenarnya tak tahu jawabannya. Namun, aku pun sering berpikir bahwa, panggilan jiwa butuh diuji dengan tindakan. Untuk itulah kali ini aku datang ke tempat ini. Dan aku tak menyesal apapun hasilya nanti. Tugasku hanya untuk terus mencari tempat dimana aku bisa melepaskan bibit yang terpendam untuk tumbuh bebas, memberikan manfaat kepada kehidupan disekitarnya. Maka kepada kawan-kawanku itu, yang telah menemukan panggilan jiwa mereka, ketahuilah bahwa aku menghormatimu, jika tak bisa dikatakan kagum kepadamu. Untuk itulah, aku memakai baju terbaikku-untukmu.
Kebayoran Baru, 23 Juni 2012
*Kutipan dalam novel Rara Mendut karangan YB. Mangunwijaya.
Kandidat Pengajar Muda angkatan V (15 dari 184)