Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat

Batin yang Menghamba: Penilaian terhadap 'Orang Suci'

19 Oktober 2011   04:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:46 645 0
  • T' Saint Osa Sudah saatnya kita untuk mengenali diri kita sendiri seperti petunjuk master Lao Zi. Saya merasakan bahwa dengan mencoba untuk mengenali diri, saya menjadi tidak mudah emosi ketika saya dikatakan buruk rupa oleh orang lain, lha saya ternyata memang buruk rupa je... Saya baru menyadari sekarang bahwa saya memang buruk rupa...
  • Daniel Suchamda Ya benar....itulah proses pemahaman diri. Bila kita marah lalu berkata dalam hati "saya tidak boleh marah"...itu adalah suatu bentuk pikiran yg mengingkari. Bila saya keras lalu berkata "saya harus lembut"....itu adalah hasil suatu proses pikiran semata yang tidak akan menjadikan anda lembut. Senyatanya anda akan tetap keras. Kekerasan itu baru hilang bila kita bisa melihat secara utuh dan kemudian menerima apa adanya. Dari situ akan ada sesuatu yang baru, yang lain. Kan tidak ada yg salah untuk menjadi orang keras? Alam sudah menjadikan diri anda dalam karakter itu. Persoalannya adalah bagaimana membawa karakter itu menjadi berguna menjadi sesamamu, dan alam semesta.
  • Daniel Suchamda Alvatarz Mc Law : hi..hi..hi.. orang2 suci adalah org2 yang bodoh, dan pengecut serta suka berbohong . Daniel Suchamda : Benar. Makanya aku masih lebih menghargai pembohong yg membawa manfaat buat kemanusiaan. Daripada pemujaan orang suci yg akhirnya merusak peradaban dan membawa musibah kpd kemanusiaan. Makanya repot kalau manusianya masih baru sampai tahap bisa dididik bila dibohongi. Dengan tulisan ini aku mencoba utk membukakan mata bahwa orang perlu belajar terhadap sesuatu yg realistik. Dan bukan subyeknya yang dipersoalkan, tapi si penerima pesan itu (yaitu diri kita masing2) yang harus menjadi pusat dari penyelidikan.
  • Hardi Cahyanta ‎- Terimakasih saya sudah ditag, Bro Daniel :-) - , barangkali jika dicermati, akan menarik untuk melihat alasan mengapa seseorang merasa perlu memililki tokoh panutan/ pujaan/ idola. Dalam ilmu psikologi (Freudian) misalnya, dipaparkan bahwa seorang anak mengalami "fase ibu", "fase ayah" dan pencarian jati diri, di mana si anak mencari sumber2 contoh di luar kedua orang tuanya. Ada semacam kebutuhan untuk mengidentifikasi diri dengan itu. Selain itu, dalam dunia spiritual (:agama), dikenal juga sistem "juru selamat", di mana seorang tokoh/ messias, diharapkan menjadi jalan pintas menuju keselamatan. Pemujaan tokoh dengan berbagai alasan tadi, menurut hemat saya berujung pada kebutuhan akan jaminan, akan rasa aman. Itu adalah kebutuhan akan "resep sederhana" untuk mencapai keamanan dari berbagai ketidakpastian. ;-)
  • Daniel Suchamda : Nah, benar...kebutuhan rasa aman. Tentu mas, karena figur yang sempurna (disempurnakan) apalagi di-elevasikan ke tataran Ilahi itu memberikan semacam garansi dan penutupan terhadap kecemasan eksistensial yg ada. Jauh lebih mudah untuk berlindung pada imaji-imaji figur, karena imaji itu statis, bisa dimiliki ('dikantongi' dalam wujud foto/simbol), 'abadi', memiliki otoritas, dan bisa dibentuk sesuai dengan kebutuhan. Jelas berbeda dengan realitas kehidupan yg serba ketidak-ada-kepastian, dinamis dan mengharuskan mengambil keputusan2 tanpa otoritas dari siapa pun.
  • Daniel Suchamda Yang menarik dari fenomena tokoh2 tercerahkan jaman modern ini adalah : Mereka mengajarkan kita sesuatu... Tapi pada akhirnya mereka meninggalkan kita sendiri untuk menilai itu dari diri sendiri (leave us alone to decide). Ini konsisten dengan pesan yg mereka sampaikan yaitu ALONENESS (kesendirian). Karena senyatanya kehidupan itu adalah sendiri...: dari otoritas sendiri, dan tiap2 manusia harus berjuang utk dirinya sendiri (pada dasarnya semua manusia egois/ mementingkan diri masing2), bebas dari beban pengaruh apa pun. Walaupun --hal yg sulit dipahami-- pada akhirnya sikap yang sendiri itu mewujud dalam satu kebersamaan yang global (ALL-ONENESS). Dimana tidak ada individu2 yg terpecah, karena kesadaran itu adalah menyeluruh. Paradox ini secara mikro bermanifestasi dalam kisah kehidupan mereka -- cahaya yg tak lepas dari bayang2. Tentu alam memanifestasikan ini dengan suatu tujuan.
  • ULe Albab pencarian akan sosok seseorang sempurna itu sepertinya ada dalam setiap dimensi kebudayaan manusia. pasca kedatangan para mesiah (Nabi dalam agama) pencarian ini terus berlanjut dengan muncul istilah satrio paningit, ratu adil, imam mahdi (syiah) dst...trims mas Daniel tulisan ini memperjelas kondisi "kekurangan" psikologis manusia
  • Daniel Suchamda : Ya, saya mengungkapkan kelemahan psikologis manusia sehubungan dengan figur sempurna. Tetapi di sisi lain, saya ingin mengatakan bahwa hadir manusia2 khusus yg secara nyata memberi pengajaran untuk menyelidiki secara langsung kelemahan2 psikologis itu, dan utk kemudian melampauinya. Bahkan --post-humously--, mereka 'tersirat' meninggalkan pesan bahwa : kemampuan manusia utk keluar dari kungkungan psikologisnya bukan berarti menjadikan dirinya bukan-manusia dengan segala dualitas dan konfliknya. Kalau Buddhis, lebih mudah memahami hal ini, karena adanya doktrin yg mengatakan bahwa : seorang yg tercerahkan bukan berarti bebas dari karma masa lampaunya. Ia masih harus menuntaskan karma masa lampaunya yang berbuah pada kehidupan yg sekarang.
  • Goldy Oceanta ulasan yg bagus
    • Hardi Cahyanta Mereka yang gagal memahami kesendirian, akan selalu sendirian walaupun tidak sadar atau menyangkal bahwa dia sendirian :-)
    • Daniel Suchamda : Ya benar begitu.Dan memang senyatanya kalau orang tercerahkan itu mengajarkan ALONENESS (kesendirian) itu = A. Maka sisi kontradiktif dari si tokoh/figur dalam sistem ini menciptakan saringan (filter)-nya sendiri : yaitu hanya akan mempertahankan 'pengikut' yang A. Sedangkan yang non-A akan rontok atau menyingkir dengan sendirinya (mereka akan cari figur). Tampaknya terdapat perubahan tema millenia 180 derajat. Di masa lalu, sistem melestarikan komunitas2 non-A (sekalipun secara doktrinal berekspektasi terhadap A), sehingga dalam kitab2 mereka selalu bersifatkan hagiografis yg ditambah dengan pasal2 pemusnahan bagi golongan A. Sedangkan jaman sekarang, sekalipun A berkembang dalam skala individu2 , akan tetapi pada akhirnya akan menciptakan suatu new-consciousness yang bersifat global (ALL-ONENESS). Paradox ini sungguh indah!
KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun