Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Sabar Itu Luka

3 Desember 2024   18:39 Diperbarui: 3 Desember 2024   18:47 57 1


Aku membiarkan tangis tumpah sejadi-jadinya. Aku ingin beban di dada lekas berkurang, bahkan hilang kalau pun bisa. Mungkin, tersisa sedikit ruang di sepanjang hati yang belum terjamah luka karena kadang kala aku masih bisa tenang.

"Menangislah sampai ada kelegaan."

Afirmasi itu kuberikan untuk diri sendiri yang terlalu lama tertekan oleh rasa nrimo.

Sebagai perempuan yang menyandang status istri bahagia, aku harus berpura-pura dalam segala hal. Namun, ketangguhanku terbatas. Kenyataannya, aku justru menciptakan luka di atas luka dengan sikap yang semu.

Rumah besar, perabotan lengkap, dan sederet penampakan wow yang menggambarkan kesuksesan suami hanyalah kamuflase. Tenagaku tetaplah sumber utama yang harus diabdikan tanpa pamrih.

"Suatu kewajaran semua tugas rumah ditunaikan oleh seorang istri sekaligus ibu."

Percuma saja menguliti teori kesetaraan gender karena di otak penonton yang tersemat adalah sebongkah pemakluman.

"Ibu, aku ingin beli ular tangga. Boleh, ya?"

"Ibu belikan es krim cup di sana."

"Ibu ...."

Rengekan anak kecil yang hanya dijawab dengan 'besok, ya' merupakan salah satu luka perempuan yang tampak beruang, tetapi bohong. Aku--perempuan yang menggenggam janji--harus selalu tersenyum dan terus meyakinkan anaknya bahwa suatu saat keinginannya pasti terkabul. Sayang, belum ada kemampuan meski sebatas lima ribu rupiah saja.

Kedua hidungku mampat setelah menangis sementara waktu. Sekuat tenaga, aku menghirup udara agar napas kembali lega.

"Kita pulang, yuk."

Aku mendongak saat mendengar suara lelaki yang sangat kalem.

"Mengapa nangis di makam?"

Tangan Daren--kakak kandungku--menarik tangan adiknya yang sedang rapuh ini.

"Aku hanya kangen mereka."

Lengkung tipis terukir di mulut kakakku yang hampir tidak pernah berkata kotor.

"Kalau kamu sedang boong keliatan dari idung yang kembang kempis."

"Masa?"

"Tapi bagus, sih. Perempuan mulia itu yang mampu menjaga aib pasangan. Seburuk apa pun suami, istri wajib menutupinya."

"Abang sotoy!"

"Jemput keponakanku dan lekas pulang. Percayalah, suatu saat kamu akan lebih bahagia. Kuncinya, bersabarlah dan selalu bersyukur."

Satu usapan lembut di kepalaku mengakhiri percakapan kami sebelum Bang Daren benar-benar pergi. Aku mengerjap dan meyakinkan diri tidak sedang terjebak dalam halusinasi.

"Daren Al Hakim."

Sebuah nama tertulis di samping makam Abah dan Umi. Kakakku memang sudah meninggal beberapa tahun lalu. Namun, baru saja aku merasakan hal di luar nalar yang mungkin termasuk gejala gangguan mental.

Cuitan-cuitan di kepalaku makin riuh hingga keningku berdenyut. Aku merasa penat dan pusing. Aku pun memutuskan keluar dari makam setelah berpamitan pada mereka, tiga sosok yang telah berpulang lebih dulu.

Waktu mendekati siang hari, tetapi matahari masih bersembunyi di balik selimut abu-abu. Aku menuju sekolah anakku yang terletak tidak jauh dari makam. Anakku menjadi siswa terakhir yang dijemput oleh orang tuanya.

"Apakah Ibu sedang sedih?"

Gelengan kepala dan sedikit senyuman cukup sebagai jawaban atas pertanyaan anakku.

"Aku, kan, udah tidak nakal lagi. Aku tidak merengek minta jajan. Aku udah jadi anak baik. Kenapa Ibu masih murung?"

Seandainya, mulutku tidak mampu menutup rapat-rapat, dia tentu akan tahu luka di hati ibunya. Aku akan menciptakan ruang di otaknya sehingga penuh dengan penghakiman sepihak.

"Maafkan Ibu yang belum bisa menepati janji, ya?"

"Aku udah nggak ingin semuanya. Aku hanya ingin Ibu."

Tangan mungil menggenggam tanganku sambil terus berceloteh. Mataku basah, tetapi harus tetap ceria, apalagi menanggapi ceritanya selama di sekolah.

Sepertinya, aku harus mengolah emosi agar tidak berkembang menjadi gangguan kejiwaan. Kalau ada yang menebak sumber masalahku adalah uang memang benar. Entah sampai kapan, aku harus bersahabat dengan kesabaran.

Kjoktan, 20.10.24

***Tamat***

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun