Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Lelaki Pemuja Malam

30 Maret 2012   14:02 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:15 295 0
Tertikam malam. Bulan terkapar. Membias purnama dilindap kamar. Kutatap bintang menjelma semacam kunang. Ah, ini malam menyimpan semacam gendam; Senyap mencekam. Di satu ruang tunggu; terkenang kembali dalam pikirku tentang bumi dan air tempatku terlahir, sebelum akhirnya sehasta takdir meraut sedu terakhir saat aku terpaksa melaju jejak menjadi kembara di dermaga rantau: Mengharap setapak cita-cita terpahat di samudera nadir. Ah, selalu tiap malam. Dalam sungkur sujudku, tak hentinya kusulam tangisku. Bersebab sedih aku, saat terinsyaf hingga kini aku belum menemu semacam falsafah hidup untuk kunahkodai dalam pelayaranku mengarungi lautan citaku. Aku memang telah sampai di tengah laut. Namun merupa laut rantau, tak semudah yang terpikir. Berulang kali aku bergumul dalam badai gagal. Sekali dua kali bangkitlah aku, namun kini segapai jemariku tak mampu lagi berpegang pada kemudi kebangkitan. Aku telah kalah. Kini tangis telah bersimbah, dan hari-hari terlewat dalam pertapaan sesal. Mengapa kutinggalkan bumi dan air kelahiran demi menyabung mimpi mengarungi laut rantau hingga segala harap mewujud di masa depan. Alahai, begini rasanya terombang-ambing di laut rantau; tiada berayah-ibu. Hidup hanya disusui yakin: “Tuhan selalu berpihak pada umat-Nya yang berusaha” Ini malam, kembali kuraut sepijar cahaya bulan dalam setatap mata. Dulu acapkali aku berkhayal dapat menggantungkan cinta-cita setinggi langit, berharap aku serupa bulan yang bergantungan di dada langit; menemu keagungan Tuhan, namun berkalang waktu kemudian barulah terpikirku; Aku serupa punguk merindukan bulan. Ah, sepertinya selera humor Tuhan dalam mengatur penghidupanku terlalu dashsyat, hingga aku juga mau tak mau kadang tersenyum dalam tangis meratap takdir yang mengguris. Malam masih berjelaga, pun semakin pekat. Sedang aku, masih memicingkan mata mencoba meramu kenangan, dan tetap saja aku dilarut tangis menahan duka yang semakin kelat. Ah, aku lelaki tak seharusnya aku menangis! Perlahan, kuseka air mataku. Untuk menghilangkan kecamuk yang bergelut dalam pikirku kucoba melangkah di tengah gelap. Wajahku disisir angin. Sejenak kupejam mata, aku menemu semacam gigil yang mendinginkan pikiranku.  Namun, itu hanya sejenak… tiba-tiba aku kembali dijilat kobaran gelisah dan lamat-lamat aku dengar percakapan gusar yang mengulur kesiur semayup suara di rongga jiwaku, lalu aku terbakar dalam percakapan batin yang menelikung dogma; Harusnya aku menjadi lelaki pemuja malam...

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun