Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story Artikel Utama

Taman Pintar Yogya: Jabat Erat dari Dunia Sains

18 Januari 2010   06:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:24 1840 0

Beberapa hari ini saya sering penasaran, sejak ada teman yang mampir. Namanya Mr. Seniman, seorang gitaris grup rock ‘n roll yang always almost rekaman. Saya cerita dulu tentang kawan saya yang satu ini, karena kisah hidupnya cukup menarik. Dia sempat ikut tour dan mengiringi beberapa penyanyi terkenal, tetapi kemudian sadar, kalau hidupnya mungkin bukan di jalur music. Akhirnya dia berjualan handphone dan ringtones. Apakah petualangan berhenti sampai di sana? Tidak, selanjutnya hidupnya berubah karena ternyata ringtones memiliki hak cipta, dan herannya hak cipta ringtones Deff Leppard misalnya, bisa dibayar ke KCI (komite something begitu.. Saya lupa kepanjangannya). Apakah KCI menyetor ke grup rock mancanegara tersebut? Saya kurang jelas. Tetapi yang jelas hasilnya: teman saya ini kena masalah sampai ke pengadilan segala, sungguh kacau! Setelah berganti-ganti profesi, sekarang dia berjualan makanan siap saji.

Nah, apa hubungannya dengan rasa penasaran saya tadi? Begini, sore itu Mr. Seniman mampir untuk ngopi sambil bertukar dongeng dengan saya. Mr. Seniman baru saja mendapatkan semacam tempat jualan di tempat yang disebut TAMAN PINTAR. Sebagai orang yang merasa kurang pintar saya sangat tertarik dengan Taman Pintar. Siapa tahu itu semacam tempat untuk membuat seseorang menjadi lebih pintar. Eh, siapa tahu otak saya yang tumpul ini bisa ditajamkan di taman itu.

"Itu tempatnya mantep, Man (“Man” adalah cara Mr. Seniman memanggil teman lelakinya; lalu sebagai manusia modern yang mengikuti hukum "what monkeys do then monkeys do", saya jadi ikut terbawa memanggil dia "Man" juga) … Pengunjung ampe ribuan kalau weekend!!"

"Oh, rame ya? Gua (diucapkan dengan logat medhok Jawa) sering beli buku di Shopping Center, sering lihat, Man, tapi belum pernah mampir"

"Elo salah Man, elo kan suka otomotif, di sana ada mobil dibelah Man! Elosuka"

"Dibelah? Kelihatan dalamnya? Weh, mantep neh, aku kudu ke sana Man!"

Sambil menghisap rokok, Mr. Seniman berhembus," Iye Man, wajib! Elo juga mampir ntar ke kedai ane.."

Semenjak pertemuan ini saya jadi kepengen sekali ke Taman Pintar. Saya ingat dan tahu lokasinya, karena saya sering ke Shopping Center dan ke Gedung Taman Budaya untuk menyaksikan Bienalle bulan Desember kemarin. Saya merasa itu pasti taman untuk anak-anak, jadi pasti aneh kalau saya sendirian ke sana. Saya takut jika saya sendirian ke sana bisa dituduh copet atau penculik anak. Saya terpaksa memundurkan rencana sambil berpikir-pikir bagaimana caranya bisa berkunjung ke Taman Pintar tanpa terlihat aneh.

Sore itu saya bersantai di pendopo rumah, biasa lah, ditemani punakawan saya yang setia, yang obrolannya kadang di luar jangkauan akal sehat. Saya sengaja memancing Sastro untuk mengeluarkan idenya. Saya sampaikan keinginan saya dolan ke Taman Pintar, tapi kok Sastro, heran sungguh heran dia sangat tidak antusias. Kadingaren, tumben, biasanya Sastro antusias sekali kalau menyangkut soal dolan-dolan dan fenomena beginian.

Dengan rada dongkol, "Kenapa toh? Kamu itu terlihat tanpa antusiasme?"

"Ngga papa, Mas.. Saya itu cuma mikir pantes tidak saja"

"Pantes? Tidak pantes?"

"Iya, itu taman buat orang pinter, toh? Saya mbayangke isinya Plato jalan-jalan, Newton baca buku di bawah pohon, Einstein ngundha layangan, Socrates main gundu, dan Stephen Hawkins didorong menghirup udara sore. Lha kalau terus ada sesosok Sastro ikut-ikutan? Bisa bubrah!"

"Walah, asem, kamu itu baca buku-buku filsafatku ya? Woooo, njuk show off di depanku! Terus bahasanya meninggi! Kok isa-isane sampeyan itu ngaduk-aduk lemari buku pribadi saya? Jangan-jangan sampeyan juga duduk di sofa saya sambil ngopi dan merokok menikmati buku-buku saya?"

Sastro agak kaget, tapi sebentar saja dan siap-siap mengeyel lagi, "Lah? Kan njenengan sendiri Mas, yang sukanya omong kalau saya harus banyak belajar, banyak membaca. Lha saya nyari bacaan sudah habis. Kalau dulu njenengan masih kadang beli majalah pria, beli tabloid, beli novel roman, sekarang kan jenengan sudah tidak pernah beli. Semua njenengan baca di kios korannya supaya irit. Lha saya terpaksa Mas, sudah kehabisan bacaan, lha kalau baca buku atau majalah lain sudah habis"

Saya agak tersentak, benar juga, anggaran saya untuk bacaan ringan sudah tidak ada akhir-akhir ini. Sudah ngirit. Kasihan juga si Sastro, mengais-ngais bahan bacaan sampai buku filsafat dilahap. Saya sendiri yang mengajari dia supaya suka membaca, dari koran lokal, sampai novel, dan akhirnya dia kecanduan bacaan. Suatu hal yang luar biasa untuk seorang lulusan SMP seperti dia. Saya merasa bersalah juga dengan urusan ini.

"Ya sudah, gak apa-apa, asal jangan megang buku saya dengan tangan kena minyak pisang goreng dan sebangsanya. Dibaca dan dikembalikan pada tempatnya."

"Iya Boss, eh tapi njenengan malah kalau baca di kamar mandi, sampai saya pernah diminta menjemur buku gara-gara terjatuh di lantai kamar mandi."

"Weeeee, sampeyan ini malah semangkin nekad … saya ini masih pemimpin di sini, ngono ya ngono ning aja ngono! Pemimpin itu boleh dikritik tapi jangan banyak-banyak, apalagi masalah personal, jangan mengkait-kaitkan dengan aturan yang saya bikin", saya sudah kepepet dan hak otoritas saya harus muncul, bahaya kalau bawahan diberi kebebasan bicara yang tidak terbatas, lama-lama bisa menggoyang tampuk kekuasaan dan menghilangkan respek lingkungan terhadap pimpinan. Saya tidak mau itu terjadi.

Sastro tampak agak takut, saya jadi inget resep pimpinan yang baik dan benar. Jika jadi pemimpin, berilah rakyatmu makan, permainan dan hiburan yang cukup, maka mereka akan tenang damai.

"Wis, gini aja Tro, besok kita berdua ke Taman Pintar, pulangnya mampir Shopping Centre buat beli majalah-majalh bekas yang kamu pengeni … pulangnya nanti kan sudah sore, kita mampir di soto Lenthuk di Lempuyangan, makan soto.. Piye?"

"Sip Bosss, memang njenengan itu juragan yang penuh perhatian"

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun