Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Artikel Utama

Ngasem Kecut, Gula Legi, Kopi Pahit

21 Desember 2009   05:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:50 768 0
[caption id="attachment_41014" align="aligncenter" width="500" caption="kios-kios depan pasar ngAsem"][/caption]

Malam ini saya duduk-duduk di pendopo rumah. Hawa panas di kota Yogyakarta tercinta ini menyebabkan kebiasaan saya berubah total. Dari nonton tv atau membaca di dalam rumah, menjadi kegitan semi outdoor di pendopo rumah. Tampaknya pemanasan global bukan main-main lagi, di mana letak rumah yang sudah mendekati Kaliurang (daerah wisata pegunungan) pun sudah tidak lagi dingin. Tak terbayangkan, jika saya masih tinggal di tengah kota, pastinya sudah geragapan kepanasan.

Lembar demi lembar koran dibaca, sebenarnya bukan kolom berita yang saya baca. Hanya iklan, artikel wisata, dan beberapa topik ringan saja. Saya tidak tertarik sama sekali dengan polemik politik, harga barang terguncang, ataupun korupsi dan lainnya. Sudah bosan dan sudah eneg.

Di tengah keasyikan mencari motor tua yg ditawarkan di kolom iklan cilik, tiba-tiba saya diganggu oleh suara cempreng, khas wong ndeso," Mas, pun maos dereng?" (Mas, sudah baca belum?). "Baca apa?", sengaja saya terjemahkan supaya bisa dibaca dengan nyaman. Satro, punokawan rumah tangga sudah duduk ndlosor di dekat bale bengong yang saya duduki. "Itu Mas, ngAsem mau dipindah", katanya serius. Gandrik, kok wajahnya panik begitu. Wong banyak masalah lain yang betul-betul penting, ini malah bahas pasar burung yang mau dipindah.

Pasar ngAsem adalah pasar burung kuno yang terletak sekitar 500 m di sebelah barat Kraton Yogyakarta. Menurut kabar burung (mentang-mentang cerita pasar burung lantas kabarnya juga kabar burung), pasar ini sudah ada sejak tahun 1800-an. Pasar ini tumbuh di lingkungan kraton karena dalam kultur jawa pada masa itu (bahkan masih ada sisa-sisanya saat ini), burung bukan sekedar hobby tapi merupakan simbol status pula, sehingga wajarlah jika waktu itu pelanggan utama pasar ini adalah para bangsawan dan itulah sebabnya pasar ini berkembang di sekitar kompleks perumahan bangsawan kraton, sejak 2 abad yang lalu.

Walaupun ada komoditas-komoditas lain juga yang dijual di pasar ini, mulai dari kebutuhan dapur sampai satwa-satwa borjuis macam kucing Persia berwajah aristokrat, anjing-anjing ras yang punya akte kelahiran, dan sebagainya, tapi dua pertiga pasar ini didominasi oleh makhluk bersayap yang disebut burung. Dalam berbagai brosur wisata berbahasa asing, pasar ini pun selalu disebut sebagai ‘bird market’. Pasar ngAsem memang menawarkan berbagai macam burung dengan berbagai keindahan penampakan dan suaranya, dan tentunya yang tidak kalah menarik juga adalah aktivitas para pecinta burung yang datang dari berbagai strata masyarakat, membaur tanpa batas dan bersatu dalam kesamaan minat: burung.

Sebenarnya saya sudah lama mendengar rencana pemindahan ini. Pasar ngAsem akan dipindahkan dalam rangka pengembangan kawasan parkir Keraton. Saat ini kawasan parkir Keraton Yogya yang notabene merupakan obyek wisata, sudah kurang. Pasar ngAsem-lah yang akan dijadikan obyek “perluasan” kawasan parkir, dimana letaknya terdekat dengan kawasan parkir lama, sekitar 100 meter saja dari pasar ngAsem.

Dan sekarang Sastro demikian gundahnya dengan rencana pemindahan pasar ngAsem. Walaupun saya paham bahwa sebagai orang Yogya yang seyogya-yogyanya, Sastro akan merasakan pemindahan pasar ngAsem itu sebagai ‘amputasi’ salah satu kekhasan kotanya, tapi saya ingin dengar dari mulutnya apa yang sebetulnya dia rasakan, "Lha kenapa to, Tro? Biasa wae to? Sudah biasa to? Wong dulu pasar Klithikan di Mangkubumi ya dipindah, Beringharjo ya digeser, Shopping Center ya dimundurkan, kenapa ribut?". "Weh, Mas-e niku, ini pasar burung yang sudah sejak jaman mbah-mbah saya ya di situ itu, di tengah kota, kulon Kraton, lha kok mau dipindah jauuuh, ke mBantul, ke nDongkelan". Wuah, omong Dongkelan saja ditekan dengan menambahkan "n" di depan.

Sebenarnya saya malas membahas kasus ini, tapi si Satro ini menganggap bahwa topik pemindahan pasar nGasem adalah darurat perang, harus dibahas segera. "Ya wis, karepmu piye? Maumu bagaimana? Kan sudah keputusan pemerintah. Ini PEMERINTAH Tro, nggak usah eyel-eyelan, kalau jaman simbah dulu, kamu sudah diciduk karena ada indikasi menentang keputusan pemerintah!". "Woh, ada-ada saja Mas ini, saya bukan menentang, ini sekedar ngajak Mas buat grenengan" katanya, wajahnya rada ngeri mendengar kata "diciduk" alias ditangkap polisi. "Ngajak grenengan yang lain saja Tro, misalnya grenengan sop ayam Klaten, apa grenengan Kris Dayanti selingkuh. Ngga usah yang grenengan soal keputusan pemerintah, nggak ada manfaatnya, wong itu sudah dipikir-pikir oleh para pakar, yang kritis, punya titel berlonjor-lonjor, punya latar belakang sekolah sak kayange. Kok situ yang bisanya bikin kopi wae ndesit dan terlalu manis mau ngritik pemerintah? Yakin, alasanmu mesti wagu, nggak masuk akal dan dialasi dengan pertimbangan supranatural", saya malah jadi terpancing mengoceh, gara-gara manusia satu ini gayanya mau mengkritik pemerintah yang bijaksana dan pintar.

"Supernatural itu apa?", Sastro mengeluarkan notesnya, siap mencatat keterangan saya. Dasar orang stress, ini malah mau belajar istilah, dasar wong ndeso, ngga merasa pidato saya yang sudah membahana dan umop (mendidih). "Supranatural Troooo, nek pikiranmu itu apa?", tanya balik saya. Mau lihat dan mau dengar apa analisis tokoh satu ini terhadap kata ini. "Napa nggih Mas? Apa ya Mas? Supra niku super, kalau natural niku netral, jadi kemungkinan ini artine manusia yang sangat netral, tanpa pendapat, cuma ikut saja, alias golput". Weh, analisis model wong ndesit, awur-awuran! "Supranatural itu klenik, tidak ada hubungan dengan golput". Walah! Emang jagonya mendidihkan darah manusia satu ini. Kadang-kadang saya curiga dia cuma pura-pura lugu dengan tujuan mengguncang akal sehat saya. Analisis berbasis non ilmiah si Sastro kadang sampai menggoyahkan teori ilmiah dan filsafat yang pernah saya baca.

"Ngene Tro, sampeyan itu, bolehnya berbantahan dengan pemerintah, sering kali dengan basis non rasional. Soal roso, soal pantes, soal nyeni, soal jarene (katanya) soal ilok dan ora ilok (ora ilok=tidak boleh tapi tanpa dasar pertimbangan khusus, misal: tidak ilok makan di gawang pintu, jika ditanyakan alasannya, maka jawabnya: yaaaaa, karena tidak ilok, tidak boleh karena tidak ilok. Dahsyat bukan?), soal memori, soal kenangan, soal sejarah, dan lain-lain, yang menurut pemerintah belum tentu rasional, belum saatnya dipakai untuk pertimbangan, dan jutaan alasan lain yang jauh lebih masuk akal dibanding alasanmu Tro!", sampe mau habis napas saya mengucapkan ini.

Satro cuma diam. Lha kok aneh ini. Kenapa pula langsung diam? Bukan biasanya. "Lha gimana Tro?". Sastro menghela napas dengan gaya teaterikal kethoprak yang sangat dipahami setelah bertahun-tahun dipelajarinya dari channel TVRI Stasiun Yogyakarta,"Mboten, Mas, enggak jadi berpendapat, soalnya alesan saya ya salah satu dari alesan yang menurut panjenengan tidak rasional tadi. Menurut saya, wong ndeso ini, ngAsem itu ya harus di ngAsem, karena itu nama kampung, pasar ngAsem kalo dipindah di nDongkelan ya bukan pasar ngAsem, jadi pasar nDongkelan.. Tidak bisa terus rosonya, mantapnya, sama dengan ngAsem". Kami terdiam beberapa lama, saya speechless, Sastro kelihatannya sedih campur mangkel. Diam.

Akhirnya saya memecah keheningan di antara kami. "Sudah sana.. Bikin kopi hitam, gulanya satu sendok saja. Kalau sampeyan mau, bikin sekalian, kita ngopi bareng disini, tapi obrolannya diganti yang ringan wae, jangan yang aeng-aeng, neko-neko, aneh-aneh. Yang sesuai kapasitas sampeyan dan saya, sebagai manusia biasa. Kalo obrolan berbau protes politik, kamu ke angkringan depan rumah saja, banyak temennya. Kalo saya tetep pro pemerintah. ngAsem mau dipindah ke Canada ya monggo, saya manut dan yakin banyak orang pinter yg sudah mikir. Setuju Tro? Nek setuju, sudah sana bikin kopi dua gelas gedhe". Sastro manggut-manggut, dan seiring seruputan kopi kami, diskusi berubah lebih netral, soal manuk kutut dan pamor keris, yang memang sesuai kapasitas kami sebagai rakyat jelata. Damai dan hangat, sehangat, semanis, sekaligus sepahit segelas kopi yang saya hibahkan ke Sastro demi mendamaikan kegalauan hatinya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun