Tapi makna sangat berbeda bila sinting disampaikan dalam konteks pertandingan politik, maka ketika seseorang bicara sinting pada komptetiornya pasti sedang mempertunjukkan kebencian dan arogansi diri yang tiada etika sama sekali. Bisa saja berkilah bahwa yang dimaksud sinting itu gagasannya. Namun apakah gagasan mulia seperti simbol keagamaan sebuah gagasan sinting? Lalu mungkin sinting yang dimaksud adalah janji politik seseorang. Bukankah dalam masa kampanye adalah masa menunjukkan komitmen lewat janji? Apakah berjanjinya yang dianggap sinting? Atau bisa jadi maksudnya orang yang berjanji disebut sinting? Bukankah itu sebuah pendegrasian manusia menjadikan manusia yang disebut sinting bukan manusia normal?
Bisa jadi banyak cara untuk mengelak dan kawan membela serta bersilat kata. Namun biar bagaimanapun ketika diucapkan dalam konteks pertandingan politik, lawan yang melontarkan kata sinting menandakan ketidakpedulian pada penghargaan pada sesama manusia. Kemaruk berkuasa telah membuat orang kehilangan akal sehat dan nafsu kekuasaan menyebabkan tidak melihat orang lain sebagai manusia. Menyebut sinting adalah tanda peremehan yang tidak layak diungkapkan siapapun sebagai manusia beradab. Penyebutan sinting telah menempatkan diri pada arogansi tak terkira dan chauvinisme fasis yang menaruh diri pada pikiran untuk mengeyahkan pihak yang berbeda. Ini membuat hanya dirinya yang benar dan normal, sedangkan orang yang tidak sejalan dan beda pendapat adalah manusia tidak normal. Saya kira sudah waktunya para pemimpin bicara santun dan menghargai perbedaan. Alangkah ngeri bila dalam alam demokrasi kita orang yang berbeda dianggap sinting. Ini tanda-tanda kediktaktoran. Sungguh belum layak rasanya memimpin negeri ini bila para pemimpin hanya merasa diri benar dan normal. Saya tidak mau ke zaman diktator itu!