(Sebuah refleksi-jilid 1)
Istriku….
Hari ini ulang tahun pernikahan kita yang ke 9 tahun. Memang masih di bawah sepuluh tahun, namun tak terasa perjalanan ini sudah terlewati hingga usia sekarang ini. aku mencoba merenungkan apa yang sudah terjadi dan apa yang kita nikmati serta yang lebih penting seberapa tujuan yang sudah kita capai melalui pernikahan ini.
Titik start tgl 19 Oktober 2002 tatkala pendeta meneguhkan pernikahan seraya menumpangkan tangan di atas kepala kita. Saat itu, sejenak aku “kehilangan” konsentrasi, perasaanku terasa hampa dan jantungku seperti tidak bergerak. Pikiran yang muncul “wah aku sudah tidak bisa mundur lagi dan tidak bisa memilih wanita lain lagi”. Artinya aku harus terus maju menjalani hidup dengan istriku meski sebenarnya perjalanan di depan masih bayang-bayang dan aku bingung, takut dan mungkin demikian juga perasaanmu.
Seminggu setelah pernikahan, aku pindah kota dan menetap di kota lain dimana kita dapat mengabdi. Suatu “lompatan” besar yang kualami, karena aku harus meninggalkan semuanya dan hanya hidup berdasar keyakinan Tuhan memanggil maka Tuhan akan menyertai.
Bulan-bulan awal masa bulan madu. Senang dan banyak hal bisa dinikmati. Namun masih ada perasaan asing, ada yang belum dipahami diantara kita masing-masing, ego yang masih kuat. Hingga di bulan awal, kita bertengkar dan jam 3 dinihari dirimu menangis.
Di tengah perjalanan itu, hadirlah anak-anak. Mengisi hari-hari antara senang, capai, keharuan dan ketegangan bahkan air mata. Itu merupakan episode panjang dari pengasuhan anak. Panggilan kita berubah menjadi papi dan mami.
Istriku..apa yang kita nikmati dan apa yang sudah terjadi?
Banyak yang kita nikmati dan yang pasti kita saling mempengaruhi. Dari makanan yang dulunya aku tidak tahu apa itu batagor dan siomay, karena kamu aku sekarang bisa menikmatinya. Kesukaanku sate dan sekarang kamu juga menggemarinya. Sampai cara memijit odol juga dipengaruhi.
Istriku…minimal sampai detik ini, aku menikmati dan makin sukacita menikah denganmu. Ternyata tepat pilhanku padamu di antara gadis-gadis yang baik tatkala itu yang bisa kupinang jadi kekasihku. Aku sadar semua itu kehendakNya bagi kiita. Ah betapa senangnya menikah dengan orang pilihan Tuhan. Yang kuandalkan hanya doa, mentaati prinsip-prinsip teman hidup, ketegasan visi hidupku, kesediaan untuk bertanggungjawab dan panduan seorang pemimpin.
Aku tidak datang dengan jubah kemewahan dan tumpangan kuda putih, gajah atau mercy, Volvo bahkan sepeda pun aku tidak punya saat itu. Tidak juga dengan tawaran janji-janji apa yang bisa aku beri. Tapi aku datang dengan keyakinan akan janji Sang Pemilik Hidup ini. Justru aku datang dengan realita apa adanya aku.