Bila aku kelak menikah. Aku ingin rumah tanggaku kelak harmonis dan menyenangkan. Aku tidak ingin sekedar mengangankan saja namun aku harus memiliki ketetapan hati bagaimana keluargaku nanti dibangun.
Aku harus tahu bagaimana gambaran rumah tanggaku nanti. Tentunya “bangunan” rumah tanggaku kelak harulah dibangun di atas pondasi yang kokoh. Aku ingin pernikahanku langgeng meskipun kadangkala harus melewati terpaan “badai” yang silih berganti.Aku sudah melihat banyak rumah tangga yang terkoyak bahkan hancur. Tentunya mereka tidak menghendaki keadaan yang seperti itu tapi mungkin mereka dulu tidak mempersiapkan diri dengan baik.
Aku tidak ingin membangun rumah tanggaku hanya berdasar rasa cinta atau rasa suka. Rasa itu bisa muncul karena ketertarikan pada fisik semata, perhatian-perhatian yang diberikan, kepandaian, ketenaran, kekayaan ataupun apapun dari pasanganku. Karena rasa itu bisa hilang. yang kuhadapi kelak bukan lagi cinta romantisme semata tapi masalah keuangan, belanja, sakit, ngurus anak sakit, capai dan sebagainya. hal-hal ini bisa menguji rasa cinta itu Kalau sudah hilang, lalu apa yang menopang pernikahanku.
Aku juga tidak ingin meletakkan dasar pernikahanku atas belas kasihan atau perasaan untuk menjadi juruselamat. Belas kasihan dari aku atau dari pasanganku. Aku tidak boleh menikah dengannya karena aku kasihan dengan dia apapun alasannya, demikian juga dengan dia kepadaku. Aku juga tidak boleh merasa bisa “menyelamatkan” dia atau mengubahnya. Dengan harapan, kalau aku nanti menikah dengannya berharap dia tidak lagi jadi orang yang pemarah, pemabuk, pemalas. Cerewet, gonta-ganti pacardan sebagainya. Karena bisa jadi dia tidak bisa atau tidak mau berubah. Kalau dia tidak berubah, sampai berapa lama aku bisa bersabar nantinya ? pasti aku akan kelelahan
Dasar lain yang tidak boleh ada adalah keterpaksaan. Aku tidak ingin menikah karena terpaksa. Terpaksa atau dipaksa, sama saja artinya. Aku bisa terpaksa karena usiaku sudah menjelang “uzur’ dan desakan orang tuaku atau lingkunganku sehingga memaksaku menikah dengan siapapun asal dia manusia. Karena aku sudah tidak tahan lagi dengan desakan mereka. Maka aku bisa tidak lagi mempertimbangkan akal sehat. Atau terpaksa menikah karena sudah terlanjur terjadi “kecelakaan” yang biasanya kami sengaja lakukan. Atau terpaksa menikah karena dijodohkan orang tua. Tentu tidak apa-apa dikenalkan, namun akulah yang harus tetap membuat keputusan apakah dia cocok dengan kriteriaku atau tidak. Bukankah aku yang menjalani kelak suka duka pernikahanku, bukan mereka.
Topangan pernikahanku juga bukan karena sudah terlanjur dekat karena kami sudah menjalin “Teman Tapi Mesra” alias TTM. Kalau teman-teman kami bertanya : kamu pacaran ya dengan dia ? aku jawab, ‘tidak” memang kami belum pernah ada komitmen untuk “jadian”. Tapi kalau dikatakan kami ini hanya bersahabat juga bukan karena ada perasaan “khusus’. Aku cemburu bila dia dekat dengan orang lain. Aku selalu memikirkannya dan mengangankan selalu bersamanya. Dan merasa senang didekatnya. Memang aneh jalinan ini. Tapi ini berbahaya bila aku teruskan. Aku tidak boleh terjebak dengan perkataan “mengalir saja seperti sungai”. Dalam pernikahan harus ada komitmen dan kesempatan untuk memikirkan apakah dia orang yang tepat menjadi pasanganku.
Pwk, 4 november 2011