Ia memandang ke laut. Gemulung ombak di bawah sana tak ubahnya rangkaian kisah yang dialaminya di tiga kota.
***
Wonosobo
Darwin berdiri di sudut kamar. Mata birunya memandang ke arah Bayu yang sedang duduk di tepi ranjang.
"Kapan mau ke Jogja?"
Bayu tak tahu harus menjawab apa. Sudah kesekian kalinya ia mendapatkan pertanyaan itu.
"Aku ndak tahu," jawab Bayu seraya berdiri. "Harus minta izin dulu."
"Mintalah izin," sahut Darwin setengah merengek. "Kamu sudah janji mau mengantarku ke sana."
Bayu tak tega melihat si wajah pucat berambut pirang itu. Namun, ia juga tak yakin akan mendapat izin dari orang tuanya. "Aku coba lagi, tapi ini yang terakhir!"
Jogja? Bayu tidak tahu di mana letaknya. Bocah sebelas tahun itu bahkan belum pernah sekali pun pergi dari Wonosobo.
Bocah berambut ikal dan berkulit sawo matang itu keluar kamar menuju ruang depan. Kedua orang tuanya tengah menonton televisi.
"Pak, Bu," ucap Bayu pelan.
Menyadari kehadiran Bayu, Teguh segera mengambil remote untuk melirihkan volume suara televisi. "Ya, Bayu. Ada apa?"
Bayu tak segera menjawab.
"Bayu?" tanya Teguh sekali lagi.
"Eh, anu. Aku mm... mau ke Jogja?"
Mendengar kalimat itu, Teguh berdiri dari tempat duduknya. "Kamu masih kecil, Bayu! Apa kamu berani ke sana?" sahutnya dengan nada meninggi.
"Bapak tidak mau mendengar lagi permintaan bodoh itu! Pasti anak londo itu yang memintamu, kan?"
Bayu terdiam. Ia buru-buru membalikkan badan dan kembali ke kamar.
"Tuh, Bapak marah, kan!" ucapnya kepada anak londo yang bediri di ambang pintu.
***
Jakarta
Sudah setengah tahun Teguh berada di Jakarta. Ia meninggalkan Wonosobo karena mendapatkan pekerjaan baru di salah satu pabrik di ibu kota.
Sebuah rumah tak seberapa besar ia tempati, bersama istri dan anaknya. Bukan rumahnya sendiri, melainkan fasilitas dari pabrik. Jabatannya lumayan tinggi sehingga fasilitas itu bisa diperolehnya.
Setiap urusan pekerjaan beres ditanganinya. Namun, ada satu perkara yang terus mengganjal di hatinya. Teguh begitu khawatir dengan keadaan Bayu.
Tak lain karena anak londo itu yang tak mau berpisah dengan Bayu. Dari Wonosobo ke Jakarta, anak londo itu ikut serta.
"Sebentar lagi kita berangkat ke rumah Pak Sutisna, ya, Bu," kata Teguh kepada istrinya.
"Iya, Pak. Sudah siap semuanya. Bayu juga sudah rapi."
Lima menit kemudian keluarga itu berangkat. Teguh memegang setir, sementara istrinya duduk di sebelah kirinya.
Bayu duduk di kursi belakang. Di sebelahnya tentu ada Darwin, si anak londo itu.
Dengan kecepatan sedang, mobil sedan itu menuju ke barat Jakarta. Hingga akhirnya berhenti di depan sebuah rumah.
Teguh dan istrinya yang turun dari mobil. Mereka menemui Sutisna, dan menyampaikan apa yang terjadi dengan Bayu dan anak londo itu.
Sebenarnya, Teguh dan istrinya tak pernah tahu seperti apa rupa anak londo itu. Hanya Bayu yang mengetahuinya.
"Baik, aku sudah bisa menangkap apa masalah kalian," kata Sutisna.
"Tolong, ya, Pak Tisna. Saya ingin agar anak londo itu tak lagi mengikuti anakku," pinta Teguh.
"Panggil anakmu kemari," kata Sutisna.
Teguh menuju ke mobil, mengajak Bayu untuk turun dan menggandengnya masuk ke rumah Sutisna.
Melihat Bayu turun dari mobil, Darwin buru-buru mengikuti. Bocah berkulit putih dan berhidung mancung itu tak sadar akan bahaya yang mengancamnya.
Baru saja Darwin tiba di ambang pintu, Sutisna langsung mendekapnya. Darwin meronta sekuatnya, tapi tak bisa melepaskan diri dari Sutisna.
"Kamu segera pulang! Biar aku yang menangani anak ini!" kata Sutisna kepada Teguh.
Teguh membawa istri dan anaknya meninggalkan rumah orang pintar itu. Bayu berteriak histeris, tak ingin berpisah dari temannya.
Darwin terus meronta. Wajahnya ketakutan. "Jangan tinggalkan aku, Bayu! Kamu sudah janji mengajakku ke Jogja!"
***
Yogyakarta
Sudah hampir dua minggu Sutisna ada di Yogyakarta. Ia berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Kepada setiap orang pintar yang ditemui di kota itu, Sutisna mencari informasi tentang suatu lokasi.
"Sebentar lagi sampai," kata Sutisna kepada Darwin.
Darwin mengangguk pelan.
Ia tak ketakutan lagi pada pria itu. Jika sebelumnya ia menganggap Sutisna sebagai bahaya, sekarang tidak lagi. Malah, pria itulah yang kini menjadi harapan terbesarnya.
Menjelang senja mereka akhirnya tiba di sebuah bukit, di selatan Yogyakarta.
Darwin begitu bahagia. Ia berlari ke atas bukit itu, seperti yang pernah dilakukannya berpuluh tahun silam.
Ia memandang laut lepas di bawahnya, Gemulung ombak di sana tak ubahnya rangkaian kisah panjang yang dialaminya.
***
Wonosobo (1942)
Jepang telah memperoleh kemenangan di Pasifik. Tentara Asia Timur kemudian berhasil masuk ke Indonesia. Kedatangan mereka membuat orang-orang Belanda seperti Piter, menjadi terancam.
Piter sebenarnya lebih suka tinggal di Yogyakarta. Ia punya rumah yang cukup nyaman di luar kota. Di belakang rumahnya ada sebuah bukit, yang langsung menghadap ke laut selatan.
Namun, ia tak punya pilihan lain. Situasi yang tengah genting membuatnya ikut perintah untuk pindah ke Wonosobo. Ia membawa serta Johana, istrinya yang cantik dan Darwin, anak laki-lakinya yang berusia 10 tahun.
"Aku mau pulang, Papa!" rengek Darwin suatu hari.
"Nanti kita pulang, Darwin."
"Papa janji?"
"Iya, Papa janji."
"Janji kita akan pulang ke Jogja?"
Piter mengangguk. "Iya, sayang."
Jepang semakin menunjukkan kekuatannya di Indonesia. Tak hanya menguasai kota-kita besar, tentara Jepang juga bergerak cepat masuk ke kota-kota kecil.
Piter mengkhawatirkan keadaan dirinya dan keluarganya. Ia takut jika dirinya ditangkap Jepang, dan tak tahu bagaimana dengan nasib istri dan anaknya. Pikiran Piter begitu kacau.
Darwin tengah berada di kamarnya, ketika tiba-tiba didengarnya suara tembakan senapan. Sepertinya suara itu dari kamar mamanya. Darwin sangat ketakutan.
Pintu kamar terbuka, ternyata Piter yang datang. Darwin berlari ke arah Piter. Ia ingin memeluk papanya.
Namun, Piter mengarahkan senapan ke arah Darwin. Dan terdengarlah suara tembakan kedua di rumah itu.
Darwin terpental ke belakang. Ia tergeletak di lantai dan merasakan sakit luar biasa di dahinya.
Darwin mencoba bangkit. Ia melihat Piter menangis histeris sambil memeluk anak kecil.
"Kita pulang ke Jogja, Darwin!" teriak Piter sambil mencium anak itu.
Darwin ketakutan. Ia meninggalkan rumah itu. Berpuluh-puluh tahun ia bersembunyi.