Kalau sampai sekarang, Demokrat belum bisa memilih Ketua Umumnya yang baru, tentu saja itu bukan urusan KPU. Hal ini juga sama sekali bukan berarti telah terjadi kekosongan hukum seperti yang diutarakan Amir Syamsuddin itu. Tetapi adalah kekosongan kursi Ketua Umum di Partai Demokrat. Itu adalah urusan mereka sendiri.
Katanya, Demokrat itu parpol santun dan patuh hukum. Ini, kok, malah maunya hukumlah yang partuh kepada Demokrat?
Kalau memang Ketua Umum suatu parpol mengalami kekosongan, seperti yang sekarang dialami Demokrat itu, tentu saja yang harus dilakukan oleh mereka adalah segera memilih Ketua Umumnya yang baru. Bukan malah mengalihkan bebannya kepada KPU.
Keinginan Partai Demokrat untuk “mengatur” KPU, dengan meminta KPU mengakomodir masalah internal parpol-nya yang belum bisa menentukan Ketua Umumnya yang baru itu, menunjukkan kemanjaan parpol ini. Seperti anak manja yang ketika ada masalah bukannya mengatasinya sendiri, tetapi minta orangtuanya, atau orang lain untuk mencari solusinya.
Kisruh hebat di internal Partai Demokrat pasca berhentinya Anas sebagai Ketua Umum Partai, membuat mereka sampai sekarang belum juga mampu memilih Ketua Umumnya yang baru, sementara itu KPU telah menentukan batas waktu terakhir penyerahan DCS untuk Pemilu Legislatif itu adalah di April 2013 ini.
Besar kemungkinan karena masih terdapatnya faksi-faksi di Demokrat membuat mereka sulit untuk memilih Ketua Umumnya yang baru. Mereka sedang bingung, bagaimana cara terbaik untuk memilih Ketua Umum baru itu. Kalau lewat mekanisme Kongres Luar Biasa (KLB), kubu SBY cs takut risikonya besar. Karena di KLB pasti akan muncul kekuatan-kekuatan pendukung Anas. Selain KLB juga membutuhkan waktu, tenaga, dan biaya yang besar. Sementara batas waktu penyerahan DCS itu tinggal sebulan lagi.
Karena panik dikejar waktu itulah muncul “desakan” kepada KPU untuk membuat aturan baru yang isinya memberi kewenangan kepada Majelis Tinggi Partai Demokrat untuk menandatangani DCS, mengganti kewenangan Ketua Umum yang sedang kosong itu. Demokrat sudah berhitung, sampai April nanti bisa jadi, mereka belum bisa menetapkan Ketua Umumnya yang baru. Agar bisa menandatangani DCS dari Partai Demokrat.
Kalau tidak ada apa-apanya, tentu seharusnya Demokrat bisa segera menentukan Ketua Umumnya yang baru, begitu Anas menyatakan dirinya berhenti. Seperti halnya yang mampu dilakukan oleh PKS. Ketika Presidennya, Lutfi Hasan Isaac (LHI) ditangkap KPK, segera mereka memilih Anis Matta sebagai pengganti LHI. Kenapa Demokrat tidak mampu melakukan hal yang sama?
Kalau memang saking kisruhnya di internal Partai Demokrat, sampai-sampai untuk memilih Ketua Umumnya yang baru saja belum bisa juga sampai sekarang, sebaiknya Partai Demokrat tidak usah ikut Pemilu 2014 saja. Betapa tidak, untuk memilih Ketua Umumnya tepat waktunya saja belum mampu, kok, mau ikut Pemilu?
Lagipula rakyat sudah semakin muak dengan apa yang terjadi di Partai Demokrat ini. Janganlah mereka mimpi di siang hari bolong bahwa dalam kondisi seperti sekarang, dalam tempo singkat (hanya beberapa bulan), bisa meningkatkan elektabilitasnya, yang katanya 15 persen itu. Dasarnya apa target itu ditetapkan? Sebab baik Anas, maupun SBY, sebenarnya sama-sama biang kerok merosotnya elektabilitas Partai Demokrat. Kini, ditambah lagi dengan nama Ibas, Sekjen Partai, yang disebut-sebut ikut menikmati dana korupsi Hambalang. Apakah bukan membikin Demokrat semakin runyam?
Bukan 15 persen, tetapi 1,5 persen, mungkin angka yang lebih realistis untuk menyebut tingkat elektabilitas Partai Demokrat nanti. Alias, nama Partai Demokrat kemungkinan besar akan berakhir di Pemilu 2014 nanti. Karena pencapaian suara yang diperolehnya kurang dari 3,5 persen untuk bisa bertahan sebagai parpol peserta Pemilu berikutnya. maka nama Partai Demokrat bisa jadi hanya akan tinggal kenangan. Kenangan yang hitam. ***