Penegakan supremasi hukum harus dihormati oleh semua orang tanpa kecuali. Bahkan oleh Presiden sekalipun. Kewajiban ini dengan jelas disebutkan di dalam Konstitusi Negara, UUD 1945. Pasal 1 (3) UUD 1945: Negara Indonesia adalah Negara Hukum.
Supremasi hukum itu termasuk proses hukum yang harus dilewati oleh setiap orang yang telah melakukan pelanggaran hukum karena telah melakukan kejahatan tertentu. Dalam menjalani proses hukum itu, para pelaku atau yang disangka melakukan suatu kejahatan tertentu itu ditahan dalam sebuah Rumah Tahanan Negara (rutan). Status mereka yang ditahan di Rutan disebut “tahanan.” Bagi mereka yang sudah divonis hakim bersalah, dipenjarakan dalam sebuah Lembaga Pemasyarakatan, atau biasa di singkat Lapas/LP. Status penghuninya disebut “narapidana.” Dalam kondisi tertentu, Lapas juga bisa dipakai sebagai Rutan. Rutan dan Lapas merupakan prasarana milik negara di bawah Kementerian Hukum dan HAM.
Konstitusi Negara mewajibkan setiap orang menghormatinya, dan mewajibkan negara untuk melindungi tahanan dan narapidana yang berada di Rutan dan di Lapas. Sebatas mana kemampuan negara menjalankan kewajibannya tersebut menunjukkan kadar kewibawaan negara yang dijalankan oleh pemerintahnya. Negara kehilangan wibawa dan kepercayaannya jika dia tidak mampu menjalankan kewajibannya itu.
Maka itu serangan pada Sabtu dini hari, 23 Maret 2013, terhadap Lapas Kelas IIB Cebongan, Sleman, DI Yogayakarta, dan membunuh empat preman di dalamnya, yang dilakukan oleh 11 orang oknum Kopassus itu dapat dikategorikan sebagai suatu serangan langsung kepada supremasi hukum dan kewibawaan negara. Apalagi motifnya adalah balas dendam oknum-oknum Kopassus tersebut karena rekannya sesama anggota Kopassus dibunuh oleh empat preman itu, bukan dalam rangka bela negara.
Setiap anggota TNI mempunyai kewajiban utama untuk membela dan menjaga kedaulatan negara (secara militer), termasuk menjaga kewibawaan negara, yang di dalamnya terkandung pula hukum-hukum negara. Apa yang dilakukan oleh 11 oknum Kopassus tersebut merupakan aksi yang bertentangan dengan kewajiban mereka sebagai bagian dari TNI-AD yang juga berasal dari Konstitusi Negara.
Mereka bukan membela kewibawaan negara, tetapi sebaliknya, menyerang kewibawaan itu. Membuat negara kelihatan tak berdaya, menghadapinya. Dunia internasional pun terpana melihat kewibawaan negara Indonesia diserang sendiri oleh aparatnya sendiri dengan menggunakan persenjataan milik negara pula.
Sebelas oknum Kopassus itu membunuh empat orang preman di dalam Lapas itu bukan karena motif pemberantasan premanisme, tetapi berdasarkam motif yang bersifat pribadi atau grup. Isunya saja yang dibelokkan seolah-olah aksi militer ilegal tersebut dilakukan demi pembasmian premanisme, agar mendapat dukungan dari publik yang memang sudah nyaris frustasi menghadapi aksi-aksi premanisme selama ini. Atau karena salah kaprahnya sebagian masyarakat dalam bersikap menghadapi kasus ini. Mereka mengidentikkan secara salah antara aksi militer ilegal yang bersifat dendam pribadi/grup itu dengan aksi pemberantasan premanisme.
Kalau betul oknum-oknum Kopassus itu beraksi demi pemberantasan premanisme, tentu mereka bukan baru beraksi setelah Serka Heru Santoso dibunuh preman-preman itu. Juga bukan hanya empat preman itu saja yang menjadi sasaran mereka, tetapi preman-preman lain yang selama ini paling meresahkan masyarakat sipil. Misalnya, preman-preman sekelas Hercules dan John Kei. Meskipun, jika itu dilakukan, tetap saja tidak bisa dibenarkan. Karena ada hukum yang mengaturnya.
Jangan karena pemberantasan preman yang seharusnya dilaksanakan oleh Polri tidak berjalan dengan baik lalu anda menghujat hukum itu, dengan misalnya, mengatakan dengan penuh emosi, “Persetan dengan hukum!”
Karena bagaimana bisa anda mempersetankan hukum, sedangkan anda bisa hidup aman, tenteram sampai detik ini karena ada hukum yang melindungi anda. Ada banyaknya penegak hukum yang brengsek, bukan berarti hukum itu yang salah. Tanpa hukum negara akan menjadi chaos. Siapa yang kuat dia yang menang dan menguasai orang lain, siapa yang punya senjata, dia yang kuat. Aksi oknum-oknum Kopassus menyerang Lapas dan membunuh empat orang di dalamnya itu jika ditolerarir berpotensi mengarahkan negara ke kondisi seperti itu. Bukan hukum negara yang berlaku, tetapi hukum rimba. Siapa saja punya senjata, bisa dengan mudah melukai atau membunuh orang lain atas dasar berbagai alasan, termasuk alasan balas dendam. Yang tidak punya senjata, tetapi punya uang, bisa menyewa aparat atau pihak pemilik senjata lainnya untuk membunuh orang yang telah menyakiti mereka atau yang telah membunuh anggota keluarga/kerabatnya. Aksi balas membalas dengan senjata api pun bisa menjadi suatu yang “lumrah.”
Mereka yang mendukung aksi oknum-oknum Kopassus itu antara lain menyatakan tentang kondisi istri almarhum Serka Heru Santoso yang sedang hamil tua saat ini. Akibat tewasnya Serka Heru Santoso membuat istrinya yang sedang hamil tua menjadi janda dan menderita lahir bathin. Dengan argumen itu, mereka membenarkan dan mendukung aksi militer ilegal 11 oknum Kopassus itu membunuh empat preman tersebut.
Tanpa sedikitpun mengurangi rasa hormat, simpatik dan empati kepada istri almarhum, saya berpendapat bahwa kondisi itu pun tidak bisa dipakai sebagai alasan pembenaran aksi militer ilegal yang telah menyerang kewibawaan negara itu.
Kalau alasan ini dipakai, bagaimana kalau anggota polisi pun menggunakan alasan ini kalau ada rekannya yang tewas dalam tugas memberantas kejahatan? Apakah setiap kali ada polisi yang tewas dibunuh penjahat, apalagi yang sampai meninggalkan istrinya yang lagi hamil, apakah dapat dibenarkan polisi-polisi itu melakukan aksi balas dendamnya dengan menembak mati begitu saja pelakunya? Tidak usah lagi ditangkap, tidak usah lagi diproses hukum. Pokoknya main “dor!” saja!
Contoh terbaru, Kapolsek Dolok Perdamean Ajun Komisaris Andar Siahaan, yang tewas dalam tugasnya memberantas perjudian di wilayahnya, pada 27 Maret lalu. Apakah lalu polisi, anak buahnya dapat dibenarkan balas dendam, menembak mati saja para pelaku yang menyebabkan tewasnya sang Kapolsek itu?
Menko Polkam, Panglima, dan KSAD TNI sendiri telah menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh 11 oknum Kopassus itu salah, meskipun mengatasnamakan semangat Korsa yang harus ada di setiap diri anggota TNI. Jiwa korsa itu wajib ada, karena sangat berguna bagi prajurit yang tengah mengemaban misi operasi militer dari negara. Jiwa korsa itu harus ditempatkan di tempat dan waktu yang benar. Rasa korsa itu harus sesuai dengan cita-cita dan misi negara. Demikian rangkuman pernyataan yang diberikan oleh Menko Polkam Djoko Suyanto, Panglima TNI Jenderal Agus Suhartono, KSAD Jenderal Pramono Edhie Wibowo, dan Kepala Pusat Penerangan Mabes TNI Laksmana Muda Iskandar Sitompul.
Meskipun ada keraguan pihak-pihak tertentu terhadap langkah TNI menindaklanjuti kasus ini, apresiasi tetap harus kita berikan kepada langkah TNI AD, yang atas perintah KSAD, melakukan investigasi internal, yang kemudian mengumumkan hasilnya secara transparan seperti sekarang ini.
Bagaimana pun semua itu sudah terjadi. Kita mendengar bahwa 11 oknum Kopassus itu telah mengakui perbuatannya itu. Kemungkinan besar mereka sekarang merasa puas telah melampiaskan dendamnya terhadap empat orang preman itu. Tetapi, setelah itu, keuntungan apakah yang bisa didapat? Ke depannya, bagaimana? Bukan mendapatkan sesuatu yang positif, melainkan sebaliknya. Mereka akan banyak menderita kehilangan. Ironisnya, kehilagan itu bukan karena dalam menjalankan misi bela negara, tetapi karena melakukan suatu pelanggaran hukum berat melawan hukum negara. Bukan hanya mereka yang harus menanggung akibatnya, tetapi juga atasannya dan Kapolda DI Yogyakarta dari pihak Kepolisian.
Kini, sebelas orang itu sudah ditahan, sambil menunggu pengadilan militer terhadap mereka. Hampir pasti mereka semua akan divonis bersalah, dipecat dari korps yang menjadi kebanggaan mereka itu dengan tidak hormat. Sekaligus kehilangan kesempatan berbakti kepada negara sebagai anggota Kopassus selamanya. Setelah itu mau kerja apa? Masa depan pun terancam suram. Padahal mereka masih muda-muda.
Bahkan, bukan tak mungkin di antara mereka ada yang dijatuhi hukuman mati, atau minimal seumur hidup. Sebab menurut kelaziman selama ini, Pengadilan Militer biasanya menjatuhkan hukuman yang lebih berat ketimbang jika kasus yang sama diadili di pengadilan umum.
Contohnya, pada 2005, Pengadilan Militer Jakarta memvonis mati dua terdakwa pembunuh bos PT Asaba Boedyharto Angsono. Mereka adalah anggota TNI Angkatan Laut, yaitu Letnan Dua Syam Ahmad dan Kopral Dua Suud Rusli.
Akibat ulah mereka pula, atasanya terkena dampaknya. Mayjen Hardiono Saroso dicopot dari jabatannya sebagai Panglima Kodam V Diponegoro. Dia dimutasikan ke Mabes TNI, dan di-non-job-kan. Karier militernya pun terancam redup.
Bisa jadi dalam proses persidangan nanti, Komandan Grup 2 Kopassus, Mayor Jenderal TNI Agus Sutomo pun ikut mengalami nasib yang sama. Dicopot dari jabatannya.
Sedangkan dari Polri, Kapolda DI Yogyakarta Brigjen Sabar Rahardjo juga dicopot dari jabatannya oleh Mabes Polri.
Apakah ini yang ingin didapat oleh 11 oknum Kopassus itu?
Ataukah mereka semua akan tetap bangga dengan perbuatannya itu? Apakah yang dibanggakan dari akhir yang tragis ini? ***