Pada November 2013 lalu Pemprov DKI Jakarta mulai memberlakukan sterilisasi busway. Artinya semua kendaraan non-TransJakarta dilarang menggunakan lajur itu. Setiap pelanggaran akan dikenakan sanksi dendan sampai dengan Rp. 500.000 untuk sepeda motor, dan sampai dengan Rp. 1 juta untuk mobil pribadi. Meskipun, dalam prakteknya hakim tidak menjatuhkan sanksi maksimal itu, tetapi pemberlakuan larangan tersebut secara konsisten dan konsekuen telah membuahkan hasil. Busway kini bebas dari banyaknya kendaraan pribadi, baik mobil, maupun sepeda motor. Meskipun memang, tetap saja masih ada satu-dua kendaraan pribadi yang tetap membandel.
Ketika peraturan itu diberlakukan, banyak orang yang mengomel, terutama pasti mereka yang biasa melanggar peraturan hukum lalu-lintas dengan menerobos busway itu. Alasannya ngomel-nya, karena sterilisasi busway itu justru membuat kemacetan semakin-makin parah.
Ketika itu Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menjawab bahwa dia bersama Gubernur Jokowi sadar bahwa pemberlakuan sterilisasi busway itu akan membawa dampak seperti itu (kemacetan semakin parah, akibat jumlah kendaraan yang menumpuk semakin banyak/rapat). Tetapi, kata Ahok, ada satu lajur yang benar-benar lenggang dan bebas macet, itulah busway yang dikhususkan untuk bus TransJakarta. “Pilih mana semua lajur macet, ataukah ada satu lajur yang tidak macet?” Ahok beretoris.
Menurut Ahok, kondisi lalu-lintas dengan diberlakukan peraturan sterilisasi busway itu akan membuat banyak orang, warga Jakarta yang sering terjebak kemacetan parah, akan mulai melirik TransJakarta. Diharapkan dengan kondisi yang sering menderita dalam antrian kemacetan parah itu, semakin banyak orang beralih dari kendaraan pribadi ke Bus TransJakarta. Mereka akan merasa begitu pentingnya keberadaan TransJakarta.
Meskipun memang diakui, jumlah bus TransJakarta masih jauh dari memadai dan sistem layanannya yang masih banyak perlu diperbaiki, Ahok mengatakan sterilisasi busway tidak bisa ditunda, dengan alasan menunggu bus baru datang dulu. Justru di saat kondisi demikianlah, yakni orang Jakarta stress, yang menderita kemacetan akan sadar betapa pentingnya bus TransJakarta itu. Mereka yang sengsara di kendaraan pribadi karena terjebak kemacetan parah, ketika beralih ke TransJakarta, akan langsung merasakan perbedaannya. Ternyata, naik bus TransJakata itu lancar, cepat sampai, meskipun harus berdesak-desakan. Lebih baik sedikit berdesak-desakan asal cepat sampai di tujuan, daripada nyaman di mobil pribadi, tetapi berjam-jam belum sampai-sampai juga. Sambil menunggu satu-dua bulan lagi datangnyanya sejumlah bus baru untuk TransJakarta, orang akan merasa betapa nyamannya angkutan umum itu (pernyataan disampaikan pada November 2013).
Menurutnya, buah dari kesengsaraan yang akan membuat warga Jakarta sadar dan merasakan betapa mereka sangat membutuhkan bus TransJakarta sebagai alat transportasi utama mereka. Sehingga mereka akan meramai-ramai meninggalkan mobil pribadinya dan menggantinya dengan bus TransJakarta. Hal ini akan membuat kemacetan Jakarta berkurang, sambil menunggu selesainya dan beroperasinya MRT.
“Jadi, sekarang orang di hatinya ngedumel, mau steril tapi busnya saja enggak ada. Mereka pada ngomong begitu kan? Sebulan-dua bulan, mereka boleh ngedumel gitu. Nanti, pas busnya datang, mereka bilang, ‘aah lega… dan jadi demen naik bus’,” kata Ahok di Balaikota Jakarta, Senin 11/11/2013 (Kompas.com).
Itu ucapan Ahok di bulan November 2013.
Sekarang, rupanya Ahok “termakan” kata-katanya sendiri.
Rabu malam lalu (15/01/2014), sekitar pukul 19.00 WIB Ahok membuat “kejutan” kecil dengan “terpaksa” naik bus TransJakarta, karena mobilnya terjebak kemacetan parah. Menurut staf pribadi Ahok, Sakti Boediono, pada saat itu Ahok dengan mobil dinasnya menuju stasiun televisi di Senayan. Saat hendak melintas, di depan Sarinah, dia mendapat laporan bahwa kondisi Jalan MH Thamrin sampai Jalan Jenderal Sudirman sulit ditembus.
Maka, spontan Ahok pun keluar dari mobil dinasnya itu, dan berjalan kaki naik tangga Selter Sarinah, untuk naik bus TransJakarta. Saat itulah Ahok merasakan sendiri perbedaannya naik kendaraan pribadi yang nyaman tetapi terjebak macet sampai berjam-jam dibandingkan dengan naik bus TransJakarta yang sedikit berdesak-desakan, tetapi jauh lebih cepat sampai di tujuan.
Karena terjebak macet parah, maka Ahok pun terpaksa ikut TransJakarta, dan merasakan sendiri kalau naik TransJakarta jauh lebih lancar daripada dengan mobil pribadi. Suatu hal yang yang pernah diasebutkan sendiri, bahwa dengan kondisi macet, orang Jakarta akan beralih ke TransJakarta dan merasakan sendiri manfaatnya. Sekarang, dia sendiri merasakannya secara langsung.
Karena itulah maka Ahok mengaku, dia menjadi ketagihan dengan TransJakarta.
"Ketagihan. Ini gue mau coba lagi kalau jalanan macet," katanya di Balaikota Jakarta, Kamis (16/1/2014) malam (Kompas.com).
Pada kesempatan itu, Ahok mengatakan, dia tidak pernah alergi menggunakan transportasi umum. Dia juga membantah bahwa dirinya enggan berdesak-desakkan dengan penumpang lain di dalam TransJakarta.
Alasan yang membuatnya enggan menggunakan angkutan umum adalah karena jarak tempuh yang terlalu jauh dan lama dari rumahnya ke Balaikota dibandingkan dengan menggunakan mobil dinas/pribadinya. Kalau naik angkutan umum juga mesti berganti sampai tiga kali.
Bisa juga pakai taksi, tetapi apakah ini bukan suatu pemborosan yang sebenarnya tidak perlu? Mengingat jarak tempuhnya (pergi-ulang) yang jauh itu?
Sebenarnya, alasan ini merupakan alasan jujur yang masuk akal dan bisa diterima, daripada sok-sokan pakai kendaraan umum, memaksakan diri supaya terlihat ikut menderita, sampai terlambat sampai ke kantor, asalkan dibilang merakyat, dan sejenisnya. Bagaimana pun, atasan seperti dia harus bisa berada di kantor lebih awal daripada semua anak buahnya. Lain halnya kalau rumahnya dekat.
Mengenai instruksi Gubernur Jokowi untuk setiap Jumat di bulan pertama untuk tidak menggunakan kendaraan pribadi/dinas, juga bermaksud baik, yakni mendorong semakin banyak orang, termasuk PNS dan jajaran eselon di Pemrov DKI Jakarta untuk berangkat dan pulang kerja pakai kendaraan umum. Hal yang sudah lazim terjadi di negara-begara maju. Tetapi itu jika semua alat transportasi umum, seperti bus, monorel, dan MRT sudah beroperasi secara optimal. Kalau belum, semua itu tidak akan efektif.
Instruksi Jokowi saat ini hanya dapat dinilai sebagai pendorong dan pemanasan untuk para PNS di jajaran Pemprov DKI Jakarta untuk secara bertahap beralih ke alat transportasi massal secara tetap. Bertahap, sampai dengan jumlah bus TransJakarta benar-benar sudah memadai jumlahnya.
Kebijakan Jokowi ini tentu masih diperlukan evaluasi untuk menentukan kebijakan-kebijakan berikutnya yang lebih maju, efesien dan efektif.
Sebelum kejadian pada Rabu malam itu, siangnya Ahok juga sempat mengalami terjebak kemacetan parah ketika hendak ke kantor Redaksi Kompas.com. Meskpipun begitu Ahok tetap memutuskan tidak akan menggunakan voorijder. Dia tak ingin memanfaatkan jabatannya untuk memaksa pengguna jalan lainnya yang juga terjebak macet, supaya memberi jalan kepadanya.
Ahok berharap rencana pengadaan dan pengoperasian bus-bus baru untuk TransJakarta di bulan depan akan berjalan lancar sesuai dengan rencana. Dia berharap juga akan cukup banyak bus-bus TransJakarta yang melewati (dekat) perumahan-perumahan elit. Kalau sudah ada bus-bus TransJakarta yang melewati (dekat) perumahan elit, seperti Pantai Mutiara (rumah Ahok), dia secara pribadi bersedia menjadi contoh dan mendorong penghuni-penghuni perumahan elit lainnya itu untuk juga menggunakan TransJakarta. ***
Artikel terkait:
Sterilisasi Busway: Bersakit-sakit Dahulu, Bersenang-senang Kemudian.