Wakil Sekretaris Jenderal Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mahfudz Siddiq menilai, banjir yang melanda Ibu Kota dalam dua pekan terakhir akan memperkecil peluang Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo untuk menjadi calon presiden. Hal itu disampaikan Mahfudz, di Kompleks Parlemen, Selasa (4/2/2014).
"Saya khawatir banjir berkepanjangan ini semakin memperkecil peluang Jokowi menjadi capres. Saya berdoa agar hujan jangan lama-lama," ujar Mahfudz.
Ia mengatakan, pernyataan yang disampaikannya bukan untuk menaikkan elektabilitas tiga bakal capres PKS yang baru ditetapkan, yakni Anis Matta, Hidayat Nur Wahid, dan Ahmad Heryawan. Menurutnya, target PKS bukan untuk mengalahkan Jokowi.
"Kami bukan mau mengalahkan Jokowi, tapi kami ingin berkompetisi," ujar Mahfudz.
....
Demikian berita di Kompas.com (04/02/14)
Pernyataan Mahfudz Siddiq ini mencerminkan ketidakjujuran kepada dirinya sendiri. Ini sama saja dengan pernyataan pengdangdut Rhoma Irama yang berkali-kali bilang sama sekali tidak berambisi menjadi presiden, tetapi mau dan aktif sekali dalam setiap kegiatan yang mempromosikan dirinya sebagai calon presiden.
Siapa yang percaya pernyataan petinggi PKS ini?
Anda lebih percaya mana: si Mahfudz itu khawatir elektabilitas Jokowi akan menurun, atau justru dia sangat senang kalau elektabilitas Jokowi menurun?
Anda lebih percaya mana: si Mahfudz itu berdoa agar hujan jangan lama-lama (agar Jakarta tidak banjir lagi), atau justru dia sangat mengharapkan hujan terus turun agar Jakarta banjir terus? Supaya, -- sesuai dengan cara pikirnya --, kalau Jakarta banjir terus, semakin banyak orang yang menyalahkan Jokowi, otomatis elektabilitas Jokowi akan menurun.
Padahal, pasti si Mahfudz itu juga tahu, banjir Jakarta itu bukan baru terjadi ketika Jokowi menjadi Gubernur DKI Jakarta, dan penyebab banjir besar Jakarta itu beraneka ragam, dengan masing-masing ragamnya mempunyai tingkat kerumitan yang tinggi. Sumbernya pun tidak hanya di Jakarta saja, tetapi juga dari kota-kota sekitar Jakarta. Sehingga diperlukan kerjasama yang baik antara Pemprov DKI Jakarta dengan provinsi dan kota-kota sekitarnya itu.
Jokowi bukan penyebabnya, dan untuk mengatasi banjir besar Jakarta itu juga tidak cukup waktu dua-tiga tahun saja. Sudah diprediksikan, pun apabila semua upaya itu berjalan baik termasuk kerjasama dengan pemerintah kota/provinsi tetangga dan masyarakat Jakarta sendiri, diperlukan waktu minimal 5 -7 tahun untuk untuk kelihatan hasilnya. Yang terpenting adalah Jokowi telah menunjukkan kepada kita keteguhan dan kesungguhan hatinya dalam upaya mengatasi banjir besar Jakarta itu. Semua itu pasti memerlukan waktu dan proses yang tidak sebentar.
Ahli tata air dari Universitas Indonesia, Firdaus Ali, mengatakan rata-rata kapasitas drainase di Jakarta untuk menampung dan menyalurkan air hanya sebesar 33 persen. "Banyak gorong-gorong yang dangkal akibat timbunan sampah dan sedimentasi," ujarnya saat dihubungi pada Rabu, 29 Januari 2014. Tidak hanya itu, usia gorong-gorong di Jakarta pun sangat tua. "Rata-rata dibangung 30 tahun lalu."
Buruknya sistem drainase di Jakarta, dia menggambarkan, sama saja dengan masalah macet di jalanan ibu kota. "Air dan mobil sama-sama macet karena jalannya kecil dan sempit." Karena banyak gorong-gorong yang dangkal air limpasan pun akhirnya menggenang dan menimbulkan banjir lebih besar (Tempo.com).
Setiap kali hujan deras mengguyur Jakarta, air hujan kehilangan jalurnya untuk mengalir. Sebagian karena tingginya curah hujan, kian kedapnya tanah akibat hutan beton, ruang terbuka hijau yang sangat minim karena berubah fungsinya menjadi mall dan sebagainya, juga yang sangat gawat adalah akibat buruknya pengelolaan tanah di bawah Jakarta.
Jokowi sudah berkali-kali mengungkapkan betapa semrawutnya gorong-gorong Jakarta, yang penuh jaringan utilitas sehingga menghambat laju air. “Saya mau tahu penyebab genangan di saluran air. Sekarang sudah ketemu penyebabnya. Ada yang tersumbat sampah dan kabel-kabel,” kata Jokowi suatu kali, ketika memeriksa saluran air tepi jalan TB Simatupang, Jakarta Selatan (Majalah Tempo, 2 Februari 2014).
Bukan hanya Jokowi yang menemukan kesemrawutan pengelolaan bawah tanah Jakarta itu, Majalah Tempo sendiri telah melakukan investigasinya, dan melaporkan hasilnya bahwa memang betapa sangat amburadulnya kondisi bawah tanah Jakarta itu. Laporannya dapat dibaca di Majalah Tempo edisi 2 Februari 2014.
Selain itu di beberapa jalan utama Jakarta Jokowi dan timnya juga menemukan ternyata ada di cukup banyak trotoar-trotoar yang kelihatannya saja ada lubang saluran airnya yang seolah-olah mengalir ke parit di bawahnya, tetapi setelah dicek ternyata lubang-lubang itu buntu tertutup beton.
Ketika Jokowi memaparkan hasil penyelidikannya itu, malah ada saja politikus-politikus oportunis yang bilang, Jokowi itu harap konsentrasi di kerjanya saja, jangan menyalahkan gubernur sebelumnya. Seperti yang disampaikan Marzuki Alie (Kompas.com). Padahal Jokowi itu cuma memaparkan hasil blusukannya untuk mengetahui penyebab-penyebab banjir, tidak sepotong kata pun dia menyalahkan gubernur-gubernur sebelum dia.
Politikus-politikus oportunis akan selalu memanfaatkan bencana alam seperti banjir besar Jakarta itu untuk kepentingan politiknya. Mereka juga akan bertingkah hipokrit dengan berpura-pura seolah-olah perduli terhadap penderitaan rakyat, sembari menyatakan apa yang mereka katakan atau lakukan itu bukan untuk kepentingan politiknya itu. Kita dapat melihat kemunafikan itu dari pernyataan-pernyataan, dan perilaku mereka.
Di berita Kompas.com di atas, Wakil Sekretaris Jenderal PKS Mahfudz Siddiq itu juga mengatakan, pernyataan yang disampaikannya tadi bukan untuk menaikkan elektabilitas tiga bakal capres PKS yang baru ditetapkan, yakni Anis Matta, Hidayat Nur Wahid, dan Ahmad Heryawan. Menurutnya, target PKS bukan untuk mengalahkan Jokowi.
"Kami bukan mau mengalahkan Jokowi, tapi kami ingin berkompetisi," ujar Mahfudz.
Ini sebuah pernyataan yang sangat aneh dan kontradiktif.
Bagaimana bisa dia bilang, (di Pilpres nanti), PKS ingin berkompetisi dengan Jokowi (jika Jokowi jadi nyapres), tetapi bersamaan dengan itu, katanya juga “Kami bukan mau mengalahkan Jokowi.”
Yang namanya berkompetisi di pilpres, ya, pasti masing-masing parpol ingin capres-nya yang menang, dan ingin capres dari parpol lain kalah. Yang namanya berkompetisi di mana pun dan kapan pun, pasti masing-masing pihak ingin menang dengan mengalahkan pihak lawannya, kok bisa bilang, PKS mau berkompetisi di pilpres dengan Jokowi, tetapi bukan mau mengalahkan Jokowi?
Jadi, PKS mau berkompetisi di pilpres, tetapi tidak ingin menang, ya? ***