Akhirnya, setelah ditunggu-tunggu sekian lama, pada Kamis, 6 Desember 2012 KPK menetapkan Menpora Andi Mallarangeng sebagai tersangka di dalam kasus korupsi mega proyek Hambalang. Yang bersangkutan juga dicekal ke luar negeri, tanpa pengecualian. Artinya, dengan alasan tugas negara sebagai Menpora pun, Andi Mallarangeng tetap tak diizinkan ke luar negeri.
Pada Jumat, 7 Desember 2012 Andi Mallarangeng – sekitar 12 jam setelahnya -- menghadap Presiden SBY, mengajukan permohonannya mundur sebagai Menpora dan sebagai Sekretaris DPP Demokrat, dengan alasan, karena statusnya tersebut. Tidak ingin menjadi beban bagi pemerintahan SBY, dan ingin konsentrasi menghadapi kasus hukumnya itu.
Dan, ... terjadilah fenomena aneh itu: Tiba-tiba Andi Mallarangeng mendapat banyak pujian dari sebagian orang karena tindakannya yang mengundurkan diri itu. Tepuk tangan dan dua jempol pun diarahkan kepadanya. Gelar sebagai sosok yang berjiwa besar, ksatria, berintegritas tinggi, suri teladan bagi pemerintahan yang bersih, dan sebagainya.
Maka, Andi Mallarangeng yang kini berstatus tersangka korupsi pun seolah-olah berubah menjadi pahlawan. Sampai-sampai mereka lupa dengan KPK. Lupa, betapa selama hampir setahun ini KPK terus bekerja keras mengumpulkan bukti demi bukti yang berujung pada ditetapkannya Andi sebagai tersangka itu.
Bukannya ucapan selamat dan pujian diberikan kepada KPK, tetapi malah Andi si tersangka korupsilah yang diberi pujian setinggi langit. Padahal boleh dikatakan penetapan Andi sebagai tersangka ini merupakan kado buat KPK, karena hanya kurang tiga hari lagi dari hari penetapan itu, yakni hari ini, 9 Desember 2012, dunia merayakan hari antikorupsi internasional.
Prestasi KPK itu juga akan tercatat selamanya dalam sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia; untuk pertamakalinya seorang menteri aktif ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi. Setelah, sebelumnya seorang Jenderal aktif juga telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi pengadaan simulator SIM, Inspektur Jenderal (Pol.) Djoko Susilo.
Tetapi, prestasi KPK, yang lebih layak diberi ucapan selamat dan pujian itu malah ditenggelamkan oleh puji-pujian kepada Andi Mallarangeng. Jangan-jangan nanti, Andi akan berubah sebagai seorang tersangka korupsi menjadi seolah-olah seorang korban teraniaya yang kemudian mendapat simpatik dari banyak pihak. Dan, KPK menjadi pihak penganiayanya. Ironis sekali, kalau itu sampai terjadi.
Bahwa tindakan Andi Mallarangeng untuk segera mundur dari jabatannya sebagai Menpora itu memang patut dihargai. Sudah seharusnyanya demikian. Kalau selama ini, banyak pejabat negara yang enggan mundur, meskipun statusnya sudah tersangka, bahkan terdakwa, bukan alasan untuk memberi apresiasi secara berlebihan kepada Andi Mallarangeng seperti sekarang ini.
Para pejabat negara yang enggan mundur meskipun statusnya sudah tersangka, atau bahkan terdakwa itu memang adalah manusia-manusia yang tidak punya malu, yang patut dikecam sekeras-kerasnya. Namun, ketika Andi Malaranggeng memilih langkah yang lain, yakni mundur ketika ditetapkan statusnya sebagai tersangka oleh kPK itu, tidaklah patut mendapat pujian sehebat-hebatnya.
Apakah yang diputuskan oleh Andi itu memang adalah sesuatu yang sudah seharusnya demikian. Kita hargai, tetapi bukan dengan pujian yang berlebihan.
Ketua Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah Din Syamsudin mengatakan, pengunduran diri Andi Mallarangeng mencerminkan sikap kesatria yang harus dihormati. Sikap ini merupakan sikap yang harus diteladani dan ditiru pejabat lain (Kompas.com, 08/12/12).
Harus dihormati? Iya. Menjadi teladan bagi pejabat yang lain? Betul. Tetapi, berjiwa kesatria? Nanti dulu!
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Prof. Dr. Jamal Wiwoho lebih hebat lagi pujiannya kepada Andi Mallarangeng.
"Apa yang dilakukan oleh AAM (Andi Alifian Mallarangeng) merupakan contoh dan suri tauladan bagi pembelajaran birokrasi di Indonesia dalam rangka menciptakangood governancedanclean government,” kata Jamal (Kompas.com, 08/12/12)
Dalam perspektif yang lain, menurut Jamal, mundurnya Andi bisa digunakan sebagai sarana pembelajaran dalam politik nasional, dan langkah Andi bisa digunakan oleh Partai Demokrat sebagai partai yang memiliki kader yang berintegritas tinggi untuk partai agar Partai Demokrat dapat dikatakan sebagai partai yang bersih dan mempelopori pemerintahan yang jujur.
Kasus tersangka Andi Mallarangeng dalam kasus korupsi mega proyek Hambalang itu memang bisa dan seharusnya menjadi contoh bagi pejabat negara lainnya agar jangan coba-coba lagi berani korupsi, dampaknya bisa menciptakan pemerintahan yang bersih kelak.
Tetapi, suri teladan itu datang dari KPK yang setelah berjuang dan bekerja keras sedemikian lama berhasil menetapkan Andi Mallarangeng sebagai tersangka itu. Bukan dari peristiwa Andi mengundurkan diri sebagai Menpora itu. Tindakannya untuk mundur itu adalah konsekuensi yang memang harus dipikul akibat dari perbuatannya itu.
Keberhasilan KPK menetapkan Andi sebagai tersangka itulah yang akan menjadi momok bagi pejabat negara lainnya, agar jangan coba-coba lagi korupsi. Kalau tidak mau senasib dengan Andi Mallarangeng. Kehilangan jabatan, ditahan KPK, dan masuk penjara.
Harus diingat bahwa di KPK tidak ada yang namanya SP3 (Surat Penghentian Penghentian Penyidikan) – seperti di Kepolisian dan Kejaksaan, yang memungkinkan KPK menghentikan penyidikannya di tengah jalan dengan alasan kurang bukti, atau alasan lain sejenisnya. Oleh karena itu KPK pasti sudah punya keyakinan yang kuat dengan bukti-bukti yang cukup sebelum menetapkan seseorang menjadi tersangka kasus korupsi. Tidak terkecuali dalam kasus penetapan Andi Mallarangeng sebagai tersangka kasus korupsi Hambalang itu.
Juga, selama ini, begitu KPK menetapkan seseorang menjadi tersangka, maka dapat dipastikan dia juga akan segera ditahan oleh KPK di rumah tahanan yang diawasi oleh KPK.Diikuti dengan proses persidangan di pengadilan tipikor.
Oleh karena itu sudah sepantasnyalah Andi Mallarangeng itu memutuskan untuk mengundurkan diri baik sebagai Menpora, maupun sebagai Sekretaris DPP Demokrat.
Tanpa minta mundur pun, sangat keterlaluan kalau Presiden SBY akan terus mempertahankannya. Masa, punya Menteri, tinggalnya di rumah tahanan? Jadi, sebelum dicopot, lebih baik minta mundur lebih dulu. Supaya malunya berkurang, dan terkesan berjiwa besar, ksatria, dan seterusnya.
Jangan lupa, sebagai seorang menteri, statusnya sebagai tersangka itu juga bukan saja menjadi beban SBY sebagai presiden. Tetapi juga menjadi beban bagi negara. Karena sudah pasti semua pekerjaannya akan terganggu sekali dengan statusnya itu. Sudah begitu tetap digaji sebagai menteri dari uang rakyat.
Maka, sekali lagi, mundurnya Andi Mallarangeng itu sebaiknya direspon biasa-biasanya. Kita hormati, dengan mengatakan, misalnya, “Bagus, anda telah bertindak benar!” Bukan dengan segala macam puja-puji seperti disebutkan di atas.
Kalau dari awal-awal terkuaknya kasus ini, Andi sudah memutuskan mundur sebagai bentuk tanggung jawabnya sebagai seorang atasan yang tidak mampu bekerja baik, mengawasi dan mengontrol anakbuahnya, sehingga terjadi korupsi yang sedemikian besarnya, mungkin pujian-pujian itu patut diberikan kepadanya. Dengan catatan, kalau memang benar faktanya hanya sebatas itu (pelakunya hanya anak buahnya saja), bukan dia yang terlibat, atau malah menjadi aktor utamanya.
Yang terjadi sekarang adalah setelah sedemikian lama kasus Hambalang ini terproses dengan beraneka macam keganjilannya yang hebat itu, dan ketika Andi sudah terpojok dengan statusnya sebagai tersangka itu, barulah dia mengundurkan diri. Apakah langkahnya itu patut dipuji secara sedemikian berlebihan?
Jangan sampai terjadi, ketika ada maling mengakui perbuatannya, lalu kita pun memujinya ramai-ramai, sebagai seorang yang berjiwa besar, karena jujur mau mengakui perbuatannya.
Tanpa mengabaikan asas praduga tak bersalah, bagi saya keputusan KPK untuk menetapkan Andi Mallarangeng sebagai tersangka dan dicekal ke luar negeri itu sudah sangat tepat. Andi pasti akan segera ditahan KPK, dan kemungkinan besar pula akan menjadi terpidana kelak di pengadilan tipikor.
Pernyataan ini berangkat dari mengikuti perkembangan kasus korupsi di mega proyek Hambalang selama ini yang penuh dengan keganjilan.
Keganjilan berawal dari proyek yang semula beranggaran Rp 125 miliar itu, bisa tiba-tiba membengkak sampai Rp 1,2 triliun. Bahkan sebenarnya rencananya akan membengkak sampai Rp 2,5 triliun, kalau sampai proyek itu selesai, ditambah dengan pengadaan perangkat dan perabot, ATK dan lain-lain yang akan mengisinya.
Semula Andi mengelak, dengan mengatakan dia hanya meneruskan proyek dari Menpora sebelumnya. Yakni, Adyaksa Daud. Membuat Adyaksa marah besar, menyangkal pengakuan Andi itu. Adyaksi mengatakan bahwa ketika menjawab sebagai Menpora proyek itu hanya dianggarkan sebesar Rp 125 miliar, ketika Andi menjadi Menpora menggantikannya itulah tiba-tiba jenis proyek itu berubah dengan pembengkakkan anggaran sampai triliunan rupiah itu. “Itu murni proyek baru, bukan meneruskan proyek,” kata Adyaksa Daud. Dia menantang Andi untuk tampil di depan publik untuk konfrontasi, disiarkan langsung televisi. Tetapi, Andi tidak meladeni tantangan tersebut.
Di bidang perizinannya pun demikian, prosedur izin lokasi yang janggal (tanpa Amdal), keluarnya sertifikat tanah yang tidak prosedural, kondisi tanah yang tidak layak untuk membangun proyek sedemikian, dan sebagainya.
Dan, semuanya itu Andi Mallarangeng sebagai seorang Menpora, si empunya mega proyek itu, si pengguna anggaran, mengaku tidak tahu-menahu! Dia hanya tahu proyek itu ada, selebihnya dia megaku tidak tahu-menahu. Termasuk bagaimana penggunaan anggarannya.
Di berbagai pernyataannya, termasuk ketika menjadi saksi di pengadilan, Andi Mallarangeng malah terus menyalahkan dan mengkambinghitamkan anakbuahnya, Sesmenpora Wafid Muharam. Semua hal yang seharusnya menjadi tanggungjawabnya dilemparkan kepada Sesmenpora. Apakah itu jiwa seorang ksatria yang patut menjadi panutan pejabat negara lainnya, dan patut mendapat pujian?
Ketika BPK mengaudit kasus Hambalang tersebut, dan menyimpulkan bahwa Menpora Andi Mallarangeng diduga telah membiarkan bawahannya, Sesmenpora Wafid Muharam melakukan penyimpangan anggaran, serta tidak melaksanakan pengendalian dan pengawasan sebagaimana yang diuraikan dalam PP Nomor 60 Tahun 2008, Andi menyangkalnya, dengan argumen bahwa dia tidak tahu jika menteri harus terlibat dan menandatangani dokumen kontrak proyek di kementeriannya yang bernilai di atas Rp 50 miliar, termasuk proyek Hambalang.
Andi malah mengklaim telah melaksanakan tugas pengawasannya sebaik-baiknya. “Saya sebagai menteri telah menjalankan tugas sebaik-baiknya. Termasuk pengawasan. Kalau ada penyimpangan, siapa pun itu harus kita proses secara hukum,” kata Andi, di Jakarta, Rabu, 31 Oktober 2012 (Kompas.com).
“Yang jelas tidak ada pembiaran untuk penyimpangan yang saya lakukan. Saya berusaha sebagai menteri, termasuk lakukan pengawasan. Kalau ada staf melakukan penyimpangan, dia lah yang harus bertanggung jawab!” Tegas Andi Mallarangeng.
Apakah anda percaya, seorang politikus dan pejabat negara sekaliber Andi Mallarangeng tidak tahu kalau setiap proyek bernilai di atas Rp 50 miliar harus diketahui, disetujui, dan ditandatangani oleh menteri yang bersangkutan sebagaimana diatur di PP Nomor 60 Tahun 2008 itu, dalam hal ini dia sebagai Menpora?
Seandainya pun benar, maka kualitas Andi sebagai seorang menteri sangat patut dipertanyakan. Jangan lupa pula di dunia hukum, berlaku juga asas fiksi hukum. Yang menganggap setiap peraturan perundang-undangan yang telah disahkan/diberlakukan, maka semua orang dianggap telah mengetahuinya. Sehingga tidak ada alasan, seseorang untuk mengelak dari sanksi hukuman dengan alasan dia tidak tahu kalau peraturan tersebut ada.
Apakah Andi benar telah menjalankan tugas pengasawannya kepada anakbuahnya itu, dalam konteks ini kepada Sesmenpora Wahid Muharam, sebagaimana diakuinya itu? Kalau Andi sungguh-sungguh telah menjalankan fungsi pengawasannya itu dengan baik, tidaklah mungkin terjadi kasus korupsi yang sedemikian besar dan sedemikian lama, tanpa diketahuinya, dan tanpa bisa dihentikan/dicegahnya.
Ketika proyek itu sedang berjalan, sebagai Menpora, masakan Andi sama sekali tidak meninjau langsung ke lokasi proyek sebesar itu. Masakan sebagai Menpora, dia tidak juga mencari tahu lebih dalam tentang proyek itu, terutama tanggung jawab penggunaan anggarannya yang triliunan rupiah?
Sampai di sini saja, seharusnya SBY sudah cukup punya alasan untuk memecatnya. Dengan alasan kualitas dan kemampuannya yang tidak sepandan. Yang terjadi, malah dalam konferensi persnya untuk merespon permintaan mundur Andi, SBY malah memuji-muji Andi sebagai Menpora dengan prestasi bagus.
Ketika kasusnya terbongkar, Andi malah menimpakan semua kesalahan itu kepada bawahannya, Sesmenpora Wafid Muharam, untuk sendirian bertanggung jawab secara hukum. Andi benar-benar melakukan gerakan cuci tangan. Padahal, Wafid itu hanya sebagai kuasa pengguna anggaran, sedangkan Andi sebagai Menpora adalah pengguna anggarannya.
Ketika itu Andi hanya mengatakan bahwa dia akan bertanggung jawab secara moral, atas telah “telanjurnya” terjadi dugaan korupsi besar-besaran di proyek Hambalang itu. Tanpa jelas, apa kongkritnya yang dimaksud dengan tanggung jawab moral itu. Sampai pada ketika KPK telah menetapkannya sebagai tersangka, barulah, Andi yang tentu saja merasa terpojok. Tidak mungkin lagi bisa mengelak dari tanggung jawab, dan tidak bisa “minta perlindungan” kepada Presiden SBY. Sebaliknya, pasti Presiden SBY akan mencopotnyanya, oleh karena itu sebelum dicopot Andi bergerak lebih dulu untuk mengundurkan diri, seperti yang saya sebutkan di atas. Malunya berkurang, malah bisa mendapat pujian.
Dengan kejadian seperti ini, sekali lagi kita bertanya, patutkah Andi dengan tindakan mundurnya itu menuai pujian-pujian berlebihan seperti yang telah diuraikan di atas?
Aneh, bukan KPK, tetapi malah si tersangka Andi Mallarangeng yang menuai banyak pujian. Meskipun, saya yakin bahwa KPK bekerja sama sekali bukan mengharapkan pujian, tetapi KPK-lah yang lebih berhak dipuji daripada Andi.
Menurut anda? ***