Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Pembubaran BP Migas: Kata Lin Che Wei, Mereka Itu Badut-Badut Politik

16 November 2012   18:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:13 2273 3

Selasa, 13 November 2012, Mahkamah Konstitusi (MK) yang dipimpin oleh Ketuanya, Mahfud MD, memutuskan bahwa keberadaan Badan Pelaksana Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, atau disingkat BP Migas yang diatur di UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) bertentangan dengan UUD 1945 (khususnya Pasal 33), dan tidak mempunyai kekuatan hukum sehingga harus dibubarkan.

MK juga menilai bahwa  UU Migas tersebut membuka liberalisasi pengelolaan migas karena sangat dipengaruhi pihak asing. Pola unbunding yang memisahkan kegiatan hulu dan hilir ditengarai sebagai upaya pihak asing untuk memecahbelah industri migas nasional, supaya mempermudah penguasaannya oleh mereka.

Untuk mengisi kekosongan hukum sementara ini, kewenangan BP Migas akan dijalankan oleh Pemerintah (dalam hal ini Menteri ESDM/BUMN).

Demikian kesimpulan berita yang bisa dibaca di Kompas.com.

Keputusan MK tersebut berkaitan dengan permohonan uji materi UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas yang diajukan sejumlah ormas dan tokoh Islam, seperti Masyumi, NU, Din Syamsuddin, dan Hashyim Muzadi, serta beberapa tokoh masyarakat lainnya. Termasuk Rizal Ramli dan Kwik Kwan Gie, yang ikut mendukung gugatan terhadap UU Migas tersebut.

Sebetulnya yang digugat ke MK itu adalah supaya UU Migas tersebut secara keseluruhan dicabut. Tetapi, oleh MK hanya mengabulkan pasal-pasal tertentu yang dianggap bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945, terutama tentang BP Migas.

Banyak pihak, termasuk pihak Pemerintah, mengaku sangat terkejut dengan keputusan MK tersebut. Tetapi, apabila kita menyimak isi keputusan MK tersebut seharusnya kitalah yang terkejut, kenapa mereka bisa terkejut. Sebab substansi putusan MK itu telah menyatakan seterang-terangnya bahwa selama ini, setidaknya selama UU Migas dengan BP Migas-nya ada, kekayaan alam Indonesia (dalam hal ini kekayaan alam minyak dan gas) tidak lagi di bawah kontrol pemerintah untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, sebagaimana diamanatkan Pasal 33 UUD 1945.

Namanya saja Indonesia kaya dengan minyak dan gasnya, tetapi melalui BP Migas, berbagai kontrak kerja dengan perusahaan-perusahaan asing, sangat banyak merugikan pihak Indonesia, karena kendali berada di pihak perusahaan-perusahaan minyak dan gas asing itu. Terutama dari Amerika Serikat dan Inggris.

Padahal Indonesia adalah pemilik dari kekayaan tersebut, tetapi begitu telah dieksplotasi oleh perusahaan-perusahaan asing, melalui kontrak kerja bagi hasil dengan BP Migas, berubah menjadi seolah-olah milik mereka dengan keuntungan sebesar-besarnya bagi mereka juga. Kontrak kerja pengelolaan minyak dan gas itu kerapkali merugikan rakyat Indonesia, karena hasil eksplotasinya diprioritaskan untuk diekspor ketimbang untuk keperluan domestik.

Maka, fenomena yang sudah lama terjadi, dan seolah-olah sudah merupakan sesuatu kewajaran adalah ketika di banyak daerah yang kaya hasil bumi dan gasnya, tetapi justru kekurangan BBM dan gas. Rakyat banyak hidup sengsara terbelit di dalam lingkaran kekurangan BBM dan gas. Baik ketika hendak menggunakannya untuk kendaraan bermotornya, industri, maupun listrik di kotanya/wilayahnya terpaksa tidak bisa menyala maksimum karena PLN setempat kekurangan pasokan minyak/gas.

Papua dan Papua Barat adalah salah satu contohnya. Sampai hari ini, kota-kota di Papua masih kesulitan untuk memperoleh BBM dan gas untuk menjalankan kendaran-kendaraan bermotornya, mesin industrinya, dan lain-lain. Sementara itu listrik pun sangat sering bermasalah, byar-pet dalam sehari rata-rata 5-7 kali, bahkan di beberapa kota kabupaten listriknya hanya bisa menyala malam hari saja. Contoh: Kabupaten Teluk Bintuni, atau lebih dikenal dengan Kabupaten Bintuni, Papua Barat, lokasi di mana adanya mega proyek LNG Tangguh (sekitar 50 km dari Bintuni). Sampai hari ini listriknya hanya bisa menyala malam hari saja. Kadang-kadang selama beberapa hari tidak menyala, karena genset PLN-nya kehabisan pasokan solar! (Saat ini baru dimulai proses pemasangan kabel bawah laut dari blok LNG Tangguh ke pusat pembangkit listrik Bintuni, guna memenuhi kebutuhan listik di Bintuni).

Di kota asal saya, Fakfak, untuk mendapatkan elpiji (ukuran 14 kg) sulitnya minta ampun. Kalau ada harganya pun luar biasa mahalnya, Rp 205.000 - Rp. 250.000 per tabung. Itu harga untuk isinya saja! Di Bintuni, dijual Rp. 230.000, kalau beli dari Sorong Rp. 150.000 untuk isinya saja (plus ongkos kirim). Transportasi dari Sorong, mengharapkan kapal perintis, yang jadwalnya paling cepat sebulan sekali.

Apabila kita mengikuti kronologis, bagaimana lahirnya UU Migas dan bagaimana sampai bisa BP Migas ada dan kewenangan-kewenangan Pertamina dialihkan kepadanya, kelihatan sekali bahwa sejak semula kepentingan asing sudah mengendalikan negara ini.

Kronologis yang bisa dibaca di Kompas.com tersebut adalah sebagai berikut:

* 1884: Lapangan minyak di Indonesia (Hindia belanda) dikuasai oleh 18 perusahaan milik Belanda, Inggris, dan Amerika Serikat.

* 1960: Bung Karno menalukan nasionalisasi dan mengubah bentuk kontrak migas. Eksplotasi migas hanya diselenggarakan oleh negara (UU No. 44 Tahun 1960).

* 1961-1971: Perusahaan migas nasional melakukan konsilidasi dan mengambil-alih aset. Kilang-kilang penyulingan minyak dan aset lain milik asing dibeli pemerintah dan diserahkan kepada Pertamina.

* Orde Baru lahir: Pertamin dan Pertamina digabung menjadi Pertamina (UU No. 8 Tahun 1971). Pertamina diberi kuasa tambang, memilih kontraktor penggarap blok migas, serta mendantangani kontrak bagi hasil.

* 1996: Pemerintah mengajukan RUU Migas baru untuk memisahkan peran regulator dan operator. Usulan ditolak DPR saat itu.

* 1999: Pemerintah kembali mengajukan RUU Migas ke DPR. Menyusul krisis ekonomi tahun 1997-1998, upaya tersebut terhenti.

* 2001: RUU Migas akhirnya disahkan menjadi UU No 22/2001. Mengantisipasi perubahan UU ini, BPPKA mulai dilepas dari Pertamina dan diubah menjadi Direktorat Manajemen Production Sharing (MPS). MPS berubah menjadi Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (BP Migas) pada 2002.

*

Nah, bagaimana peran para tokoh politik dan pemerintah saat itu, sampai bisa lahirnya UU Migas dan lahirnya BP Migas tersebut, yang ternyata bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945? Padahal saat itu sudah masuk pada era reformasi? Bagaimana bisa mereka yang berperan penting lahirnya UU Migas tersebut tidak melihat hal tersebut, atau lebih tepatnya membiarkan, atau bahkan memang sengaja melakukan hal tersebut?

Padahal para tokoh tersebut adalah mereka yang juga selama ini kita kenal sebagai tokoh-tokoh yang (katanya) pro-rakyat, dan antikepentingan asing yang hanya menyengsarakan rakyat banyak dalam melakukan eksplotasi kekayaan alam di negeri ini, khususnya minyak dan gas.

Mereka itu, bahkan yang pada 2012 ini, termasuk yang sekarang ini (ikut) menggugat dan mendukung gugatan keberadaan UU Migas dan BP Migas ke MK tersebut. Bahkan termasuk Ketua MK Mahfud MD yang memimpin sidang UU No. 22 Tahun 2001 dengan hasil keputusan sebagaimana tersebut di atas,

Amin Rais (Ketua Umum Muhammadiyah 1995-2000), yang dikenal kerap menyuarakan anti kepentingan asing, terutama sekali dalam mengeksplotasi hasil bumi, minyak dan gas, pernah gencar menyuarakan nasionalisasi tambang-tambang minyak dan gas di Indonesia, ternyata ikut andil dalam diundangkan UU tentang Migas tersebut.

Lin Che Wei, Analisis Keuangan,  di akun Face Book-nya, menulis tentang ironi sejarah lahirnya UU Migas itu, mengatakan, selain Amin Rais yang waktu itu Ketua MPR dan Ketua Umum PAN yang ikut mensahkan UU tersebut, juga ada nama-nama besar lainnya yang ikut andil lahirnya UU tersebut. Mereka adalah  Ketua DPR Akbar Tanjung (Ketua Umum Golkar). Ketua Komisi Energi Irwan Prayitno (Partai Keadilan, sekarang PKS), bahkan Mahfud MD yang waktu itu adalah Menteri Pertahanan, dan sempat menjadi Menteri Hukum dan Perundang-undangan

Pada waktu itu, menurut Lin Che Wei, semua fraksi dan pihak dari pemerintah sepakat tentang pengesahan UU tersebut, kecuali sebuah partai kecil, Partai Demokrasi Kasih Bangsa. Suara parpol mini itu tentu saja bagaikan berteriak di tengah padang gurun.

Pada masa itu, masih menurut Che Wei, semua yang menolak UU Migas disingkirikan. Direktur Utama Pertamina, Martiono, yang menentang RUU Migas, diganti oleh Baihaki Hakim atas rekomendasi Menko Perekonomian Kwik Kwan Gie.

Lalu, kenapa sekarang ramai-ramai dan bersama-sama mereka menggugat keberadaan BP Migas dan UU Migas itu?

Di akun Face Book-nya, analisis keuangan dan pasar modal yang pernah berperkara hukum dengan Bank Lippo gara-gara tulisannya di Harian Kompas, pada Maret 2003 itu, menganggap para tokoh itu bagaikan badut-badut politik saja.

Berikut tulisan lengkapnya itu:

Badut Politik dalam Kasus Pembubaran BP MIgas dan UU MIgas tahun 2001.

(Oleh Lin Che Wei)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun