Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Artikel Utama

Dahlan Iskan Ingin Melucu di Komisi VII DPR

29 Oktober 2012   04:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:16 3794 12

"Kita fokus dengan masalah ini, kita ingin membahas ini dengan cepat. Pembahasan ini diharapkan bisa cepat sehingga kementerian bisa bekerja. Tapi ini kok sepertingelantur, kita bicarakan asumsi dasar ekonomi makro, jangan yang lain," kata Agus menanggapi pernyataan Kamaruddin sambil menggebrak meja.

Bukannya mengaku salah atas ke-ngelanturan-nya itu, Kamaruddin Syam malah balik menegur Agus Martowardojo untuk mencabut kata ngelantur itu, karena dia tidak merasa ngelantur. Sehingga terjadilah adegan yang semakin ngelantur, karena rapat harus buang-buang waktu membahas soal remeh-temeh ini. Agus pun menolaknya. Maka, kejadian yang lucu itu pun terlihat semakin lucu dan konyol. Seperti ada badut di DPR saja.

*

Hal yang mirip rupanya bakal terjadi lagi antara Menteri BUMN Dahlan Iskan dengan Komisi VII DPR.

Komisi DPR yang membidangi ESDM, Riset dan Teknologi, dan Lingkungan Hidup ini marah besar kepada Menteri BUMN Dahlan Iskan. Gara-garanya Menteri BUMN dianggap mangkir meskipun telah dipanggil dua kali untuk didengar penjelasananya atas laporan BPK bahwa selama Dahlan Iskan menjadi Dirut PLN telah terjadi inefisiensi yang merugikan negara sebesar Rp. 37 triliun.

Menurut Komisi VII, selain ini persoalan sangat penting untuk dijelaskan oleh Dahlan Iskan, ketidakhadiran Dahlan sampai dua kali di rapat Komisi VII dengan wakil dari pemerintah itu juga samadengan melecehkan DPR. Katanya pula, apabila Dahlan Iskan tidak datang dipanggilan ketiga, mereka akan melakukan pemanggilan paksa! Wouw, keren jika ini terjadi pertamakali terjadi dalam sejarah, ada DPR yang melakukan upaya paksa “menyeret” seorang menteri ke rapat kerja komisinya. Mereka lupa diri, sudah entah berapa kali mereka melecehkan rakyat dengan sering absen di rapat-rapat (paripurna) DPR selama ini?

Dahlan Iskan mengatakan bahwa dia pasti akan memenuhi undangan Komisi VII DPR itu, tetapi tentu saja bukan lantaran ketakutan karena Komisi itu mau berlagak seperti Polri, atau KPK yang hendak melakukan pemanggilan paksa kepadanya, tetapi, -- seperti pengakuannya di dalam artikelnya di Jawa Pos, Senin, 29/10/2012, karena Dahlan Iskan kangen dengan mereka. Selain kangen dengan Komisi VII DPR itu, Dahlan Iskan mengaku, dia rindu, sudah setahun tidak lagi melucu di Komisi VII ini.

Kenapa Dahlan Iskan ingin “melucu” di Komisi VII DPR ini? Dia menjelaskan di artikelnya di Jawa Pos, Senin, 29/10/2012 yang berjudul: Temuan Inefisiensi yang Mestinya Melebihi Rp 37 Triliun.

Di rubrik “Manufacturing Hope” yang hadir setiap hari Senin di Jawa Pos itu, Dahlan memulai penjelasannya dengan mengatakan, “Benarkah BPK menemukan inefisiensi di PLN sebesar Rp. 37 triliun saat saya jadi Dirut-nya? Sangat benar. Bahkan, angka itu rasanya masih terlalu kecil. BPK seharusnya  menemukan jauh lebih besar daripada itu.

Kenapa terjadi inefisensi-inefisiensi tersebut, dijelaskan oleh Dahlan Iskan semua itu karena problematik di lapangan dan kebijakan dari pemerintah pusat, terkait penggunaan BBM dan BBG (Bahan Bakar Gas). Kondisi-kondisi itu yang membuatnya sebagai Dirut PLN harus segera mengambil keputusan; harus memilih salah satu dari dua alternatif: Terpaksa melakukan inefisiensi sambil terus berupaya mencari jalan keluar agar segera terjadi efisiensi (itu semua berhasil dilakukannya), atau terpaksa mematikan listrik untuk jangka waktu tertentu atau malah tak menentu, karena, misalnya, PLN tidak punya cukup alokasi BBG. Satu-satunya cara agar listrik tetap menyala adalah dengan menggunakan BBM (solar) yang biayanya jauh lebih besar (terjadilah inefisiensi itu).

Dahlan Iskan memberi beberapa contoh kasusnya. Saya menyalin tiga di antaranya sbb:

Contoh I: Di Senipah sedang dibangun pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) 80 mw. Awalnya, sebelum saya menjabat Dirut PLN, proyek itu menghadapi persoalan birokrasi besar. Saya datang ke Senipah di dekat Muara Sungai Mahakam itu. Persoalan selesai. Proyek bisa dibangun.

Ini penting bukan saja agar kekurangan listrik di Kaltim segera teratasi, tapi PLN pun bisa berhemat triliunan rupiah. Lebih efisien. Kasus Kaltim tersebut (juga Kalselteng) sangat memalukan bangsa. Daerah yang kaya energi justru krisis listriknya terparah.

Kini, ketika pembangunan PLTG Senipah itu hampir selesai, ada persoalan lagi. Untuk membawa listrik itu ke Balikpapan dan Samarinda, harus melewati tanah Pertamina. Saya pun harus mencarikan jalan keluar. Beres. Tiga bulan lagi proyek itu sudah menghasilkan listrik. Efisiensi triliunan rupiah segera terwujud.

Dengan kata lain, selama ini telah terjadi inefisiensi triliunan rupiah di Kaltim. Inefisiensi itu tidak ditemukan oleh BPK.

Contoh II: Krisis listrik di Jambi juga termasuk yang paling parah. Padahal, di Jambi ditemukan banyak sumber gas. Tapi, PLN membangkitkan listrik dengan BBM. Terjadilah inefisiensi triliunan rupiah di Jambi. BPK juga tidak menemukan inefisiensi di Jambi itu.

Saya segera memutuskan, pembangkit yang sudah nganggur di Madura dibawa ke Jambi. Sejak kabel listrik untuk Madura dilewatkan Jembatan Suramadu, tidak ada lagi kekhawatiran Madura kekurangan listrik. Jambi pun lebih efisien.

Ada lagi gas Jambi yang sudah bertahun-tahun tidak digunakan. Berapa triliun rupiah inefisiensi telah terjadi. Itu juga tidak ditemukan BPK. Saya segera memutuskan membangun CNG (compressed natural gas) di Sei Gelam, di luar Kota Jambi. Agar gas yang ditelantarkan bertahun-tahun itu bisa dimanfaatkan.

Contoh III: Suatu saat pemerintah membuat keputusan yang tepat, yakni gas jatah PLN dialihkan untuk industri yang kehilangan pasokan gas. Jatah gas PLN dikurangi. Akibatnya, PLN berada dalam dilema: menggunakan BBM atau mematikan saja listrik Jakarta. Pembangkit besar di Jakarta itu (Muara Karang dan Muara Tawar) memang hanya bisa dihidupkan dengan gas atau BBM. Tidak bisa dengan bahan bakar lain.

Tentu PLN tidak mungkin memilih memadamkan listrik Jakarta. Bayangkan kalau listrik Jakarta dipadamkan selama berbulan-bulan. Maka, digunakanlah BBM.

Kalau keputusan tidak memadamkan listrik Jakarta itu salah, saya siap menanggung risikonya. Saya berprinsip seorang pemimpin itu tidak boleh hanya mau jabatannya, tapi tidak mau risikonya. Maka, dia harus berani mengambil keputusan dan menanggung risikonya.

Kalau misalnya sekarang saya harus masuk penjara karena keputusan saya itu, saya akan jalani dengan ikhlas seikhlas-ikhlasnya!

Saya pilih masuk penjara daripada listrik Jakarta padam secara masif berbulan-bulan, bahkan bisa setahun, lamanya. Saya membayangkan, mati listrik dua jam saja, orang sudah marah, apalagi mati listriknya berbulan-bulan.

.....

Akibat keputusan saya untuk tidak memadamkan listrik Jakarta itu memang berat. PLN mengalami inefisiensi triliunan rupiah. Tapi, pabrik-pabrik tidak tutup, PHK ribuan buruh terhindarkan, dan Jakarta tidak padam selama setahun!

Apakah PLN harus memberontak terhadap putusan pemerintah itu? Tentu tidak. Putusan itu sendiri sangat logis. Kalau industri tidak dapat gas, berapa banyak pabrik yang harus tutup. Berapa ribu karyawan yang kehilangan pekerjaan. Alangkah ributnya. Indonesia pun kehilangan kepercayaan.

....

Contoh-contoh inefisiensi seperti itu luar biasa banyaknya. Dan triliunan rupiah nilainya. Itulah sebabnya saya benar-benar ingin menjabat Dirut PLN sedikit lebih lama lagi. Agar saya bisa melihat hasil-hasil pemberantasan inefisiensi di PLN lebih banyak lagi.

*

Dahlan Iskan merasa sangat heran kenapa Komisi VII sampai merasa perlu memanggilnya seperti itu. Dahlan bertanya, “Apakah Komisi VII DPR itu tidak tahu semua itu? Sehingga memanggil saya untuk menjelaskannya?’

“Saya tegaskan,” tulis Dahlan, “Komisi VII DPR itu sangat tahu semua itu. Kalau pun merasa tidak tahu, kan ada Dirut PLN yang baru, Nur Pamuji. Pak Nur bisa menjelaskan dengan baik, bahkan lebih baik daripada saya. Apalagi waktu itu, beliau menjabat direktur PLN urusan energi primer.”

Kalau memang begitu, lalu untuk apa Komisi VII itu tetap ngotot memanggil Menteri BUMN Dahlan Iskan?

Dahlan Iskan mempunyai dugaan. Inilah dugaannya itu: “Hampir tidak ada relevansinya memanggil menteri BUMN ke komisi VII. Tapi, kalaupun saya dipanggil lagi, saya akan hadir. Saya juga sudah kangen kepada mereka. Dan mungkin mereka juga sudah kangen saya. Sudah setahun saya tidak melucu di komisi VII.”

Kita, sebagai rakyat biasa, juga punya rasa kangen yang sama dengan Dahlan Iskan. Meskipun sudah cukup sering melihat lelucon-lelucon para badut berjubah anggota DPR di sana, tetapi rasanya kita tetap kepingin melihat lelucon-lelucon yang khas dari Dahlan Iskan. Bagaimana caranya, dia mengimbangi para badut di Komisi VII DPR itu ketika mempersoalkan inefisensi yang terjadi di PLN selama dia menjadi Dirut PLN itu. Harus ada siaran langsungnya di TV, nih!

Anggota DPR, khususnya yang di Komisi VII itu rupanya sudah lama menyimpan dendam kepada Dahlan Iskan. Mungkin karena sejak Dahlan menjadi Menteri BUMN, fee-fee yang biasa mereka terima mendadak lenyap. Oleh karena itulah dicari-cari kesalahan Dahlan Iskan. Nah, begitu ada laporan BPK tentang inefisensi Rp. 37 triliun yang terjadi selama Dahlan Iskan menjadi Dirut PLN itu, mereka pun segera menyambarnya untuk dipakai menyerang Dahlan. Ironisnya, serangan itu pun dengan mudah dibalikkan oleh Dahlan kepada mereka. Serangan itu menjadi bumerang bagi mereka, dengan terungkapnya apa sebenarnya yang terjadi di balik masalah inefisiensi tersebut, yang sesungguhnya mereka sendiri seharusnya sudah tahu, tetapi kenapa pura-pura tidak tahu? Atau memang tidak tahu, berhubung dengan kemampuannya yang di bawah standar?

Kalau mereka benar tidak tahu, kenapa sampai bisa begitu? Kembali ke kecurigaan saya yang saya singgung di awal tulisan ini. Inilah akibat dari banyaknya anggota DPR karbitan, yang sesunggunya tidak mengerti benar terhadap persoalan-persoalan yang mereka bidangi di komisi-komisi DPR tersebut. Akibatnya, ya, beginilah: Muncul pertanyaan-pertanyaan dan sikap-sikap yang konyol dari anggota DPR itu.

Mungkin juga Komisi VII DPR itu terlalu percaya dengan kicauan-kicauan dari @TrioMacan2000 di akun Twitter-nya yang terus-menerus menyerang Dahlan Iskan. Di antara kicauan-kicauan (kultwit) @TrioMacan2000 itu, ya, tentang kerugian negara akibat terjadinya inefisiensi di PLN selama Dahlan Iskan menjadi Dirut-nya di sana itu.

Dahlan pun menulis di artikelnya itu: “Saya tahu pepatah ini: Kian tinggi, kian kencang anginnya. Tapi, saya juga tahu lelucon ini: Kian besar kembung perut, kian besar buang anginnya.” ***

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun