Siapa bilang koalisi enam parpol besar, plus isu SARA yang terus-menerus dilontarkan oleh kubu Foke-Nara kepada Jokowi-Ahok, termasuk ceramah SARA Rhoma Irama beberapa waktu lalu itu, dan kultwit SARA dan fitnah kepada Jokowi-Ahok oleh @Triomacan2000, tidak berpengaruh pada perolehan suara Foke-Nara pada Pilkada DKI Jakarta putaran kedua yang baru saja berlalu itu?
Pengaruh itu pasti ada. Bahkan menurut hasil survei/sigi yang dilakukan Majalah TEMPO bekerjasama dengan Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2-7 September 2012 dampak dari isu SARA yang dengan sangat gencar dikumandangkan oleh kubu Foke-Nara itu tergolong besar. Termasuk, parapalan sumpah dengan Quran di atas kepala, di Kelurahan Cidodol, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, untuk mencoblos Foke-Nara, yang dihadiri oleh Nachrowi Ramli, pada Selasa, 5 September 2012.
Majalah TEMPO edisi 23 September 2012 melaporkan bahwa dalam sigi yang dilakukan pada 2-7 September 2012 itu, resistensi terhadap pemimpin kepala daerah yang beragama lain (nonMuslim) masih tinggi. Sebanyak 57,4 persen responden menyatakan berkeberatan jika dipimpin orang beragama Protestan, dan 56 persen responden menolak dipimpin orang beragama Katolik.
Entah apa yang membuat TEMPO membedakan Protestan dengan Katolik dalam siginya itu. Sebab, dalam konteks ini, pada prinsipnya, Protestan dan Katolik itu sama saja. Sama-sama Kristen. Dan, Ahok sudah jelas beragama Protestan. Lebih pas jika TEMPO hanya menggunakan “Kristen”.
Jadi, dapat dikatakan bahwa 57 persen respon menolak pimpinan beragama Kristen (dalam hal ini adalah Ahok).
Selain itu, hasil sigi TEMPO itu memperlihatkan bahwa 44,3 persen responden Muslim menyatakan setuju agama Islam melarang memilih pemimpin nonMuslim. Sebanyak 48 persen menyatakan tidak jadi masalah memilih pemimpin nonMuslim. Sisanya, 7,7 persen, tidak tahu. Para pemilih menyebutkan alasan utama memilih Foke-Nara adalah pasangan itu mewakili agama yang mereka anut.
“Efek isu agama jauh lebih dominan ketimbang konsolidasi partai pendukung Fauzi-Nachrowi,” kata Direktur Komunikasi Lembaga Survei Indonesia Burhanuddin Muhtadi (TEMPO, 23/09/2012).
Selain tema agama, menurut Burhanuddin, isu etnis sangat mempengaruhi pilihan. Sebanyak 45,9 persen pemilih mengatakan keberatan jika dipimpin oleh orang etnis Tionghoa. Selanjutnya, 50,4 persen mengaku tidak keberatan, dan 3,7 persen, tidak tahu.
Dari segi suku/etnis, 10,9 persen menolak jika dipimpin oleh orang Jawa (84,9 persen tidak keberatan, 4,2 persen tidak tahu), 7,1 persen menolak jika dipimpin oleh orang Betawi (89,6 persen tidak keberatan, 3,3 persen tidak tahu), dan 45,9 persen menolak jika dipimpin oleh orang Tionghoa. Untuk pimpinan Tionghoa ini, menariknya adalah antara yang menolak dan menerima (tidak keberatan) selisihnya tipis, bahkan yang menerima persentasenya lebih besar, yakni 50,4 persen. Sisanya, 3,7 persen, tidak tahu.
Dari hasil survei yang dilakukan oleh Majalah TEMPO bekerja sama dengan LSI itu membuktikan bahwa isu SARA yang gencar dikumandangkan oleh kubu Foke-Nara selama sebelum putaran kedua Pilkada DKI Jakarta itu dilangsungkan pada 20 September lalu itu, pengaruhnya cukup signifikan.
Itulah pula yang berpengaruh pada hasil akhir Pilkada DKI Jakarta putaran kedua menurut versi Quick Count. Menurut Quit Count versi Litbang KOMPAS, hasil akhir dari Pilkada DKI tersebut adalah pasangan Nomor Urut 1: Foke Nara memperoleh 47,03 persen, dan pasangan Nomor Urut 3: Jokowi-Ahok mendapat 52,97 persen. Jokowi-Ahok menang dengan selisih yang cukup tipis, 5,94 persen.
Seandainya saja, tidak terjadi koalisi enam parpol yang menggeroyok Jokowi-Ahok, dan terutama sekali tidak ada isu SARA dari kubu Foke-Nara, besar kemungkinan hasil akhirnya akan berbeda sekali. Yakni, kemenangan mutlak dengan selisih yang jauh diperoleh oleh Jokowi-Ahok. Bisa jadi, hasil akhirnya akan berkisar pada 70-30 persen untuk Jokowi-Ahok.
Meskipun pengaruh isu SARA itu tergolong signifikan, namun kekuatan paham pluralisme dan kebangsaan, terutama dari kaum menengah dan muda ternyata masih jauh lebih kuat. Kekuatan inilah yang berhasil memenangkan Jokowi-Ahok.
Meskipun dikatakan bahwa isu SARA itu tergolong signifikan, namun di sisi lainnya, isu SARA itu menjadi bumerang bagi kubu Foke-Nara sebagai penghembus isu tersebut.
Dengan mengatakan bahwa pemilih harus memilih pimpinanya yang seiman, maka sebetulnya para pemilih, warga DKI Jakarta yang dikatakan cerdas itu, telah “mematuhi” seruan SARA tersebut. Yakni, mereka yang Muslim memilih Jokowi yang juga Muslim, sedangkan mereka yang Kristen, memilih Ahok yang juga Kristen.
Sekarang, dengan berhasil menang dalam Pilkada DKI Jakarta, pasangan “pluralisme” pertama di DKI ini, Jokowi-Ahok harus bisa membuktikan lima tahun ke depan, bahwa seruan-seruan SARA tersebut sama sekali tidak benar. Bahwa pimpinan yang benar-benar dibutuhkan warga Jakarta adalah mereka yang sungguh-sungguh mempunyai integritas yang tinggi, jujur dan bersih dari segala macam praktik KKN, mempunyai kapabilitas sebagai seorang pimpinan sejati, perduli kepada kepentingan rakyat banyak, dan seterusnya. Semua itu bisa datang dari WNI beragama apapun dia, dari etnis apapun dia, dari daerah mana pun dia, dan seterusnya. Bukan hanya bisa dari agama tertentu atau etnis tertentu.
Apabila Jokowi-Ahok kelak berhasil membuktikan prestasi mereka sebagai pasangan Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta untuk mengubah Jakarta menjadi lebih baik, seperti yang mereka janjikan, saya sangat yakin bahwa ke depan isu SARA akan semakin tidak laku di DKI Jakarta, dan juga di NKRI ini.***