Mohon tunggu...
KOMENTAR
Money

Justru Pidato Presiden SBY-lah yang Keliru dan Tidak Patut

26 April 2012   17:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:04 3212 3

Dalam pidatonya pada pembukaan acara Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional 2012, di Jakarta, Kamis (26/04/2012), Presiden SBY memberikan arahan dan instruksi dalam rangka gerakan penghematan penggunaan BBM bersubsidi (Premium dan Solar) secara nasional. Yang sampai hari ini masih tetap menjadi BBM (Bikin Bingung Masyarakat). Bagaimana masyarakat tidak bingung, kalau mulai dari menteri-menterinya sampai presidennya sampai hari ini masih bingung kapan bisa dilaksanakan dan bagaimana cara realisasinya secara efektif.

Dalam pidatonya tersebut Presiden SBY kembali menyalahkan pihak yang mampu dan kaya sebagai penyebab utama semakin membengkaknya anggaran subsidi yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk membayar subsidi BBM tersebut. SBY bilang, anggaran negara yang seharusnya dipakai untuk mensejahterakan rakyat miskin terpaksa berkurang banyak sekali karena dipakai untuk menutup beban anggaran subsidi tersebut. Ini akibat dari orang-orang yang mampu dan kaya, bahkan sangat kaya membeli BBM bersubsidi.

"Menjadi tidak adil, menjadi tidak patut, dan keliru manakala saudara-saudara yang sudah mampu dan kaya, bahkan sangat kaya, membeli BBM bersubsidi yang akhirnya mengurangi anggaran negara untuk membangun rumah sakit, entah sekolah, entah jalan, mengurangi kemiskinan, dan sebagainya," kata Presiden SBY (Kompas.com, 26/04/2012).

Pidato ini menyesatkan.

(Mega) Korupsilah yang Menguras APBN

Taruhlah bahwa memang benar pemerintah harus membayar subsidi untuk BBM yang sangat besar. Tidak seperti yang disangkal oleh beberapa pengamat, semacam Kwik Kwan Gie (BBM Disubsidi adalah Omong Kosong). Tetapi, apakah adil dan patut pemerintah, dalam hal ini Presiden SBY mempersalahkan para pengguna mobil tertentu membeli BBM bersubsidi itu?

Semua orang tahu, bahwa selama ini yang membuat anggaran negara bukan cuma sangat, sangat berat, tetapi compang-camping parah, mulai dari APBN sampai dengan APBD adalah karena begitu banyaknya kasus-kasus (mega) korupsi. Setiap kasus jumlahnya mencapai miliaran rupiah sampai dengan triliun rupiah. Padahal kasus-kasus seperti ini jumlahnya sampai ratusan kasus!

Kasus Nazaruddin cs saja sudah menggerogoti uang negara dari APBN paling sedikit 6 triliun rupiah. Itu baru yang diketahui KPK. Entah berapa banyak lagi yang belum terungkap. Dan itu baru “satu grup penggarong”. Belum dengan kasus-kasus mega korupsi lainnya yang selalu melibatkan pejabat tinggi negara.

Dari semua kasus (mega) korupsi ini tak ada satupun yang terlihat serius dituntaskan. Pelakunya pun dihukum dengan sangat super ringan. Rata-rata hanya 2-4 tahun penjara.

Kasus-kasus mega korupsi ini termasuk di dalamnya adalah persengkolan-persengkolan pejabat tinggi negara dengan korporasi-korporasi asing untuk bersama-sama menguras kekayaan alam Indonesia demi kepentingan pribadinya. Belum lagi salah urus pengelolaan pertambangan, hasil hutan, dan sebagainya, yang terus-menerus membuat negara defisit dalam APBN-nya.

Kasus-kasus (mega) korupsi yang dimaksudkan di atas inilah yangtelah sebenarnya dengan efektif merampas hak-hak rakyat banyak untuk disejahterakan oleh pemerintah. Kalau tidak ada kasus-kasus itu, uangnya bisa lebih dari cukup dipakai mensejahterakan rakyat. Entah itu membangun rumah sakit, entah sekolah, entah jalan, mengurangi kemiskinan, dan sebagainya. Bukan gara-gara para orang mampu/kaya yang membeli BBM bersubsidi. Kalau dibandingkan dengan jumlah uang dari kasus-kasus mega korupsi dan sebagainya itu, subsidi BBM yang terpaksa dilakukan oleh pemerintah itu mungkin tidak ada seperseratusnya.

SBY Menuding Tanpa Punya Standar

Presiden SBY mengatakan bahwa tidak adil, tidak patut, dan keliru orang yang mampu/kaya/sangat kaya membeli BBM bersubsidi. Maka, kita bertanya kepada dia, apakah pemerintah sudah mempunyai definisi standar baku untuk menggolongkan orang yang termasuk mampu/kaya berdasarkan mobil yang dimilikinya itu? Untuk menentukan hal ini saja, pemerintah sampai hari ini masih plin-plan, kok.

Katanya, mau didasarkan pada besaran cc-nya mobil, yakni 1.500 cc. Mobil dengan kapasitas mesin 1.500 cc ke atas tidak boleh lagi membeli BBM bersubsidi. Sedangkan di bawah 1.500 cc, dibolehkan. Karena mobil di bawah 1.500 cc itu dianggap dimiliki oleh orang kurang/tidak mampu. Padahal, dalam kenyataannya tidak ada mobil yang persis 1.500 cc, yang ada adalah 1.490-an cc. Kata Menteri ESDM Jero Wacik, mobil yang 1.490-an cc digolongkan sebagai 1.500 cc. Aneh. Kenapa tidak sekalian saja dibuat ketentuan yang pasti dengan menentukan batasan minimal itu 1.490 cc saja?

Apakah benar mobil yang ber-cc di bawah 1.500 cc adalah mobil-mobil murah, mobilnya orang kurang/tidak mampu? Silakan periksa, misalnya, Daihatsu Xenia yang 1.298 cc harga di Jakarta mencapai Rp. 180.300.000. Ford Fiesta 1.388 cc mencapai Rp. 224.250.000. Suzuki Ertiga 1.398 cc harganya mencapai Rp. 165.000.000. Avanza 1.298 cc mencapai Rp. 170.700.000, dan seterusnya. Belum lagi kalau dimasukkan harga Toyota Yaris, Honda Jazz, dan sejenisnya yang harga mencapai Rp. 227.950.000 untuk Yaris, dan Rp. 225.000.000 untuk jazz. Apakah ini harga mobil-mobil untuk orang kurang/tidak mampu?

Sebaliknya ada mobil-mobil yang memang tergolong mewah dengan cc besar, di atas 2.500 cc, bahkan 3.000 cc, tetapi karena memang berbahan bakar solar, salahkan pemiliknya membeli solar yang termasuk BBM bersubsidi itu? Misalnya, Kijang Innova Diesel yang harganya di atas Rp 300 juta, Fortuner Diesel yang harganya di atas Rp 400 juta, dan Land Cruiser Diesel Rp 1,4 miliar lebih.

Justru Pidato SBY-lah yang Tidak Patut

Kembali lagi ke pidato SBY itu. Kita bertanya lagi kepadanya, apakah memang betul pengguna BBM bersubsidi terbesar atau mayoritas adalah mobil-mobil di atas 1.500 cc, yang oleh pemerintah dibilang mobil orang kaya itu?

Apabila kita melihat data penjualan mobil periode 2005 sampai dengan Maret 2012 di bawah ini, maka ternyata justru mobil di bawah 1.500 cc –lah yang jauh lebih banyak daripada mobil di atas 1.500 cc. Dengan perkataan lain mobil di atas 1.500 cc sekalipun misalnya, semuanya 100 persen membeli BBM bersubsidi masih jauh kalah banyak daripada mobil di bawah 1.500 cc.

Menurut Litbang “Kompas” yang mengrilis data tersebut berdasarkan data Gaikindo 2012, data ini belum termasuk bus, pikap/truk, dan kabin ganda. Maka, apabila golongan kendaaran ini dimasukkan juga, dan memang harus dimasukkan, maka akan semakin besar kendaraan yang memang diperbolehkan membeli BBM bersubsidi.

Jumlah itu akan menjadi semakin membesar lagi ketika kita memasukkan lagi jumlah kendaraan roda dua/sepeda motor yang jumlahnya jauh lebih besar daripada semua kendaaran roda empat atau lebih dijadikan satu. Berdasarkan data Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI), penjualan seluruh merek dan jenis speda motor untuk periode Januari – Maret 2012 ini saja sudah mencapai 1.931.677 unit (Tribunnews.com, 18/04/2012).

Menurut data dari AISI (http://www.aisi.or.id/statistic/), jumlah penjualan sepeda motor seluruh merek dari tahun 2005 - 2011 adalah sebagai berikut:

- Tahun 2005 : 5.074.185 unit,

- Tahun 2006: 4.428.274 unit,

- Tahun 2007: 4.688.263 unit,

- Tahun 2008: 6.216.831 unit,

- Tahun 2009: 6.215.831 unit,

- Tahun 2010: 7.398.644 unit,

- Tahun 2011: 8.043.535 unit.

Kesimpulannya adalah selama ini jumlah pemakai BBM bersubsidi mayoritas adalah kendaraan bermotor yang memang dan seharusnya diizinkan membeli BBM bersubsidi. Sedangkan mobil di atas 1.500 cc adalah pembeli minoritas BBM bersubsidi. Ini masih dikurangi lagi dengan mobil-mobil ber-cc besar dan mewah yang membeli BBM non-subsidi. Tidak semua mobil golongan ini membeli BBM bersubsidi.

Kesimpulan lainnya adalah ternyata pidato Presiden SBY itu tidak akurat, kalau tidak mau dikatakan bohong. Bohong bahwa orang-orang mampu/kaya/sangat kayalah yang bertanggung jawab atas semakin membengkaknya anggaran negara untuk BBM bersubsidi.

Sekalipun misalnya itu benar, apakah para pemilik mobil itu patut dipersalahkan ketika mereka membeli BBM bersubsidi? Apakah ada undang-undang yang melarang sebelumnya? Bukankah BBM itu memang dijual untuk siapa saja? Lalu kenapa tiba-tiba ketika masalah BBM bersubsidi ini menjadi semakin ruwet, pemerintah, Presiden SBY dengan begitu entengnya menjadikan mereka sebagai kambing hitamnya? Padahal yang bikin masalah ini semakin ruwet justru pemerintah dan DPR, yang terus-menerus membuat masalah BBM bersubsidi ini sebagai komoditi politiknya. Akibatnya, menjadi seperti sekarang. Rakyatlah yang menanggung akibatnya. Dunia bisnis pun menjadi tidak pasti. Harga sembako pun telanjur naik, tak mau turun lagi. Apakah itu semuanya gara-gara orang mampu membeli BBM bersubsidi? Sungguh, janganlah percaya bualan ini.

Jadi, sebenarnya justru pidato SBY itulah yang tidak adil, keliru, dan tidak patut, karena berisi informasi tidak benar alias berbohong. Semakin tidak patut ketika ketidakbecusannya mennyelesaikan masalah BBM bersubsdii ini justru tanggung jawabnya dilemparkan ke para pembeli BBM bersubsidi tertentu itu. ***

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun