Partai Demokrat semakin sulit dipercaya. Bagaimana kita bisa percaya kalau di antara para petinggi saja saling memberi pernyataan yang saling bertentangan. Tidak hanya itu, antara pernyataan sebelum dan sesudahnya tentang kasus yang sama bisa pula berubah-ubah dan bertentangan.
Tempo hari waktu Nazaruddin melontarkan tuduhan adanya politik uang di pemilihanketua umum pada Kongres PD di Bandung, pada 2010 lalu, semua Para PD kompak menyangkalnya.
Termasuk Wakil Ketua Umum Max Sopacua, yang pernah mengatakan bahwa tudingan ada politik uang di Kongres PD dalam pemilihan ketua umum, Mei 2010, yang dilontarkan Nazaruddin itu adalah tidak benar. Tidak ada yang namanya politik uang di PD. Itu hanya kicauan dan fitnah yang dilontarkan Nazaruddin dari pelariannya di luar negeri. Kalau betul dia punya bukti, silakan pulang, dan buktikan. Begitu yang antara lain dikatakan Max ketika Nazaruddin masih berada di persembunyiannya di luar negeri dan melontarkan tudingannya itu (Vivanews.com, 11/07/2011)
Ketika mulai ada beberapa kader Demokrat daerah yang mengaku memang ada politik uang di Kongres PD tersebut, dan mereka ada menerima sejumlah uang dari kubu Anas, Max Sopacua masih dengan tegas mengatakan bahwa hal itu masih belum bisa dipastikan kebenarannya. Oleh karena itu dia meminta agar Komisi Pengawas segera menyelidikinya, karena politik uang itu tidak dibenarkan.
“Kalau benar terjadi politik uang itu, berarti melanggar apa yang pernah disampaikan Pak SBY,” katanya, seperti dikutip Tempo Interaktif, 10/02/2012.
“Yang jelas seperti yang (pernah) disampaikan Ketua Dewan Pembina, tidak boleh ada politik uang,” ujarnya lagi.
Pada 19 Januari 2012, dalam pidatonya di JI-Expo, Kemayoran, Jakarta, SBY memang pernah mengatakan soal praktek politik uang yang sangat tidak bisa ditolerir. “Poilitik uang itu merusak sendi-sendiri demokrasi ... Politik uang itu racun,” tegas SBY ketika itu (Tempo Interaktif, 19/01/2012).
Namun ketika beberapa hari lalu, mantan Ketua DPC Partai Demokrat Minahasa Tenggara, Sulawesi Utara, Diana Maringka secara terang-terangan mengaku ke publik bahwa ketika Kongres PD, Mei 2010 di Bandung, menjelang pemilihan ketua umumnya itu memang benar ada politik uang, Max Sopocua memberi pernyataannya yang sangat kontroversial dan bertentangan dengan apa yang pernah keluar dari mulutnya itu.
Seperti yang telah diketahui Diana Maringka mengakui di media massa bahwa ketika terjadi proses pemilihan ketua umum PD di Bandung itu, kubu Anas Urbaningrum telah bagi-bagi sejumlah besar uang dan BlackBerry kepada para pemilik hak suara. Rata-rata masing-masing menerima 10.000 Dollar AS, atau setara dengan sekitar Rp 100 juta plus BlackBerry.
Wakil Ketua Umum Partai Demokrat ini berbalik 180 derajat, mengatakan bahwa pemberian uang atau barang kepada para pemilik hak suara agar memilih si pemberi ketika proses pemilihan ketua umum (politik uang) adalah hal yang wajar saja. Asalkan uang yang digunakan tidak berasal dari hasil tindak pidana.
Anehnya, atau lebih tepat bodohnya, dia kemudian menyambung kata-katanya, bahwa seandainya uang tersebut ternyata berasal dari dana APBN (alias uang negara), maka itu bukan urusan partai (Kompas.com, 21/02/2012).
Kalau dalam rangka pemenangannya seorang calon ketua umum memakai cara politik uang, apakah itu masih bisa dibilang pemilihan berjalan secara demokratis seperti yang menjadi prinsip partai ini? Bukankah berarti siapa yang punya uang paling banyak, maka dialah yang menang? Bagaimana dengan konsistensinya ketika mengatakan bahwa politik uang tidak bisa dibenarkan, seperti pernah dikatakan Ketua Dewan Pembinanya sendiri; politik uang adalah racun perusak sendi-sendi demokrasi?
Itu namanya sogok, alias suap, Bung! Dari mana pun datangnya uang itu, apakah Demokrat memang menghalalkan sogok atau suap?
Bagaimana bisa dia bilang bahwa kalau ternyata uangnya dari dana APBN, maka itu bukan urusan partai. Meskipun dia mengaku bahwa itu bertentangan dengan hukum. Logikanya di mana? Bagaimana bisa bukan urusan partai, kalau jelas-jelas cara untuk menjadi ketua umum itu melanggar hukum? Sangat mutlak itu langsung menjadi urusan partai. Partai harus segera meminta yang bersangkutan diusut KPK, dengan konsekuensi minimal segera pula dinonaktifkan sebagi ketua umum.
Ketika ditanya, apakah wajar meskipun pemberian uang itu mencapai Rp 100 juta, salah satu petinggi Demokrat ini menjawab, “Ya, wajar. Terserah dari yang punya uang. Dia punya uang nggak sebesar itu? ... Kalau pakai dana pribadi, itu tak jadi soal. Siapa yang (bisa) melarangnya. Orang pakai uangnya sendiri.”
Apakah si Max ini juga berpikir secara waras? Dia tidak berpikir siapakah itu Anas Urbaningrum, dan apakah Anas punya duit pribadi sebesar itu (jutaan dollar/miliaran rupiah tunai) untuk dibagi-bagikan kepada para pemilik suara (untuk memilihnya sebagai ketua umum?).
Max juga membantah pernyataan dari kubu Anas yang mengatakan bahwa pemberian dana kepada DPC-DPC itu untuk transportasi dan akomodasi. Karena partai menanggung semua biaya tersebut. Jadi, sama juga dengan dia bilang, kubu Anas itu berbohong. Nah, kok, dia bisa percaya dan membela pihak yang tidak jujur seperti ini?
Efek pengakuan Diana Maringka kembali memberi bukti kuat bahwa memang di antara petinggi Demokrat sendiri telah timbul perpecahan-perpecahan. Benarlah apa yang disinyalemen Hayono Isman, salah satu anggota Dewan Pembina PD, bahwa ada sedikitnya 5 faksi di Demokrat yang berpotensi membawa perpecahan di dalam partai.
Sekaligus juga membuktikan kebohongan-kebohongan yang pernah keluar dari mulut Anas Urbaningrum, Andi Mallarangeng, dan lain-lain, yang menyangkal ada perpecahan tersebut, dengan mengatakan bahwa partainya tetap bersatu dan solid.
Ketua Komisi Pengawas Partai Demokrat TB Silalahi pada hari yang sama dengan pernyataan Max Sopocua, langsung membantah pernyataan Max bahwa politik uang di Demokrat itu wajar.
“Siapa yang bilang itu wajar. Enggak ada itu. Tidak benar itu. Kami punya standar sendiri mengenai kewajaran. Soal 10.000 dollar AS itu tidak wajar. Siapa yang bilang itu wajar?” Seru TB Silalahi dengan dana tinggi (Kompas.com, 21/02/2012).
“Siapa yang bilang itu wajar?” Tanya Silalahi. Tentu saja dia tahu jawabannya. Pertanyaan kita adalah, apakah dia (Silalahi sebagai Ketua Komisi Pengawas) tidak sekalian saja memanggil dan memeriksa si Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, si Max Sopacua ini, yang telah memberi keterangan yang tidak wajar tentang hal yang tidak wajar itu?
Wah, jangan-jangan nanti SBY berteriak lagi, kadernya yang satu ini (Max Sopacua) ternyata sangat tidak cerdas juga! Jadi, para petinggi Demokrat ini benar-benar terdiri dari banyak orang yang sangat tidak cerdas
Komisi Pengawas Demokrat segera memanggil dan memeriksa Diana, karena sesungguhnya PD sedang dilanda ketakutan, bahwa efek Diana ini akan menjalar ke daerah-daerah lain. Ketika semakin banyak yang mengaku tentang adanya politik uang itu, tentu akan semakin merusak PD yang memang sudah rusak ini. Hal inilah yang hendak dicegah, berupa shock-therapy untuk daerah-daerah lain.
Dalam kaitannya dengan pemeriksaan terhadap kader partainya dari Minahasa itu, T.B. Silalahi juga menyalahkan Diana, karena berbicara kepada media (publik). Mau berlagak seolah-olah menjadi selebritis. Padahal masalah itu, menurutnya, adalah masalah internal partai. Apakah benar, masalah politik uang itu masalah internal partai? Bagaimana kalau uangnya itu berasal dari hasil korupsi uang negara?
Tetapi, si T.B. Silalahi ini juga seolah-olah lupa bahwa dia sendiri belum lama ini juga melakukan apa yang dia salahkan kepada Diana Maringka itu. Yakni, berbicara kepada media tentang masalah internal partainya. Ketika dia mengumumkan kepada media, awal Februari lalu bahwa dia sebagai Ketua Dewan Pengawas telah menegur dan memanggil untuk diperiksa, salah satu anggota Dewan Pembina PD, Ajeng Ratna Suminar, karena dianggap telah membocorkan pembicaraan hasil rapat Dewan Pembina PD di Kemayoran, beberapa waktu lalu. Kata Silalahi pula bahwa Ajeng Ratna Suminar telah minta maaf tentang hal itu.
Ajeng Ratna Suminar memang pernah mengatakan bahwa di dalam rapat anggota Dewan Pembina PD, sempat direkomendasikan untuk menonaktifkan Anas Urbaningrum. Tapi karena Anas juga punya pendukung yang kuat, niat itu diurung.
Merespon keterangan Silalahi tentang dirinya ke media itu, Ajeng Ratna menyangkal dan marah. Dia menyangkal telah meminta maaf kepada Ketua Komisi Pengawas partainya itu, dan meminta sang Ketua untuk berpikir jernih sebelum memanggilnya. Karena dia sama sekali tidak merasa melakukan kesalahan apapun (Tempo Interaktif, 11/02/2012).
Benar-benar rumit, ruwet, semrawut, kacau-balau, berantakan, nih, parpol!
Yang jelas, Diana Maringka telah membawa badai baru di Demokrat, dan politik uang telah menambah koleksi petinggi partai politik yang sangat tidak cerdas dari Partai Demokrat. ***