Di dalam suatu pernikahan biasanya salah satu ucapan yang sering diberikan kepada sepasang mempelai adalah: “Selamat berbahagia sampai kakek-nenek!” Tepatkah ucapan tersebut?
Menurut saya, kurang tepat. Dalam membangun sebuah rumahtangga baru tentu semua orang ingin untuk mencapai kebahagiaan maksimal dan selamanya. Mulai dari hari pertama pernikahan, memperoleh anak-anak, cucu-cucu, dan kalau bisa sampai mendapat buyut. Nah, kalau ingin berbahagia selamanya kenapa harus “dibatasi” sampai pada kakek-nenek saja?
Cukup banyak sepasang suami-istri ketika mencapai usia lanjut, sudah punya cucu-cucu, --sudah menjadi kakek-nenek malah baru timbul perselihan di antara mereka. Sehingga sisa hidup mereka yang relatif tidak lama lagi itu diisi dengan pertengkaran, dan rasa antipati satu dengan yang lain. Sungguh tersisa bathin kalau di kala raga sudah lemah malah ditambah dengan tekanan psikis seperti itu.
Ada kenalan saya yang punya orangtua yang justru ketika sudah berusia lanjut malah saling ngambek. Meskipun hidup serumah saling tidak bertegur-sapa selama bertahun-tahun. Sampai salah satunya (si suami) meninggal dunia lebih dulu dalam usia 80-an tahun.
Kalau yang namanya bahagia sampai kakek-nenek saja, ‘kan bisa kalau berusia 60-an tahun sudah tercapai “target” tersebut; Itu sudah namanya “bahagia sampai kakek-nenek”.
Tapi usia lanjut itu ternyata masih cukup panjang. Nah, bagaimana kalau ketika usia misalnya, mencapai 70-an tahun, baru timbul perselisihan itu? Maka, bisa jadi pada usia sudah senja (kakek-nenek), sudah sampai punya cucu-cucu itu barulah timbul keretakan dan perpecahan di antara kedua pasangan hidup yang sudah menjalin kehidupan bersama sebagai suami-istri selama puluhan tahun itu.
Ini bukan sesuatu yang berandai-andai saja, dan tidak pernah terjadi. Tetapi sudah merupakan fakta-fakta di antara berbagai kisah kehidupan manusia di dunia ini. Contoh kongkritnya, seperti yang saya sebutkan di atas tentang orangtua seorang kenalan saya, yang sejak sekitar usia 60-an sampai si suami meninggal dunia lebih dulu dalam usia 80-an tahun, keduanya walaupun hidup di bawah satu atap tidak pernah bertegur sapa. Konon karena sang nenek sakit hati dengan perilaku si kakek yang di kala masih muda suka main perempuan. Tetapi dia tak berdaya melawannya.
Ketika suaminya sudah mulai menua dan mulai lemah tubuhnya, istrinya (si nenek) pun melakukan pembalasan, dengan tidak mau merawat sang kakek. Bahkan tidak mau berbicara dengannya. Keduanya pun hidup dalam kesendirian masing-masing selama lebih dari satu dasawarsa kemudian di masa usia senja itu.
Kisah sepasang kakek-nenek dari Roma, Italia baru-baru ini juga semakin membenarkan argumen saya tersebut di atas, yakni kehidupan berbahagia yang kita harapkan itu tidaklah cukup hanya sebatas kebahagiaan kakek-nenek.
Anonio C (99 tahun) dan Rosa C (96 tahun) telah menjalin kehidupan rumah tangganya selama puluhan tahun dengan harmonis dan bahagia. Mereka telah dikarunia 5 orang anak, 12 cucu, dan seorang cicit. Seharusnya di usia senja itu mereka sudah beristirahat dari segala kehidupan duniawi yang penuh masalah. Tetapi justru pada usia yang sudah sangat senja itu kehidupan keduanya berantakan dan berakhir dengan perceraian di Pengadilan Roma, pada Desember 2011.
Penyebabnya adalah karena sang nenek, Rosa, baru ketahuan ternyata sejak tahun 1940 melakukan perselingkuhan dengan ditemukan surat-surat yang membuktikan pengkhianatan sang istri tersebut. Nenek Rosa mengakui semua kesalahannya itu, dan meminta maaf kepada sang kakek. Tetapi, bagi sang kakek yang merasa diam-diam ternyata telah dikhianatai selama puluhan tahun itu, menyatakan tiada maaf bagi si nenek. Maka, pengadilan pun mengetuk palu tanda resmi perceraian tersebut.
Jadi, bagaimana seharusnya ucapan dan harapan tersebut yang lebih tepat bagi sepasang pengantin baru ketika baru memulai bahtera rumah tangga baru mereka? Seharusnya, bukan hanya “semoga berbahagia sampai kakek-nenek”, tetapi “semoga berbahagia sampai Tuhan memanggil”. Jadi, meskipun sudah kakek-nenek, kehidupan mereka terus berbahagia sampai ajal datang menjemput masing-masing.
Kenapa ucapan dan harapan yang sebenarnya lebih tepat ini nyaris tidak pernah diucapkan? Mungkin karena kita merasa tabu dengan kalimat-kalimat yang mengandung makna kematian. Tetapi, kenapa harus merasa tabu? Bukankah kematian bagi setiap orang itu pasti terjadi? Tidak mungkin satu pun makhluk hidup di dunia ini bisa hidup selamanya. Oleh karena itu menyinggung soal “kematian” itu sama sekali bukan masalah.
“Semoga berbahagia sampai Tuhan datang memanggil” Apabila Tuhan mengabulkan pengharapan ini, maka sepasang suami-istri, termasuk kita di sini, akan terus berbahagia, dan tidak berhenti sampai pada kakek-nenek berusia 60-tahun, tetapi terus berbahagia sebagai kakek-nenek berusia 70-an tahun, kakek-nenek 80-an tahun, dan seterusnya sampai Tuhan datang memanggil masing-masing kita untuk selamanya. Amin.***