Peran utama media antara lain sebagai alat informasi yang bermanfaat bagi masyarakat luas, dan sebagai alat kontrol terhadap pemerintah dan institusinya.
Di Surabaya, dua peran utama media tersebut paling dirasakan masyarakat Surabaya ada dua. Yakni, Radio Suara Surabaya, dan koran Jawa Pos.
Radio Suara Surabaya (SS) adalah radio yang mengutamakan berita interaktif, komunikatif antara penyiar dan pendengarnya. Sedemikian efektifnya sampai dengan seolah-olah dengan sering mendengar SS saja, kita sudah bisa mengetahui situasi dan kondisi sebagian besar kota Surabaya di setiap waktu. Apa yang terjadi di suatu kawasan di Surabaya dengan segera diketahui oleh seluruh pendengar SS, karena seringkali langsung dilaporkan oleh warga yang menyaksikan kejadian itu dengan sukarela.
Dengan demikian SS menjadi semacam mata dan telinganya masyarakat Surabaya.
Ketika warga ada masalah apapun, mereka juga biasanya mengadu melalui SS. Biasanya dengan pengaduan melalui SS ini, pihak yang diadu segera memberi respon yang positif seketika itu juga.
Khusus untuk para pencuri mobil di Surabaya, kalau mereka mengetahui hubungan masyarakat Surabaya dengan SS, seharusnya mereka berpikir berkali-kali sebelum melaksanakan niatnya itu. Karena besar kemungkinan ketika dalam menjalankan aksinya itu mereka akan ditangkap polisi, di mana pun mobil tersebut dibawa lari.
Kenapa bisa? Karena begitu seseorang mengetahui mobilnya telah hilang dicuri, segera dia akan telepon ke SS. Memberitahukan tentang pencurian tersebut, di mana dan jam berapa hilangnya, berikut ciri-ciri mobilnya itu. Percakapan telepon antara pelapor dengan penyiar SS disiarkan langsung detik itu juga.
SS adalah radio terbanyak pendengarnya di Surabaya dan sekitarnya. Begitu ada pendengar yang mendengar laporan pencurian mobil tersebut dan kebetulan melihat mobil dengan ciri-ciri yang sama itu (melintas) di dekatnya, dia segera telepon ke SS memberitahu bahwa dia melihat mobil dimaksud di daerah bundaran tol Waru, misalnya. Beberapa waktu kemudian, pendengar lain telepon lagi melihat mobil itu sudah ada di jalan tol KM sekian, menuju Gempol, dan seterusnya. Informasi berantai itu disampaikan ke SS, dan semua laporan via telepon itu disiarkan langsung di SS.
Polisi Surabaya yang juga selalu mendengar SS ini segera melakukan saling koordinasi dengan polisi di wilayah mana mobil tersebut terlihat, sesuai dengan laporan parapendengar SS itu. Sehingga dengan mudah polisi bisa mengejar mobil curian itu dan membekuk pelakunya.
Kejadian seperti ini sudah beberapakli terjadi. Umumnya berakhir dengan tertangkapnya pelaku pencurian berikut mobilnya.
Dulu frekwensi pencurian mobil di Surabaya cukup tinggi. Sekarang, sudah jarang sekali. Kemungkinan besar karena faktor inilah yang membuat orang yang berniat mencuri mobil di wilayah Surabaya dan sekitarnya, mengurungkanniatnya.
*
Demikian juga dengan koran Jawa Pos. Apabila ada satu kasus kejahatan, atau peristiwa lain yang menarik perhatian publik, Jawa Pos akan terus menyorotnyadengan pemberitaannya yang terus-menerus mengikuti perkembangan kasus tersebut sampai tuntas. Peristiwa/kasus itu tidak harus sebuah kasus besar. Pokoknya yang mengandung suatu ketidakberesan, penyimpangan, dan sejenisnya, yang mengarah kepada pengaburan, atau rekayasa pokok persoalan sudah cukup membuat Jawa Pos mengejarnya sampai tuntas.
Dengan cara begini membuat seolah-olah dalam setiap kasus tersebut para aparat, pejabat pemerintah kota, atau siapa saja yang tersangkut perkara itu, merasa diawasi terus oleh masyarakat Surabaya dan sekitarnya. Dengan demikian mereka tidak berkutik untuk kemudian terdorong untuk bekerja sebagaimana mestinya.
Polisi yang menangani suatu kasus yang disorot Jawa Pos, akan terdorong untuk bekerja secara maksimal. Sehingga rasa keadilan masyarakat bisa terpenuhi.
Sebagai contoh kasus, saya ambil saja kasus yang saat ini masih jadi perhatian masyarakat Surabaya. Yakni kasus tertembak sampai tewasnya Riyaldi Solikin, 30, karena ditembak polisi (yang diduga sedang mabuk).
Kejadiannya berawal pada 28 Oktober lalu, dini hari, korban menabrak sepeda motor yang dikendarai oleh Briptu Widianto sampai terjatuh. Diduga karena ketakutan, yang bersangkutan tidak berhenti, tetapi terus mempercepat laju mobilnya.
Dia dikejar oleh 5 orang polisi lainnya, teman Briptu Widianto (mereka berenam menurut Jawa Pos baru keluar dari sebuah kafe’ dalam kondisi mabuk). Polisi-polisi itu sempat menembakkan tembakan peringatan ke udara, tetapi Solikin tetap tidak mau berhenti. Sampai ban mobilnya tertembak.
Mobil oleng, menabrak pagar rumah penduduk. Masih berjalan sekitar 5 meter lagi, sebelum berhenti, dihadang salah seorang dari polisi itu, Briptu Eko dari depan. Briptu Eko menembak kaca depanmobil sampai pecah. Kemudian dia menghampiri Solikin dari samping, dan menembak ke dalam mobil. Korban tertembak. Diseretkeluar dari dalam mobil, dan diletakkan di jalanan. Darah segar mengalir membasahi jalanan. Tidak segera dibawa ke rumah sakit. Sekitar 3-4 jam kemudian baru korban dibawa ke rumahsakit. Nyanwanya tak tertolong lagi.
Rentetan tertembaknya Solikin itu adalah menurut beberapa kesaksian beberapa saksi mata yang melihat langsung kejadiantersebut.
Tetapi menurut keterangan pers dari pihak Polda Jawa Timur bahwa anggotanya terpaksa melakukan penembakan yang menyebabkan Solikin tewas itu adalah karena Solikin begitu keluar dari mobil langsung menyerang Briptu Eko dengan celurit. Sehingga Briptu Eko terpaksa menembaknya. Apa yang dilakukan Briptu Eko tu adalah sesuai dengan prosedur. Jadi,tidak ada yang salah. Demikian menurut Polda Jawa Timur seperti yang disampaikan AKBP Elijas Hendrajana.
Sedangkan tentang lima angggotanya itu minum-minuman keras sampai mabuk di sebuah kafe’ itu dibantah polisi (polda Jatim). Menurut polisi, setelah dilakukan tes urine, tidak terdapat bukti lima polisi itu dalam keadaan mabuk pada waktu itu.
Nah, Kompas hanya memberitakan kejadian itu sampai di sini saja.
Beda dengan Jawa Pos yang sepertinya mewakili rasa penasaran warga Surabaya. Mereka merasa janggal dan ada sesuatu yang disembunyikan dan dilindungi Polda Jatim. KarenaSolikin itu sehari-hari hanyalah seorang penjual tempe, dan takmir di sebuah masjid di Sidoarjo. Sama sekali tidak pernah membawa clurit. Hal itu didukung kesaksian banyak warga yang melihat kejadian penembakan itu secara langsung, dan dari jarak hanya beberapa meter.
Mereka yang diwawancarai Jawa Pos mengatakan, yang mereka lihat adalah ketika mobil itu berhenti, ada seorang polisi yang menghampiri sopirnya dari samping kanan, dan langsung menembak ke dalam mobil. Tidak ada teriakan peringatan apapun, dan juga tidak kelihatan ada perlawanan. Apalagi sampai menyerang polisi dengan clurit.
Jawa Pos pun terus mengejar, dengan menulis beberapa kejanggalan kronologis kejadian menurut versi polisi yang disampaikan oleh AKBP Elijas Hendrajana itu.
Selama beberapa hari berturut-turut Jawa Pos terus menempatkan perkembangan berita tersebut di halaman depan “Metropolis”. Seolah-olah menjadi mata warga Surabaya yang terus menyoroti kinerja polisi dalamkasus itu.
Jawa Pos. Edisi 31 Oktober 2011 menurunkan berita bahwa akhirnya polisi mengaku salah dengan menyatakan bahwa Briptu Eko telah lalai dalam menjalankan tugasnya, yang dapat dikenakan Pasal 359 KUHP, karena lalai menyebabkan orang lain meninggal dunia.
Sedangkan 4 anggota polisi lainnya yang turut mengejar Solikin hanya dijadikan saksi.Tidak dikenakan sanksi.
Jawa Pos “masih belum mau terima”. Karena dari kesaksian banyak warga di KTP, kasus penembakan itu lebih tepat dikenakan pasal yang lebih berat, yakni kasus pembunuhan (Pasal 338 KUHP).
Koran ini memuat pendapar beberapa pakar hukum, yang menjelaskan bahwa pasal hukum yang lebih tepat dituduhkan kepada Briptu Eko itu adalah Pasal 338 tentang pembunuhan. Bukan Pasal 359 KUPH tentang kelalaian menyebabkan orang lain meninggal dunia.
Sedangkan 4 orang kolega lainnya, tidak bisa dinyatakan tidak bersalah begitu saja. Sehausnya mereka juga dikenakan sanksi karena dinggap turut serta melakukan tindakan kejahatan itu.
Jawa Pos, 1 November 2011, menurunkan fakta yang semakin memperkuat dugaan adanya rekayasa/manipulasi kejadian yang sebenarnya, dan keputusan Pola Jatim untuk segera membentuk Tim Pencari Fakta.
Jawa Pos, 2 November 2011: “Polisi Akui Rekayasa. TPF menyatakan Solikin tidak membawa clurit.
Dan, akhirnya Jawa Pos, 5 November 2011 : Akhirnya polisi menggunakan Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan kepada Briptu Eko. Sedangkan 4 temannya yang lain mulai diusut secara pidana, dan dilarang meninggalkan kompleks Polda Jatim.
Polisi juga meralat pernyataan sebelumnya tentang test urine. Dengan menyatakan bahwa hasil test urine tidak relevan, dan tidak bisa dipakai, karena sudah melewati waktu yang lama untuk bisa memastikan kadar alkohol di dalam tubuh seseorang.
Akibat dari kejadian itu Kasatreskrim Polres Sidoarjo AKP Ernesto Saiser dicopot dari jabatannya, dan dimutasi menjadi pama di Pelayanan Markas Polda Jatim.
Iptu Suwiji Kanit Idik I Satreskrim Polres Sidoarjo beserta 6 anak buahnya yang terlibat pengejaran terhadap Solikin juga mengalami nasib yang sama.
Di bagian Pelayanan Masyarakat Polda Jatim itu tugas mereka nantinya antara lain seperti merawat tanaman, menyiram rumput, mengatur meja-kursi untuk acara-acara tertentu, tugas-tugas lainnya menyangkut protoler, dan sejenisnya.
AKBP Elijas Hendra Kasubid Penyedia Informasi dan Dokumentasi Bidang Humas Polda Jatim membenarkan tentang adanya penggunaan Pasal Pembunuhan terhadap Briptu Eko tersebut.
Padahal orang yang sama pula yang paling awal menyampaikan kepada media bahwa kejadian penembakan itu karena polisi diserang korban dengan clurit.
Menurut saya, seharusnya dia juga dikenakan sanksi indispliner, karena gegabah dalam menyampaikan informasi berdasarkan pengakuan Briptu Eko saja. Seolah-olah itulah faktanya.
Lebih memprihatinkan lagi bahwa tidak ada permintaan maaf pihakkepolisian yang semula menyatakan informasi yang sebaliknya.
Lepas dari substansi kejadian tragis itu, demikianlah contoh yang saya maksud dengan gaya Jawa Pos yang terus mengejar suatu berita tentag suatu kejadianyang berpotensi terjadinya penyimpangan seperti itu. Jawa Pos seolah-olah menjadi mata warga Surabaya yang terus mengawasi gerak-gerik polisi. “Memaksa” Polda Jatim membentuk TPF untuk menemukan fakta yang sebenarnya, dengan hasil seperti tersebut di atas.
Seandainya saja Jawa Pos tidak terus mengejar berita itu. Kemungkinan kisah tentang Solikin yang melawan dengan clurit itulah yang dianggap benar. Dan para polisi itu tidak ada satupun yang dikenakan sanksi, apalagi sampai ancaman pidana.***