Menarik, membaca berita di Kompas.com dan Metrotvnews.com mengenai pernyataan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mengenai Perjanjian Kerja Sama (PKS) yang diperbaharui antara Pemprov DKI dengan PT Jakarta Monorail (PT JM) mengenai kelanjutan pembangunan monorel di Jakarta.
Untuk melanjutkan pembangunan proyek monorel Jakarta yang sempat mangkrak bertahun-tahun semasa DKI Jakarta dipimpin oleh Gubernur Fauzi Bowo, Pemprov DKI yang sekarang bersama dengan PT JM sebagai pemenang tender kelanjutan pengerjaan proyek monorel itu sepakat mengadakan PKS yang baru.
PKS tersebut telah diserahkan oleh Jokowi kepada CEO Ortus Group pemilik PT JM, Edward Soeriadjadja, di Balai Kota Jakarta, Rabu, 19 Februari 2014. Ada dua hal penting yang baru diatur di dalam PKS itu. Yakni, pertama, pemberian tenggat waktu Pemprov DKI kepada PT JM untuk menyelesaikan satu koridor, green line (jalur hijau) selama tiga tahun. Jika tidak selesai dalam kurun waktu itu, maka seluruh bangunan yang sudah dibangun termasuk tiang pancangnya akan menjadi milik Pemprov DKI Jakarta.
Namun, Pemprov DKI tidak bertanggung jawab atas hutang tiang pancang yang mangkrak oleh TT JM kepada PT Adhi Karya. PT JM tetap yang harus melunasi hutang sebesar Rp. 193.622.000.000 itu kepada PT Adhi Karya, yang sampai sekarang belum dilunasi.
Klausul baru yang kedua adalah mengenai uang jaminan yang harus disetor di bank oleh PT JM sebesar 5 persen dari nilai total proyek. Apabila PT JM gagal menyelesaikan proyek monorel ini tepat waktu, maka uang jaminan tersebut hangus, menjadi milik Pemprov DKI Jakarta.
Pihak PT JM puyeng setelah membaca dua klasul baru ini. Terutama untuk klausul kedua, tentang besaran uang jaminan itu. Maka, mereka pun menyatakan keberatannya.
Ahok yang mendampingi Jokowi di acara penyerahanan PKS kepada PT JM itu, bereaksi tegas. “Kalau enggak selesai, semua yang terbangun itu jadi milik Pemprov DKI. Kalau mereka (PT JM) enggak setuju dengan isi PKS yang baru ini, angkat kaki saja, emangnya gue pikirin," katanya, di Balaikota Jakarta, Rabu (19/2/2014)
Sedangkan mengenai uang jaminan 5 persen itu, Ahok menjelaskan jaminan bank tersebut untuk membuktikan apakah PT JM memiliki uang untuk membangun monorel atau tidak. Dengan adanya jaminan keuangan, DKI dengan mudah mengontrol kinerja PT JM.
"Kalau enggak ada duit, berarti kamu (PT JM) bohong, dong. Kalau dia gagal, duit jaminannya punya siapa? Punya Pemprov dong, pokoknya kita untung terus," kata Ahok. (Kompas.com).
Edward membantah pembangunan monorail mangkrak lantaran terkendala dana. Katanya, isi perjanjian kontrak baru dalam surat PKS- lah yang menjadi penyebabnya, terlalu memberatkan bagi PT JM.
"Siapa yang bilang mangkrak karena tidak ada uang? Intinya adalah standar indikasi PKS tersebut tidak sesuai dengan kami. Telah kami sampaikan kepada Gubernur DKI berapa nilai proyeknya tapi memang tidak sesuai," ujar Edward Soeriadjadja, di Balai Kota Jakarta, Rabu (19/2) (Metrotvnews.com).
*
Sikap Tegas yang Tepat
Keputusan Pemprov DKI Jakarta memasukkan dua klasul baru tersebut di atas itu sangat tepat.
Kemungkinan besar, dua klausul baru itu dimasukkan berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, yaitu pihak kontraktor (swasta) yang terkesan “tanpa beban” jika suatu proyek seperti ini di tengah jalan oleh suatu sebab menjadi tidak bisa diselesaikan tepat waktu. Yang lazim terjadi adalah diadakan perundingan ulang dengan pihak Pemprov untuk melakukan penjadwalan ulang, dengan atau tanpa disertai dengan sejumlah denda. Tetapi, secara fisik proyek itu tetap merupakan miliknya. Yang artinya, pihak lain tidak bisa melanjutkannya tanpa persetujuan darinya. Akibatnya, jika dia tidak sanggup mengerjakannya, maka proyek itu bisa menjadi bangunan mangkrak yang semakin lama semakin kusam dan merusak pemandangan kota.
Dengan adanya klausul ini, pihak kontraktor pemilik proyek akan terbebani dan sekaligus terdorong untuk benar-benar konsentrasi penuh berburu dengan waktu untuk bisa mengerjakannya secara tepat waktu. Jika tidak, bangunan proyek itu lepas dari tangannya. Bukan miliknya lagi, tetapi menjadi milik Pemrpov DKI. Dengan demikian, pihak Pemprov DKI punya hak untuk menyerahkanya kepada pihak lain untuk melanjutkan proyek itu.
Demikian juga dengan perihal uang jaminan yang sebesar 5 persen itu. Dengan adanya uang jaminan yang cukup besar itu, pihak kontraktor mau tak mau terdorong untuk mati-matian mengerjakan proyeknya itu sampai selesai tepat waktu. Kalau tidak, maka uang jaminan itu hangus, menjadi milik pihak Pemprov DKI.
Besarannya uang jaminan tersebut juga untuk membuktikan bahwa pihak kontraktor benar-benar mempunyai modal yang kuat untuk mengerjakan proyek itu sampai selesai.
PT JM memang mengemukakan alasan keberatan mereka, bukan karena tidak punya duit, tetapi menurut mereka, berdasarkan aturan dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) untuk jaminan bank ditentukan sebanyak 1 persen dari total investasi pembangunan infrastruktur.
Angka 1 persen itu bagi Pemprov DKI terlalu kecil, kurang membuat pihak kontraktor “takut” bagaimana kalau dia tidak mampu mengerjakan proyek itu tepat waktu, atau malah mangkrak. Maka itu mereka menaikkannya uang jaminan itu menjadi 5 persen dari nilai total investasi proyek monorel itu.
Hal ini secara Hukum Perdata adalah sah dan dapat dibenarkan. Tergantung pihak PT JM sebagai rekanan mereka, setuju atau tidak, sanggup atau tidak. Kalau tidak, ya, seperti kata Ahok, silakan angkat kaki. Alias mundur. Biar kontraktor lain yang mengerjakannya.
Gaya Ahok yang ceplas-ceplos seperti itu memang cukup bisa membuat pihak PT JM merah telinganya, tetapi ini ada sisi positifnya juga, agar menjadi mereka termotivasi untuk membuktikan bahwa perusahaannya adalah perusahaan besar yang benar-benar bonafid, mampu memenuhi syarat-syarat berat dari Pemprov DKI Jakarta. Karena selama ini sudah menjadi rahasia umum bahwa kalau berurusan dengan pemerintah (daerah) “semua itu bisa diatur.”
PT JM tidak akan mundur. Mereka sebetulnya sanggup untuk memenuhi perkara uang jaminan 5 persen itu. Keberatan itu hanya taktik bisnis agar pihak Pemprov DKI mau kompromi menurunkan besaran persentasi itu. Tetapi, sudah menjadi watak Pemrov DKI di bawah kendali Jokowi-Ahok, tidak ada kompromi.
Siapa yang punya posisi tawar (bargaining power) yang lebih kuat, dialah yang lebih berhak menentukan. Dalam hal ini tentu pihak Pemprov DKI Jakarta.
*
Layak Diadopsi untuk Proyek Lain dan oleh Pemerintah Daerah Lain
Kasus ini sangat baik untuk dijadikan contoh dan diadopsi ke kasus-kasus lain yang serupa tapi tidak sama, sedangkan pemerintah daerah lain juga bisa belajar dari kasus ini untuk diadopsi di daerahnya.
Kasus lain yang serupa tapi tidak sama yang dimaksud adalah, dua klausul seperti tersebut di atas bisa diterapkan dalam pemberian perizinan pembangunan proyek-proyek besar milik swasta. Seperti pembangunan gedung-gedung pencakar langit dan proyek pembangunan super blok.
Izin pembangunan dapat diberikan, dengan syarat, misalnya, progres pembangunan proyek itu harus lancar dan tepat waktu. Apabila pembangunan proyek itu sampai mangkrak lebih dari sekian lama tertentu, maka proyek itu akan diserahkan kepada pemerintah daerah setempat. Pemerintah daerah ini berhak untuk mencari investor baru untuk melanjutkan proyek itu. Detailnya syarat-syaratnya bisa dibuat pemerintah daerah masing-masing sesuai dengan kondisi daerahnya, dengan dasar bahwa pihak pemerintah daerah selalu berada di posisi tawar yang lebih kuat.
Uang jaminan tetap harus ada, meskipun proyek ini milik swasta sepenuhnya. Uang jaminan ditentukan besarannya sekian persen. Apabila proyeknya itu mangkrak sampai lewat sekian lama, maka uang jaminan itu juga hangus, dan menjadi milik pemerintah daerah setempat. Ketentuan ini harus ada untuk memberi kepastian kepada pemerintah daerah bahwa investor, pemilik proyek benar-benar mempunyai dana yang cukup dan sangat serius untuk menyelesaikan proyeknya itu.
Selama ini ada saja pihak investor yang sebetulnya punya modal pas-pasan, tetapi berambisi besar jauh melampui kemampuannya untuk membangun apartemen, mall, dan sebagainya. Pinjaman dari bank saja juga belum cukup. Taktiknya adalah mengandalkan uang muka (down payment/DP) dan pembayaran cicilan dari pembelinya. Uang dari pembelinya inilah yang dipakai juga untuk menambah modal pengerjaan proyeknya. Risikonya tinggi, jika ternyata proyek sudah dikerjakan, tetapi di tengah jalan ternyata peminatnya (pembeli) tidak sebanyak yang diharapkan. Akibatnya, modalnya pun tak cukup untuk memenuhi biaya progres pembangunan tersebut, maka yang terjadi adalah kemacetan proyek. Investor tak sanggup membiayainya lagi, demikian juga kredit di bank macet. Maka mangkraklah proyek / bangunan pencakar langit itu bertahun-tahun lamanya, tanpa ada kejelasan kapan bisa dilanjutkan lagi.
Jadi, ketentuan-ketentuan syarat perizinan pembangunan proyek ini dimaksud untuk mencegah terjadi hal-hal seperti itu. Untuk memastikan hanya investor yang benar-benar punya modal yang kuat yang bisa mengerjakan proyek bersangkutan.