Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Pilihan

Jokowi Melawan

16 Juni 2014   23:58 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:27 3143 54

Begitu “berbahayanya” Jokowi sebagai calon presiden membuat pihak lawannya sejak lama sudah membuat strategi untuk mencari-cari kelemahan Jokowi. Waktunya bahkan sejak sebelum Jokowi secara resmi dideklarasikan sebagai calon presiden.

Ketika kecenderungan Jokowi akan di-capres-kan sudah mulai semakin kuat, beredar kabar bahwa ada yang membentuk “tim siluman” yang dibentuk khusus mencari-cari kesalahan Jokowi. Diam-diam, secara khusus mereka diterjunkan ke Solo, untuk melakukan investigasi ala intelijen, mencari-cari kesalahan Jokowi di sana, terutama ketika dia menjabat sebagai Walikota Solo. Dengan harapan di sana, akan ditemukan saksi / dokumen / indikasi yang menyatakan Jokowi pernah korupsi, pernah menyalahgunakan wewenangnya, pernah KKN, dan lain-lain. Tetapi, misi ke Solo itu gagal total. Mereka tidak menemukan satu pun bukti atau indikasi Jokowi pernah melakukan salah satu dari hal-hal tercela itu. Maka, sasarannya dialihkan ke Jakarta, mencari-cari kesalahan Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Korupsi Bus TransJakarta

Di Jakarta, mereka sempat bergembira-ria ketika menemukan apa yang mereka kira sebagai titik harapan di dugaan kasus korupsi / mark-up pengadaan Bus TransJakarta dan peremajaan Angkutan Umum Reguler pada Dinas Perhubungan DKI Jakarta, yang telah menetapkan mantan Kepala Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta Udar Pristono sebagai tersangka. Harapan mereka Jokowi akan turut terseret kasus ini, dan ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung. Tetapi, harapan itu kembali sirnah ketika Jaksa Agung Basrief Arief sendiri mengatakan, dari hasil pemeriksaan terhadap Udar Pristono dan para tersangka lainnya, tidak ada indikasi Jokowi terlibat.

Tetapi, besar kemungkinan karena sudah frustrasi gagal terus menemukan kesalahan Jokowi, atau karena sudah kehilangan rasionalitasnya sebagai intelektual, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon pun tetap ngotot Jokowi harus diperiksa Kejaksaan Agung. Apalagi setelah Menteri Agama Suryadharma Ali, yang juga pendukung utama Prabowo Subianto, ditetapkan KPK sebagai tersangka korupsi dana haji. Padahal, baru beberapa hari sebelumnya, Prabowo Subianto memuji-muji Suryadharma sebagai Menteri Agama yang paling bagus dalam mengelola dana haji.

Fadli pun mendesak Jaksa Agung Basrief Arief untuk mengkaji ulang, atau meralat pernyataannya tentang ketidakterlibatan Jokowi di dugaan kasus korupsi. Dia membandingkan Suryadharma Ali dalam dugaan kasus korupsi dana haji itu dengan Jokowi dalam dugaan kasus korupsi Bus TransJakarta.

Fadli mengatakan, bagaimana mungkin Basrief bisa menyatakan Jokowi tidak terlibat, padahal belum memeriksanya, sehingga tidak ada dasar bagi Jaksa Agung menyatakan demikian. Menurutnya, seharusnya Jokowi diperiksa dulu, baru bisa diketahui dia terlibat atau tidak.

"SDA ditetapkan sebagai tersangka dalam jabatannya sebagai menteri. Hukum ya memang jangan pandang bulu. Usut saja. Termasuk usut bus karatan itu. Tegaskan terlibat, atau tidak? Jangan kayak Jaksa Agung, (Jokowi) belum diperiksa tapi sudah dibilang tidak terlibat...   Iya (periksa Jokowi). Jaksa Agung atas dasar fakta apa bilang seseorang terlibat atau enggak? Belum apa-apa sudah dibilang tidak terlibat,"  kata Fadli, di Gedung KPU, Jakarta, Sabtu (24/5/2014) (Okezone.com).

Padahal, dalam suatu kasus, penyidik, apakah itu jaksa, polisi, ataupun KPK harus mempunyai alasan yang kuat  terlebih dulu untuk melakukan pemanggilan dan pemeriksaan terhadap seseorang. Kalau tidak ada alasan yang kuat (indikasi-indikasi), tidak bisa asal panggil dan asal periksa begitu saja. Indikasi-indikasi itu didapat ketika dilakukan penyidikan kasusnya dan/atau ketika dilakukan pemeriksaan terhadap seorang tersangka lain terlebih dahulu. Dalam kasus dugaan korupsi Bus TransJakarta, Kejaksaan sudah memeriksa tersangka Udar Pristono dan tiga orang anak buahnya di Dinas Perhubungan DKI Jakarta, dari pemeriksaan itulah Jaksa Agung menjelaskan pihaknya tidak menemukan indikasi keterlibatan Jokowi dalam jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Kedudukan kepala dinas di Pemerintah Provinsi dapat dianalogikan dengan kedudukan Menteri di Pemerintah Pusat. Kalau di tingkat Provinsi kedinasan tertentu dipimpin oleh seorang Kepala Dinas, maka di Pemerintah Pusat, kementerian tertentu dipimpin oleh seorang Menteri. Tanggung jawab penggunaan anggaran di kedinasan dan di kementerian merupakan tanggung jawab kepala dinas dan menteri. Maka jika terjadi korupsi anggaran di masing-masing lembaganya, maka kepala dinas dan menterilah yang sepenuhnya bertanggung jawab. Tidak mungkin kepala dinasnya korupsi, gubernurnya ikut bertanggung jawab, dan tidak mungkin menterinya korupsi, presiden harus ikut bertanggung jawab.

Ketika sirnah harapan Kejaksaan memanggil dan memeriksa Jokowi, menyusul kemudian beredarlah surat permohonan palsu yang dibuat seolah-olah Jokowi yang menulisnya kepada Jaksa Agung itu meminta penangguhan pemeriksaan terhadapnya sampai dengan Pilpres selesai. Terbukti kemudian surat itu pun dipalsukan.

Gagal lagi upaya mereka menghancurkan reputasi Jokowi.

Gagal lagi, maka apa yang harus dilakukan untuk melemahkan Jokowi? Tak ada jalan lain, selain menyerangnya dengan mengarang cerita-cerita fiktif untuk menciptakan sosok Jokowi seburuk-buruknya di mata rakyat. Seolah-olah Jokowi adalah toikoh yang paling jahat nomor satu di Indonesia.

Maka berbagai kreasi kisah fiktif fitnah (SARA) mulai dari yang masuk akal sampai yang di luar nalar pun dibuat dan diedarkan ke masyarakat luas, dengan berbagai cara dan dengan berbagai media (terutama media sosial), mulai dari ibu kota sampai ke pelosok-pelosok desa, termasuk menyebarkan berbagai propaganda fitnah keji dan SARA tentang Jokowi melalui “tabloid Obor Rakyat” yang dikirim ke pesantren-pesantren di Jawa Barat sampai Jawa Timur, dan sebagainya.

“Tabloid Obor Rakyat”

“Tabloid Obor Rakyat”,  saya tulis dengan tanda kutip, karena “tabloid” ini sebenarnya bukan tabloid sebagai produk jurnalistik berdasarkan UU No. 40 Tahun 1999, tetapi adalah produk propaganda fitnah SARA yang ditujukan kepada capres Jokowi, yang juga sangat berbahaya bagi keamanan dan ketertiban nasional, apalagi dilakukan menjelang Pilpres 2014 ini. Lebih-lebih lagi dalam jumpa persnya, pelakunya, Setyardi Boediono tidak menyatakan penyesalannya, tidak mengaku salah, malahan mengatakan bahwa apa yang diaedarkan itu merupakan fakta.

Selain Setyardi yang juga salah satu Komisaris BUMN PTPN XIII, ada juga nama Darmawan Sepriyosa yang adalah jurnalis dari media warta online, Inilah.com. Yang berperan sebagai bagian Redaksi “tabloid” tersebut.

Ketua Dewan Pers Prof Bagir Manan dan Ketua Komisi Hukum Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo telah menegaskan “Obor Rakyat” bukan produk jurnalistik, sehingga tak masuk dalam ranah Dewan Pers. Dewan Pers hanya mengurus media pers yang mematuhi UU No, 40 tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik. “Kami tak akan melindungi siapapun yang berada dibalik tabloid itu. UU Pers saat ini sudah cukup tegas,” kata Bagir Manan (Tribunnews.com).

Dengan demikian Setyardi Boediono dan Darmawan Setyardi, tidak bisa menggunakan UU Pers untuk melindungi mereka. Tindakan mereka itu murni adalah tindakan kriminal fitnah dan penyebaran kebencian SARA, yang hukumannya diancam di KUHP, serta melakukan kapmanye hitam yang dilarang di UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Sebelumnya, ketika masih belum diketahui siapa sebenarnya yang berada di balik “tabloid” itu (karena nama pengurus dan alamatnya fiktif), sikap polisi dan intelijen negara (BIN), yang terkesan pasif dalam menghadapi kasus ini terkesan aneh juga. Mereka tidak tergerak untuk melakukan penyelidikan untuk mencari tahu siapa sebenarnya yang berada di balik “tabloid” yang sempat beredar dalam tiga kali edisi selama satu bulan itu, sampai akhirnya dua pelaku itu sendiri mengaku sendiri perbuatan mereka.

Di Metro TV Hari Ini, Sabtu, 7 Juni 2014, wartawan senior Budiarto Shambazy menyatakan keraguannya atas pengakuan Setyardi bahwa semua dana penerbitan dan peredaran “Obor Rakyat” berasal dari kocek pribadinya. Pasalnya, menurut pengakuan Setyardi setiap edisi “Obor Rakyat” dicetak sebanyak 100.000 eksemplar, sedangkan menurut Budiarto untuk biaya satu eksemplar tabloid seperti itu sekitar Rp. 3.000 - Rp. 4.000. Belum termasuk biaya peredarannya, yang sampai ke Jawa Timur itu. Perkiraan, Budiarto setiap edisi biaya yang harus dikeluarkan sekitar Rp. 500 juta lebih.  Jadi, untuk tiga edisi yang telah diedarkan biayanya Rp. 1,5 miliar lebih. Apakah Setyardi secara finansial sanggup mengeluarkan biaya sebesar itu hanya untuk menyalurkankan sakit hatinya kepada Jokowi?

Jadi, jangan-jangan memang ada pihak tertentu yang berada di balik Setyardi, sebagai otak sekaligus penyandang dana dari penerbitan dan peredaran “tabloid Obor Rakyat” itu.

Jokowi Melawan

Citra yang hendak diciptakan di kisah-kisah fiktif fitnah SARA terhadap Jokowi itu jelas hendak menciptakan sosok Jokowi itu sebagai tokoh yang paling kotor (korupsi) dan jahat, sehingga tidak hanya tidak layak, tetapi juga berbahaya jika menjadi presiden. Fitnah-fitnah SARA dengan hal-hal yang menyangkut agama dan etnis sengaja dibuat untuk menciptakan perasaan benci dan permusuhan terhadap Jokowi.

Jokowi dikatakan selain sebagai boneka Megawati, juga dikendalikan oleh cukong-cukong Cina, yang diasosiasikan sebagai konglomerat-konglomerat hitam penggarong kekayaan negara. Sedangkan fitnah agama sengaja dibuat untuk menciptakan perasaan benci terhadap agama Kristen, seolah-olah ada suatu gerakan besar rahasia Kristen yang bermaksud menghancurkan dan menguasai Islam di Indonesia. Lalu diinformasikan Jokowi adalah bagian dari gerakan Kristen tersebut.

Jokowi, yang semula tak merespon penyebaran fitnah terhadap dirinya itu, akhirnya memilih untuk bereaksi juga, karena saking semakin luar biasanya destruktifnya penyebaran fitnah (SARA) itu, baik dari kuantitas, maupun kualitasnya. Jokowi pun melawan, tetapi tetap di dalam jalur kepatutan dan hukum.

Ketika bersilaturahim ke Pondok Pesantren Bustanul Ulum, di Kelurahan Sumelap, Kecamatan Tamansari, Kota Tasikmalaya, Kamis (12/6/2014). Jokowi menjelaskan bahwa maraknya fitnah terhadap dirinya menjelang Pilpres itu lantaran pihak lawan tidak bisa menemukan kesalahannya pada masa lalu, terutama ketika memimpin Kota Solo hingga Provinsi DKI Jakarta.

Jokowi mengatakan, pihak lawan sampai mengirim tim ke Solo untuk mencari kesalahan ketika menjabat sebagai wali kota. Tim yang sama juga bergerak di Jakarta.

"Banyak orang bingung mencari kesalahan saya waktu (jadi) Wali Kota Solo, enggak ketemu. Waktu jadi gubernur di Jakarta dicari-cari kesalahan, enggak ketemu. Paling gampang, apa (yang dilakukan) kalau enggak ketemu? Yah fitnah, enggak ada yang lain," kata Jokowi (Tempo.co).

Sedangkan dalam kasus “tabloid Obor Rakyat” Jokowi pun tidak bisa lagi berkata “raopopo”, tetapi kini memilih jalur hukum untuk menuntut para pelakunya. Bukan hanya demi nama baiknya, tetapi juga dengan harapan pihak berwenang kemudian dapat mengungkapkan siapa-siapa saja sesungguhnya yang menyebarkan propaganda SARA seperti itu, yang berpotensi terjadinya konflik horizontal SARA di antara sesama rakyat itu.  Patut diduga "Obor Rakyat" dirancang untuk membakar persatuan rakyat hanya demi memenangkan kompetisi Pilpres 2014 ini.  ***

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun