Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Pilihan

Calon Wagub DKI, Daripada Ribet dan Ribut, Serahkan Saja Pilihannya kepada Ahok

27 Agustus 2014   02:19 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:27 643 3

Setelah Jokowi dipastikan terpilih sebagai Presiden RI 2014-2019, maka berdasarkan UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah, secara otomatis Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok akan naik menjadi Gubernur DKI Jakarta, mengganti Jokowi. Hal tersebut mulai berlaku sejak 20 Oktober 2014, yaitu ketika Jokowi bersama Jusuf Kalla dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

Maka, posisi wakil gubernur yang ditinggal Ahok pun akan lowong. Posisi inilah yang kini menjadi incaran dari PDIP dan Partai Gerindra. Masing-masing merasa paling berhak mengisi lowongan tersebut dengan kadernya.

Seharusnya untuk menentukan siapakah wakil gubernur tersebut, yang paling menentukan adalah Ahok sendiri, sebagai Gubernur DKI Jakarta, karena dialah yang paling tahu tipe orang macam bagaimanakah yang cocok untuk bisa bekerja sama dengannya.

Bagaimana pun memang harus ada kecocokan hubungan antarpersonal di antara gubernur dengan wakil gubernurnya itu. Hanya dengan adanya kecocokan tersebut akan tercipta harmonisasi dan sinerji di antara mereka. Setelah itu baru bisa diharapkan akan terjadinya optimalisasi kinerja di Pemprov DKI Jakarta.

Bukankah tempo hari, ketika Jokowi hendak dimajukan sebagai calon gubernur DKI jakarta, dialah yang diberi kesempatan untuk memilih calon pendampingnya itu di antara beberapa calon yang ada? Saat itu Jokowi memilih Ahok. Karena dia merasakan adanya kecocokan dan chemistry pada sosok Ahok dengan dirinya. Meskipun tim suksesnya meragukannya pilihan Jokowi tersebut. Dikarenakan faktor Ahok yang Kristen dan Tionghoa. Saat itu, seperti yang diceritakan Jokowi sendiri, tim suksesnya pesimistis dengan mengatakan, “Kita bakal kalah ..”. Tetapi Jokowi bilang kepada mereka, “Pasti menang!”

Terbukti kemudian, meskipun dengan karakter yang saling bertolak belakang, Jokowi-Ahok selalu dapat saling mengisi, mereka adalah pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur terbaik yang pernah dimiliki DKI Jakarta, dengan kinerja yang sangat bagus. Bahkan bisa dikatakan terbaik di antara semua provinsi yang ada. Sehingga muncul pula sebutan “dwi-tunggal” terhadap mereka, sebelum akhirnya “terpaksa” berpisah, karena Jokowi kini mendapat mandat yang tertinggi  sebagai Presiden RI.

Berdasarkan pemikiran inilah, sebenarnya, UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah antara lain mengatur bahwa jika terjadi kekosongan wakil pemerintah daerah, maka kepala daerahnya mengajukan 2 orang calon wakil kepala daerah berdasarkan usulan dari partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calonnya terpilih dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah untuk dipilih dalam rapat paripurna DPRD.

Dalam konteks calon wakil gubernur DKI Jakarta ini, maka kepala daerahnya adalah Ahok, sedangkan partai politiknya yang berhak untuk urusan ini adalah PDIP dan/atau Partai Gerindra, karena pasangan merekalah yang terpilih di Pilkada DKI Jakarta 2012.

Jadi, nanti PDIP dan/atau Gerindra-lah yang mengusulkan kepala Ahok calon-calon wakil gubernur-nya. Berdasarkan alasan saya tersebut di atas, maka mereka seharusnya benar-benar memperhatikan sosok-sosok yang hendak dicalonkan tersebut, yaitu harus yang serasi dengan Ahok. Harus juga diperhatikan dua kriteria yang diajukan Ahok untuk calon pendampingnya itu, minimal harus jujur, tidak korupsi, dan mau bekerja keras. Jauh lebih baik lagi, sebelum mengajukan calon-calon tersebut PDIP dan Gerindra berbicara terlebih dulu dengan Ahok.

Dari calon-calon itu, Ahok akan memilih dua di antaranya (kalau jumlahnya lebih dari dua). Dua calon yang dipilih Ahok inilah yang kemudian diajukan ke rapat paripurna DPRD DKI Jakarta untuk dipilih sebagai wakil gubernur DKI Jakarta, pendamping Ahok.

Syukur-syukur jika bisa ditempuh cara praktisnya saja, bicara saja dengan Ahok siapa yang paling diarasakan paling sreg dengannya, itu saja yang dipilih dan dilantik sebagai Wakil Gubernur DKI. Tidak perlu prosedur dan formalitas-formalitas yang berbelit-belit.

Ahok sudah mengatakan, sosok macam bagaimana yang diainginkan menjadi pendampingnya di Pemprov DKI Jakarta, yaitu seorang perempuan, yang adalah Deputi Gubernur DKI Jakarta bidang Pembangunan, Sarwo Handayani, atau yang biasa disapa “Ibu Yani”.

"Ibu Yani Itu pilihan saya, kalau boleh memilih," kata Ahok di Balai Kota DKI Jakarta, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Jumat (22/8/2014).

Tetapi, Ahok tahu adanya peraturan yang mengatur mengenai prosedur pemilihan dan pelantikan seorang wakil gubernur yang akan mengisi posisi kekosongan yang bakal terjadi itu. Yakni, UU No. 8 Tahun 2008 dan PP No. 49 Tahun 2008 yang saya sebutkan di atas itu. Maka itu dia melanjutkan dengan mengatakan, menyerahkan pencalonan tersebut kepada parati pengusung, meskipun tetap dengan prinsipnya: "Saya syaratkan mesti cari orang yang jujur dan mau kerja keras. Kalau dia enggak mau kerja keras, kita drive dari pagi sampai malam seperti itu bisa ribut!” (Metrotvnews.com).

Dari ribet dan ribut, yang hanya akan merugikan warga DKI Jakarta saja, lebih baik seperti yang saya sebutkan di atas, serahkan semuanya kepada Ahok saja yang memilih pendampingnya sendiri. PDIP dan Gerindra tinggal merestuinya, dan DPRD DKI tinggal melantikkannya. Beres. Dan Pemprov DKI pun bisa bekerja dengan pasangan pimpinannya yang baru, yang harmonis, bersinerji, dengan kecepatn penuh membangun Jakarta Baru. ***

Dilanjutkan ke artikel:

Boy Sadikin Tidak Cocok dengan Ahok

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun