Meskipun telah ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik tetap dapat dilantik sebagai anggota DPR RI terpilih periode 2014-2019, yang akan dilaksanakan pada 1 Oktober 2014.
Bahkan kelak jika Jero sudah ditahan KPK pun itu tidak mengubah statusnya sebagai anggota DPR. Jadi, akan ada anggota DPR yang merangkap calon narapidana alias tersangka korupsi, yang berada di dalam kurungan ruang tahanan KPK. Statusnya tersebut akan bertahan terus sampai ada vonis hakim yang telah mempunyai kekuatan humum tetap (inkracht) bahwa yang bersangkutan bersalah serta dihukum penjara sekian tahun.
Kecuali jika sebelum waktu pelantikan, Partai Demokrat mengajukan surat pengunduran diri Jero kepada KPU. Maka, Jero tidak akan dilantik sebagai anggota DPR.
Aneh bin janggal? Memang! Tapi, kita bisa bilang apa lagi, karena peraturan hukum yang berlaku memungkinkan itu terjadi. Sama halnya dengan UU tentang kepala daerah dan wakil kepala daerah, demikian juga ketentuan hukum tentang anggota DPR, mengatur bahwa sepanjang belum ada vonis hakim yangmempunyai kekuatan hukum tetap bagi mereka yang disangkakan melakukan suatu tindak pidana korupsi, maka mereka tetap berhak dilantik/menjabat jabatan tersebut.
Peraturan tersebut dibuat dengan alasan adanya asas hukum praduga tidak bersalah (presumption of innocence), yaitu bahwa sepanjang seseorang belum divonis bersalah oleh hakim, dan vonis tersebut belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap, maka dia dianggap tidak bersalah.
Maka terjadilah fenomena janggal itu: Ada calon kepala daerah terpilih yang meskipun telah ditetapkan sebagai tersangka korupsi dan ditahan oleh penyidik, tetap saja bisa dilantik dan bekerja sebagai kepala daerah. Bahkan ada yang dilantik rumah tahanannya, dan dia bisa menjalankan wewenangnya sebagai kepala daerah, dan bekerja dari balik jeruji ruang tahanan itu!
Demikian juga yang terjadi di DPR. Termasuk kelak pada Jero Wacik, apabila, partainya tidak mengajukan pengunduran diri baginya ke KPU sebelum hari pelantikan tiba. Maka Jero Wacik akan tetap berhak dilantik dan menjabat sebagai anggota DPR dari Partai Demokrat.
Dengan mengingat adanya Pakta Integritas Partai Demokrat yang ditandatangani oleh semua petinggi Demokrat pada 10 Februari 2013, maka seharusnya dengan ditetapkannya Jero Wacik sebagai tersangka oleh KPK itu, maka Demokrat wajib pula menarik mundur Jero dari DPR.
Poin 8 Pakta Integritas itu berbunyi: Dalam hal saya telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi, atau terdakwa dan terpidana dalam kejahatan berat yang lain, saya bersedia mengundurkan diri dari jabatan saya di jajaran Partai Demokrat, atau siap menerima sanksi pemberhentian dari jabatan kepartaian saya oleh Dewan Kehormatan Partai.
Nah, kalau di level partai saja seorang kader/petinggi Demokrat sudah berjanji untuk mundur jika telah ditetapkan sebagai tersangka korupsi atau suatu kejahatan berat, maka tentu di level yang jauh lebih tinggi, yaitu DPR, kewajiban untuk mundur itu lebih tinggi lagi.
Kembali ke soal peraturan hukum janggal tentang status anggota DPR (juga kepala daerah dan jabatan lain setaraf) yang telah ditetapkan sebagai tersangka dengan asas presumption of innocence tersebut di atas, menurut saya asas tersebut ditafsirkan dan diterapkan secara salah oleh pembuat UU.
Seharusnya ada perubahan pada UU-nya. Dengan tetap berpegang kepada asas presumption of innocence tersebut seharusnya dibuat ketentuan hukum bahwa begitu seorang calon kepala daerah, anggota DPR, dan pejabat negara lainnya yang setaraf ditetapkan sebagai tersangka korupsi atau kejahatan berat lainnya, maka status politiknya itu (anggota DPR, dan lain-lain) harus ditangguhkan sampai dengan ada vonis hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Jika, ternyata vonis hakimnya mereka tidak bersalah, barulah status dan hak hukum/politik mereka itu dikembalikan dan dilanjutkan dengan proses sebagaimana mestinya.