Ignatius Ryan Tumiwa (48) pada Agustus 2014 sempat membuat geger kita, karena pada saat itu dia mengajukan uji materi Pasal 344 KUHP terhadap UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi. Pasal 344 KUHP itu adalah mengenai ancaman hukuman penjara bagi mereka yang melakukan euthanesia.
Ryan mengharapkan MK mengabulkan permohonannya itu dengan mencabut ketentuan pidana terhadap orang yang menghilangkan nyawa orang lain atas permintaannya sendiri. Menurut Ryan adalah hak asasi setiap manusia untuk menghilangkan nyawanya sendiri, termasuk dengan bantuan orang lain.
Motivasi Ryan mengambil langkah hukum itu adalah supaya dia bisa bunuh diri dengan cara disuntik mati oleh dokter. Dasarnya karena dia sudah sangat depresi menghadapi masa depannya yang suram. Sudah lebih dari setahun dia belum memperoleh pekerjaan, padahal alumnus FISIP UI Tahun 1998 ini mempunyai gelar S-2 jurusan Ilmu Administrasi, dengan IPK 3,32. Termasuk tinggi, apalagi kuliahnya di UI.
Untuk mengekspresikan depresinya itu Ryan juga menampilkan dirinya ke publik dengan memperlihatkan ijazah S2 jurusan Ilmu Administrasi FISI UI itu. Itulah cara Ryan mengeksplotasikan kekecewaannya secara maksimal. Betapa tidak kuliahnya di UI, Sarjana S-2, IPK tinggi, tapi apa hasilnya? Sia-sia, tak terpakai sama sekali, pengangguran!
Padahal tetangga-tetangganya pun mengatakan Ryan adalah sosok yang genius. Ia pernah menjadi dosen. Kehidupannya mulai menjadi tak menentu setelah orang tuanya meninggal dunia. Frustrasi, depresi, berhenti kerja, mencari kerja, usaha sendiri, semua gagal.
Ryan memang genius secara akedemik, kemampuan kognitifnya tak diragukan lagi, buktinya, ya, mampu lulus menempuh kuliah sampai S-2 di UI dengan IPK tinggi 3,32 itu. Tetapi, apakah semua itu mampu diaaplikasikan dalam dunia kerja yang nyata yang menuntut setiap orang harus bisa serbakreatif, inovatif, perubahan-perubahan yang serbacepat, adaptif, kerja keras, praktis, dan sebagainya?
Sebelum ke MK, dalam depresinya itu, Ryan sudah ke Komnas HAM mengadu nasibnya, tetapi ditolak karena dianggap salah alamat. Dari Komnas HAM dia ke Dinas Kesehatan minta diberi tunjangan, karena menganggap dirinya orang miskin layak menerima tunjangan tersebut. Tetapi di Dinas Kesehatan, Ryan ditolak juga. Kepada dia dijelaskan bahwa tunjangan kemiskinan itu hanya diberikan kepada orang yang benar-benar miskin, yang tunawisma, bukan seperti dirinya.
Dari Dinas Kesehatan, Ryan ke MK, juga gagal. MK menolak permohonan uji materinya itu. Hakim MK malah menyarankan dia ke psikiater untuk mengobati depresinya itu. Saran itu rupanya tidak dituruti Ryan. Cita-cita terakhirnya malah hendak membuang dirinya ke Planet Mars, mengikuti program NASA yang konon akan mengirim sejumlah orang ke Planet Merah itu (Tribunnews.com)
Kisah memilukan Ryan ini dijadikan salah satu contoh kasus oleh Rhenald Kasali, Guru Besar FEUI, pendiri dan pemilik "Rumah Perubahan", praktisi manajemen dan penulis sejumlah buku perubahan dan manajemen terkenal, di dalam bukunya yang berjudul Self Driving: Menjadi Driver atau Passenger? (Mizan, 2014).
Merespon kasus Ryan ini, Rhenald menulis (halaman 2-3): “Membaca berita seperti itu membuat saya miris. Sudah lama saya komplain terhadap dunia yang saya geluti. Saya komplain ketika melihat banyak akademisi yang mengukur kecerdasan mahasiswa semata-mata dari ujian tertulis, buku tes, dan paper. Bahkan saya sering memergoki mahasiswa yang mendapat nilai A dari kelas marketing sebelumnya, yang kini duduk di kelas saya (saya mengajar International Marketing), tetapi tidak mencerminkan kualitas A yang sesungguhnya.”
Bagaimana mungkin seseorang dinyatakan genius, dapat nilai A di kelas marketing, tetapi bicaranya saja ketus, berpakaian sembarangan, ‘packaging’-nya buruk, image-nya lebih dikenal sebagai siswa yang ‘aneh’, dan – maaf – ‘membosankan’. Kok anak pintar begitu?...”
“Bukankah marketing itu berarti kepuasaan pelanggan, melayani orang lain dengan baik, mengerti cara melakukan branding, packaging, dan membidik pasar? Mengapa tidak kau tanam semua itu di dalam dirimu? Mengapa hal-hal seperti itu hanya kau simpan dalam otakmu? Inilah perbedaan antara tahu dan bisa.”
“Banyak orang berpikir, label-label itu ‘akan bekerja untuk saya’. Padahal pendidikan yang benar mengajarkan ‘jangan jual label-label itu’, melainkan ‘juallah apa yang engkau miliki, yaitu dirimu sendiri’. Ya, yourself, not your labels. Not your UI, your ITB, atau your UGM. Not your FEUI, or TI-ITS. Bahkan not your Harvard-MBA.”
“Sarjana Kertas”
Saya sedang membaca buku terbaru dari Rhenald Kasali itu, ketika Presiden Jokowi mengumumkan 34 menterinya yang bergabung di dalam kabinet yang dia beri nama Kabinet Kerja. Salah satu menterinya itu adalah Susi Pudjiastuti, pemilik Susi Air, dipercayakan Jokowi menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Jokowi memilih Susi, mengingat latar belakangnya sebagai pengusaha pengepul ikan, yang merintis usahanya itu mulai dari nol sampai memiliki perusahaan perikanan besar, yang kemudian mendirikan maskapai penerbangan dengan nama PT ASI Pudjiastusi, yang kini mengoperasikan lebih dari 30 unit pesawat kecil dari berbagai jenis, seperti Grand Caravan, Piaggio Avanti, dan lain-lain, dengan nama maskapai penerbangan Susi Air, yang menghubungkan banyak sekali daerah-daerah terpencil dengan daerah perkotaan di seluruh Indonesia.
Selain karena faktor tersebut, Jokowi juga pasti memilih Susi karena sosoknya yang sangat ulet, pekerja keras, tipikal “think out the box”, berjiwa seorang pimpinan, yang bercirikan sebagai “driver,” – meminjam istilah Rhenald Kasali -- penemu solusi dan inovasi yang handal.
Karena Jokowi juga seorang pimpinan yang penuh inovasi, berlatar belakang pengusaha, tokoh perubahan, praktisi, dan seorang “driver” maka dalam memilih dan menentukan para calon menterinya, dia tidak terpaku dan terpukau pada latar belakang akademik mereka. Lulusan dari perguruan tinggi dalam negeri atau luar negeri, terkenal atau tidak, sarjana S-1, S-2, atau S-3, IPK-nya tinggi atau rendah, semua itu bukan pertimbangan paling utama, bahkan bisa diabaikan oleh Jokowi. Untuk apa punya setumpuk gelar sarjana, lulusan perguruan tinggi paling terkenal di luar negeri, IPK tertinggi, tetapi sosoknya adalah seperti Ryan Tumiwa yang saya sebutkan di atas? Karena itulah Jokowi dengan tanpa ragu sedikit pun memutuskan memilih Susi Pudjiastuti yang hanya lulusan SMP, tetapi pengalaman kesuksesannya lebih dari segudang banyaknya, dan berjiwa seorang “driver.”
Tetapi, rupanya apa yang ditulis Rhenald Kasali di bukunya yang berjudul Self Driving: Menjadi Driver atau Passenger? Itu sungguh-sungguh nyata sampai dengan hari ini, yaitu di Indonesia masih sangat banyak, bahkan mungkin mayoritas masyarakat, mereka yang berpendidikan tinggi sekali pun masih berpikir ala “Sarjana Kertas”, yaitu istilah yang digunakan oleh Rhenald Kasali untuk mereka yang begitu mendewa-dewakan gelar kesarjanaan, ijazah dari perguruan tinggi terkenal di dalam, maupun di luar negeri, sehingga rela menempuh segala cara, termasuk membeli ijazah untuk memperoleh gelar akademik itu. Seolah-olah dengan ijazah dan gelar kesarjanaan itu sudah otomatis menjadi jaminan masa depan yang cerah. Seolah-olah makin terkenal dan tinggi gelar kesarjanaannya semakin terjamin masa depannya di perusahaan tempatnya bekerja, atau bahkan karier politiknya.
Ironisnya, kata Rhenal Kasali, di dalam artikelnya yang berjudul Sarjana Kertas (Jawa Pos, 24 Oktober 2014), di banyak perusahaan, termasuk di BUMN-BUMN pun tata kelolanya masih berbasiskan pola pikir ala “sarjana kertas” ini.
Di artikelnya itu Rhenal antara lain menulis: “Celakanya, sistem pendidikan dan lingkungan sosial kita masih mengidolakan gelar. Bahkan, gelar pendidikan kerap berkorelasi positif dengan tingkat kesejahteraan. Masih banyak promosi jabatan di lingkungan instansi pemerintahan maupun BUMN yang ditentukan oleh gelar.
Maka, tak heran kalau banyak pegawai negeri sipil (PNS), juga pegawai BUMN dan swasta, berlomba-lomba melanjutkan pendidikan ke jenjang S-2 atau S-3. Sebab, hanya dengan cara itulah, mereka bisa naik jabatan menjadi kepala bagian, misalnya. Atau, kalau di BUMN, mungkin bisa menjadi general manager.
Bahkan, saat kampanye politik, gelar akademis, apalagi kalau sampai berderet, seakan membuat peluang seseorang untuk terpilih lebih besar. ”Daya jualnya” menjadi lebih tinggi. Kalau dia terpilih, pasti kesejahteraannya meningkat.
Padahal, meskipun kemampuan akademik yang tinggi juga diperlukan, tetapi yang paling dibutuhkan itu sebenarnya adalah skilled worker, yaitu tenaga terdidik yang betul-betul terampil, siap kerja, siap berkompetensi, singkatnya siap kerja. Untuk mendapatkan semua itu, dibutuhkan sosok yang tangguh, pekerja keras, inovatif, kreatif, dan seorang yang self driving, yaitu mampu membawa banyak orang ke perubahan-perubahan yang memajukan, bukan menjadi passanger yang hanya mengikuti ke arah mana orang lain membawanya, tanpa perlu kerja keras, bahkan banyak berpikir.
Bila ada pimpinan dengan kriteria demikianlah, maka kita bisa berharap dia akan benar-benar menjadi driver yang terbaik untuk membawa kemajuan bagi bangsa dan negara ini.
Mengolok-olok Pendidikan Formal Susi Pudjiastuti
Namun, sekali lagi, Rhenald Kasali benar dalam menganalisa pola pikir dan sikap kebanyakan dari orang Indonesia, yang sampai saat ini masih banyak berpikir ala “sarjana kertas”. Hal ini dengan jelas terlihat dari reaksi yang meriah dari publik terkait terpilihnya Susi Pudjiastuti yang hanya tamat SMP tetapi dipilih Jokowi sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan di Kabinet Kerja Presiden Jokowi ini.
Banyak yang memandang enteng dan melecehkan kemampuan Susi Pudjiastuti sebagai Menteri itu, hanya karena dia cuma lulusan SMP, tak peduli dengan sederetan rekam jejaknya yang menganggumkan dalam membangun dari nol kerajaan bisnisnya yang bernama PT ASI Pudjiastusi, yang kini mengoperasikan lebih dari 30 unit pesawat kecil dari berbagai jenis itu dengan nama maskapai penerbangan Susi Air itu. Tidak perduli dengan sosoknya yang terkenal sangat tangguh, inovatif, kreatif, pekerja keras, berjiwa seorang “driver”, dan sebagainya itu.
Terutama dari mereka yang berpendidikan tinggi dengan sederetan gelar akademik dan gelar kepakaran di bidangnya. Meskipun pakar itu sebenarnya hanya pakar sebatas teori. Golongan ini merasa kepintaran dan kemampuan Susi Pudjiastuti yang hanya tamat SMP, masih jauh di bawah mereka, sehingga cukup banyak juga yang memberi komentarnya dengan nada melecehkan Susi. Salah satunya adalah pakar ilmu kelautan dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Muslim Muin.
Padahal masyarakat jauh lebih tahu tentang prestasi Susi Pudjiastuti ketimbang pakar ilmu kelautan yang bernama Muslim Muim ini. Saya sendiri baru tahu namanya sekarang, ketika dia memberi komentar yang bernada melecehkan kepada Susi itu. Muslim Muim menilai Jokowi membuat kesalahan besar dengan memilih Susi sebagai menterinya, apalagi Menteri Kelautan dan Perikanan.
Dia mengatakan, posisi-posisi menteri strategis yang terkait pengembangan kemaritiman dalam Kabinet Kerja Jokowi diisi oleh orang yang tidak tepat. Pengangkatan Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, misalnya, dinilai tidak tepat oleh Muslim. Susi memang sukses dalam mengembangkan industri pengolahan hasil laut serta transportasi antar-pulau. Namun, menurut Muslim, itu tak cukup.
"Ngaco mengangkat Susi sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Sukses menjadi pengusaha ikan bukan berarti bisa memimpin Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)," ungkap Muslim kepada Kompas.com, Senin (27/10/2014).
Seolah-olah ingin menunjukkan dirinya lebih pintar dan tahu daripada Susi, Muslim pun mengeluarkan istilah-istilah di bidang teknologi kelautan, yang menurutnya belum tentu Susi mengetahuinya. Seolah-olah mengetahui istilah itu, sama dengan sudah menjadi orang hebat di bidang kelautan dan perikanan. Muslim mempertanyakan apakah Susi paham mengenai teknologi kelautan, marine products economics, coastal processes, dan underwater technology. Menurut Muslim, kepakaran Susi hanyalah tentang penangkapan dan penjualan ikan. Lebih dari itu, tidak. (Kompas.com).
Jelas sekali, cara Muslim Muim menilai kemampuan Susi Pudjiastuti itu bertolak pada cara berpikir yang disebutkan Rhenal Kasali sebagai cara berpikir “sarjana kertas,” hanya menilai kemampuan seseorang dari kacamata akademisi dan aspek kognitifnya semata. Padahal aspek non-kognitif pun sebagaimana disebutkan di atas sangat penting, bahkan bisa lebih penting daripada sekadar pengetahuan akademisi. Itulah talenta yang dimiliki Susi Pudjiastuti yang benar-benar luar biasa, selain dia juga punya integritas, dan rasa tanggung jawab yang tinggi dengan jabatannya itu kini.
Bukti Gelar Sarjana Tidak Berkorelasi dengan Kemampuan di KKP
Dengan talenta, kepedulian dan rasa tanggung jawab yang benar dan sungguh-sungguh itulah, maka baru menjabat kurang dari sebulan Pudji sudah mampu menemukan salah urus yang fatal di KKP.
Yang ditemukan Susi di Kementeriannya itu adalah ternyata selama ini subsidi bahan bakar minyak bagi kapal ikan telah salah sasaran sehingga sangat merugikan negara. Dari total subsidi BBM untuk usaha kapal ikan sebesar Rp. 11,5 triliun per tahun, sebanyak 70 persen dinikmati kapal besar berukuran di atas 30 gros ton.
Menurut Susi, dengan subsidi yang sedemikian besar, ternyata penerimaan negara bukan pajak yang diperoleh dari perikanan hanya Rp. 300 miliar per tahun atau cuma 2,6 persen.
“Itu tidak masuk akal. Jelas negara dirugikan. Ini saya pikir tidak boleh terjadi lagi. Kita ingin mendapatkan hasil yang setara dengan biaya yang kita keluarkan (Harian Kompas, 01/11/2014).