Pancasila adalah dasar negara atau fondasi dari Negara Republik Indonesia, oleh karena itu meskipun konstitusi bisa diamandemen pasal-pasalnya dengan tetap berpijak kepada Pancasila, tetapi bagian Preambule atau Pembukaannya sama sekali terlarang untuk diotak-atik. Karena di situ tercantum dengan jelas bahwa Negara Republik Indonesia didirikan berdasarkan Pancasila itu.
Paragraf keempat Pembukaan UUD 1945 berbunyi sebagai berikut:
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Republik Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Di dalam Pancasila itu terkandung falsafah bangsa antara lain bahwa negara ini didirikan berdasarkan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang melindungi semua pemeluk agama dan kepercayaan, dan bukan berdasarkan satu agama tertentu, semua warganegaranya berada di dalam satu kesatuan dan persatuan bangsa yang tidak membeda-bedakan suku, agama, kepercayaan, keturunan/ras, jenis kelamin, kedudukan sosial, dan lain-lain dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Semuanya harus mendapat perlakuan yang adil, mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Tidak boleh golongan yang satu memaksa kehendaknya kepada golongan yang lain, dan satu dengan yang lain harus saling menghormati hak-haknya masing-masing.
Dari Pancasila yang merupakan sumber dari segala sumber hukum inilah kemudian dijabarkan suatu konstitusi, yang merupakan hukum dasar dari semua peraturan perundang-undangan di seluruh Republik Indonesia, yang diberi nama Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (UUD 1945), karena ditetapkan pada 18 Agustus 1945.
Berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 itu antara lain ditegaskan bahwa negara ini adalah negara yang berlandaskan hukum negara, bukan berdasarkan hukum agama mana pun juga.
Setelah pemerintahan Orde Baru jatuh, UUD 1945 mengalami empat kali amandemen. Amandemen-amandemen itu mengatur hukum dasar dari beberapa aspek hukum baru yang sangat perlu ditetapkan sesuai dengan perkembangan sosial politik masyarakat Indonesia masa kini. Sekali lagi, semuanya tetap berlandaskan pada Pancasila.
Demikianlah, maka mengenai hak-hak WNI dalam kehidupan berbangsa dan negara ditentukan beberapa pasal yang mengatur tentang hak dan kewajiban setiap WNI itu.
Berdasarkan UUD 1945 ditetapkan bahwa tanpa kecuali semua WNI apapun ras keturunannya, apa pun agama dan kepercayaannya, apa pun suku bangsanya, apa pun golongannya, mempunyai hak dan kewajiban yang sama di depan hukum dan pemerintahan. Termasuk di dalamnya setiap WNI tanpa kecuali berhak memperoleh kesempatan yang sama mengabdi kepada negara dengan menjadi pejabat pemerintahan yang baik, dari ketua RT sampai dengan presiden.
Negara mempunyai kewajiban untuk melaksanakannya, melindungi, dan menjamin bahwa semua hak dan kewajiban setiap WNI itu diselenggarakan dengan sebenar-benarnya.
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945: Segala warga negara bersamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Pasal 28D UUD 1945: (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakukan yang sama di hadapan hukum.
(3). Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Di lambang negara: Burung Garuda, pun semakin dipertegaskan tentang filosofi atau jiwa dari negara Republik Indonesia, Pancasila, dengan meletakkan lima lambang di dadanya yang melambangkan lima sila dari Pancasila itu. Sedangkan dua kaki Burung Garuda itu mencengkaram denganm cakarnya erat-erat sebuah pita putih yang bertuliskan semboyan dalam bahasa Sansekerta: “Bhinneka Tunggal Ika”, berbeda-beda tetapi tetap satu. Bermaknakan bahwa adalah fakta rakyat Indonesia itu terdiri dari beraneka ragam suku bangsa, golongan, ras, dan agama/kepercayaannya, tetapi merupakan satu kesatuan bangsa yang bernama bangsa Indonesia. Persatuan dan kesatuan bangsa yang dalam wujud negara disebutkan sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Semuanya itu hanya mungkin ada, dan yang membuat NKRI ini masih eksis sampai sekarang adalah karena semua penyelenggaran kehidupan berbangsa dan bernegara tersebut berpijak kepada Pancasila dan UUD 1945 itu.
Sebagaimana sebuah bangunan rumah, jika fondasinya buruk atau dirusak, maka pastilah bangunan rumah itu akan runtuh rata dengan tanah. Demikian juga dengan Pancasila sebagai fondasai berdirinya NKRI.
*
FPI: “Ahok, Cina Kafir, Tidak Berhak Menjadi Gubernur DKI Jakarta!”
Ulasan tersebut saya tulis berkaitan dengan semakin destruktif dan anarkisnya ormas yang menamakan dirinya Front Pembela Islam (FPI) melakukan beberapakali aksi unjuk rasanya menentang pelantikan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Bertolak belakang dengan namanya, mayoritas umat Islam justru tidak suka dengan FPI, karena perilaku mereka yang justru merusak nama Islam. FPI sudah lama diidentikkan dengan kekerasan, sangat tidak toleran, dengan aksi-aksinya yang kerap melanggar hukum; anarkis, main hakim sendiri, destruktif, teror dan intimidasi. Mereka juga tak segan-segan melakukan serangan fisik, maupun verbal terhadap aparat kemanan negara, pejabat pemerintahan, termasuk presiden dan wakil presiden, dan merusak aset-aset negara,
Tidak terkecuali dengan aksi-aksi unjuk rasanya yang menentang pelantikan Ahok sebagai Gubernur DKI itu. Selain pernah menyerang aparat kepolisian secara fisik, sampai belasan di antaranya menderita luka sampai harus dirawat di rumah sakit, melempari gedung Balaikota dan kantor Ahok dengan batu dan kotoran hewan, -- hal yang sama juga pernah dilakukan FPI dengan menyerang kantor Kementerian Dalam Negeri pada 12 Januari 2012. FPI juga seperti biasanya, melakukan orasi dan provokasi-provokasi penyebaran kebencian SARA. Ahok dikatakan tidak berhak menjadi Gubernur DKI Jakarta terutama dikarenakan dia Cina Kafir, alias Cina dan Kristen!Aksi FPI ini didukung oleh beberapa ormas yang beraliran sejenis, seperti FUI dan FBR.
FPI menolak Ahok menjadi Gubernur DKI karena dia Kristen dan Cina. FPI juga menyebarkan spanduk dan berita-berita yang dimanipulasi untuk kemudian menyimpulkan bahwa Ahok adalah musuh Islam. Itulah salah tulisan di spanduk yang paling menonjol: “Ahok Musuh Islam” dari FPI ketika mereka melakukan aksi unjuk rasa untuk kali kesekian pada Senin, 10 November lalu.
Apa yang dilakukan oleh FPI dalam aksi unjuk rasa menolak Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta dengan alasan karena dia Kristen dan Cina itu jelas-jelas bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 (lihat ulasan tersebut di atas) . Secara konstitusional, dengan tegas UUD 1945 telah menetapkan semua WNI tanpa kecuali mempunya hak dan kewajiban yang sama di depan hukum dan pemerintahan, termasuk berhak untuk menjadi pejabat negara, tanpa kecuali: menjadi presiden pun boleh.
UUD 1945: Sebagai WNI, Ahok Berhak Menjadi Gubernur dKI Jakarta
Sebagai penjabaran dari UUD 1945, semua Undang-Undang yang mengandung hak dan kewajiban setiap WNI tidak boleh mengandung diskriminasi dalam bentuk apapun. Demikian juga dengan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Maka itu di dalam UU tentang Pemerintahan Daerah juga memberi kesempatan yang sama kepada semua WNI, tanpa kecuali, untuk menjabat sebagai wakil kepala, maupun kepala pemerintah daerah.
Tak kalah penting lagi, bahwa mayoritas rakyat Indonesia, dengan wawasannya yang semakin terbuka dan luas, telah menjiwai apa yang terkandung di dalam Pancasila dan UUD 1945 itu, dengan menerima dengan tangan terbuka lebar siapa pun yang menjadi pimpinannya tanpa memandang latar belakang suku, agama, ras, dan agamanya. Yang penting sosok tersebut adalah sosok yang punya rekam jejak bersih, jujur, berintegritas tinggi, tidak korupsi, pekerja keras demi rakyat, dan sebagainya, apapun etnis dan agamanya.
Maka itulah, tak heran dalam sejarah Republik ini, untuk pertama kalinya bisa terpilih pasangan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta Jokowi dan Ahok. Apabila warga DKI Jakarta masih berwawasan sempit dan memilih calon pimpinannya bertolak dari subyektifitas suku, agama, ras dan antargolongan, pasti Jokowi-Ahok tidak akan dipilih.
Demikian juga dalam Pilpres 2014, seandainya mayoritas rakyat DKI Jakarta memilih pasangan capres-cawapres-nya berdasarkan subyektifitas suku, agama, ras, dan antaragolongan, -- sebagaimana menjadi karakter ormas-ormas anarkis semacam FPI -- pasti Jokowi-JK tidak akan menang, apalagi sampai menang besar di Provinsi DKI Jakarta. Karena mereka tahu jika Jokowi menang, pasti secara hukum, yang naik menjadi gubernur menggantikannya adalah Ahok, “si Cina kafir”.
Salah satu penjabaran dari Pasal 27 dan 28 UUD 194 adalah Undang-Undang mengenai Pemerintahan Daerah, yaitu UU Nomor 32 Tahun 2004, yang kemudian dinyatakan tidak berlaku oleh Perppu Nomor 1 Tahun 2014. Meskipun Perppu ini masih memerlukan persetujuan dari DPR dan juga harus ada Peraturan Pelaksananya juga, tetapi sebagai landasan hukum yang ada, baik di UU No. 32 Tahun 2004, maupun Perppu ini sendiri tidak mempunyai ketentuan yang mengecualikan hak setiap WNI untuk menjadi gubernur DKI Jakarta hanya karena dia beragama dan beretnis tertentu.
Dengan demikian tidak ada alasan dari aspek apa pun yang bisa menghalangi atau membatalkan kedudukan Ahok dari Wakil Gubernur naik menjadi Gubernur DKI Jakarta, mengganti posisi Jokowi yang telah menjadi Presiden RI. Justru sebaliknya, hukumlah yang mewajibkan negara untuk menaikkan posisi Ahok untuk menjadi Gubernur DKI Jakarta, mengisi kekosongan jabatan yang ditinggal oleh Jokowi itu.
Pasal 203, ayat (1) Perppu Nomor 1 Tahun 2014: Dalam hal terjadi kekosongan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang diangkat berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerha, Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota mengganti Gubernur, Bupati, dan Walikota sampai dengan berakhir masa jabatannya.
Ketentuan yang sudah sedemikian jelas, tetapi masih saja mau dimanipulasi oleh fraksi-fraksi Koalisi Merah Putih (KMP) di DPRD DKI Jakarta, untuk menjegal Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta. Segala cara haram pun ditempuh demi bisa melengserkan Ahok, termasuk bekerja sama dengan ormas yang sudah lama sangat anarkis dan suka melanggar Undang-Undang, bahkan dasar negara dan konstitusi, yaitu FPI.
Boleh dikatakan, sejak Gerindra memperoleh suara yang cukup besar di pemilu legislatif 2014 dan membentuk KMP, gerombolan ini langsung melakukan gerakan-gerakan yang pada intinya merusak tatanan sistem demokrasi dan ketatanegaraan negara ini, hanya demi memperoleh kekuasaan sebanyak-banyaknya demi kepentingan gerombolan mereka sendiri. Hal itu sudah mereka lakukan di DPR dengan biangnya UU MD3, dan sekarang sedang dilakukan di DPRD DKI Jakarta demi untuk merebut kursi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta.
Penumpang Gelap di Perppu Nomor 1 Tahun 2014
Sebelum saya melanjutkan ulasan mengenai kasus ini, saya ingin menyinggung sedikit tentang Perppu ini.
Ternyata di dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2014 yang diterbitkan oleh SBY, menjelang berakhirnya masa jabatannya sebagai Presiden itu, yang katanya sebagai upaya kerasnya untuk mengembalikan hak demokrasi rakyat yang telah dirampas oleh DPR, terdapat ketentuan yang sangat bernuansa antidemokrasi ala KMP, seperti yang sudah mereka praktikkan dalam mekanisme penetapan pimpinan DPR, yaitu sistem paket di pilkada.
Di dalam Perppu ini diatur bahwa di dalam pilkada, yang dipilih rakyat itu hanya calon kepala daerah, tanpa calon wakilnya. Nanti, setelah kepala daerahnya sudah terpilih, barulah kepala daerah itu memilih wakilnya dengan disetujui oleh DPRD. Jika kemudian kepala daerah itu berhalangan tetap, maka DPRD-lah yang akan melakukan pemilihan ulang kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam satu paket. Sedangkan wakil kepala daerah yang sebelumnya, bisa saja disingkirkan. Jadi, ujung-ujungnya, jika ada kepala daerah yang berhalangan tetap, tetap saja pilkadanya berada di tangan DPRD juga. Dan, hampir pasti pula calon paket pasangan yang diajukan oleh KMP-lah yang akan menang di daerah mana pun juga di seluruh Indonesia, karena secara koalisi KMP menguasai lebih dari 90 persen parlemen-parlemen daerah di seluruh Indonesia.
Pada kasus upaya penjegalan Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta ini juga kembali terlihat semakin terang-benderang bahwa Partai Demokrat itu sedari awal memang adalah bagian dari KMP. Apa yang terjadi di DPR tempo hari dengan aksi walkout itu, jelas-jelas merupakan sandiwara Demokrat menipu rakyatnya. Seolah-olah mereka menjadi parpol penyeimbang, padahal mereka adalah bagian dari KMP. Demikian juga dengan Ketua Umumnya, SBY, seolah-olah pahlawan penyelamat demokrasi menjelang masa jabatan presidennya berakhir, padahal sesungguhnya bagian dari KMP, yang secara licik juga merampas hak demokrasi rakyat. Yang kini hendak mereka praktikkan lagi di kasus Ahok ini.
Sekarang topeng dan sandiwara mereka sudah dibuka, maka dalam kasus upaya KMP menjegal Ahok naik menjadi Gubernur DKI Jakarta itu, Demokrat pun secara terang-terangan menyatakan dirinya bagian dari KMP itu, mereka ikut memboikot sidang paripurna DPRD yang meresmikan Ahok sebagai Gubernur baru DKI Jakarta. Padahal secara konstitusional memang sudah seharusnya Ahok-lah yang naik menjadi Gubernur DKI Jakarta, mengganti Jokowi yang kini menjadi Presiden RI.
Demi Kekuasaan, KMP Berkomplot dengan FPI
KMP secara tak langsung mendukung FPI menentang konstitusi, bahkan dasar negara.
Untuk memperkuat posisi mereka, FPI pun dimanfaatkan untuk menyerang Ahok secara melawan hukum dan anarkis, termasuk menyebarluaskan provokasi kebencian SARA. Padalal menyebarkan provokasi SARA semacam yang dilakukan oleh FPI itu bukan hanya melanggar Undang-Undang, tetapi juga Pancasila dan UUD 1945.
NKRI bukan negara agama Islam, tetapi FPI membuat seolah-olah Indonesia ini adalah negara berdasarkan hukum Islam yang mereka pahami. Untuk mewujudkan keinginan itu mereka melakukan aksi-aksi unjuk rasa dengan memanipulasi berita, fakta, dan menyebarkan provokasi kebencian SARA terhadap Ahok. Dikatakan oleh FPI, seperti antara lain yang diorasikan oleh Habib Rizieq; Ahok tidak berhak menjadi Gubernur DKI Jakarta, karena Ahok itu Cina kafir, sudah Cina Kristen lagi. Umat Islam haram hukumnya dipimpin oleh kepala daerah Kristen, dan “Ahok adalah Musuh Islam.”
Habib Rizieq bahkan memprovokasi rakyat DKI Jakarta, agar menyerang dan melempar Ahok yang nota bene adalah pejabat negara, dengan telur busuk, jika Ahok blusukan.
Meskipun demikian tidak ada warga Muslim DKI Jakarta yang terpengaruh oleh orasi-orasi jahat FPI itu, kecuali mereka yang memang berafiliasi dengan FPI. Tidak ada warga Jakarta di luar FPI yang ikut bergabung dengan FPI, atau menggelar aksi unjuk rasa sendiri menentang pelantikan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta dengan alasan SARA sebagaimana dilakukan oleh FPI, maupun dengan alasan lainnya. .
Sebaliknya, justru saat Ahok diresmikan oleh DPRD DKI Jakarta minus KMP, dia justru panen banyak sekali dukungan dari warga DKI Jakarta yang mayoritas Muslim, baik di dunia maya, maupun di dunia nyata.
Aneh luar biasa, justru anggota DPRD DKI Jakarta dari KMP, yang notabene adalah wakil rakyat warga DKI Jakarta justru melakukan aksi yang bertolak belakang dengan kehendak mayoritas rakyatnya. Mereka justru berkomplot dengan FPI untuk melengserkan Ahok. Padahal sudah terbukti pada unjuk rasa–unjuk rasa sebelumnya, banyak sekali anggota FPI yang melakukan unjuk rasa itu bukan warga DKI Jakarta.
Antara KMP dengan FPI seolah berbagi tugas dalam menyerang Ahok: KMP “kebagian tugas” mengupayakan pelengseran Ahok dengan cara memanipulasi hukum, sedangkan FPI “kebagian tugas” menyerang Ahok dengan cara-cara yang melanggar hukum, anarkis, provokasi SARA, dan lain-lain sejenisnya.
Ketika Ahok mengirim surat kepada Kementerian Dalam Negeri dengan tembusan kepada Kapolri untuk membubarkan FPI, Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Fadli Zon justru membela FPI, dan malah menuduh yang anarkis itu Ahok, bukan FPI!
Padahal anak kecil pun tahu, siapa sebenarnya yang selama paling sedikit 10 tahun ini selalu bertindak anarkis, yang bahkan sampai menyebabkan jatuhnya korban jiwa. Rupanya, bukan hanya hukum, fakta yang jelas-jelas di depan mata pun hendak diplintir oleh Gerindra (Fadli Zon).
Menurut Fadli, Ahok berhak merasa terganggu dengan keberadaan FPI. Namun, kata dia, Ahok tidak dapat seenaknya meminta FPI dibubarkan sekalipun posisinya adalah seorang kepala daerah. Seolah-olah masalah ini adalah masalah pribadi antara Ahok dengan FPI. Padahal masalah ini adalah masalah berskala nasional, lebih daripada sekadar perseteruan antara Ahok dengan FPI. Ini adalah masalah antara hukum negara, konstitusi yang menjamin persamaan hak dan kewajiban bagi semua WNI, dengan ormas FPI yang menentangnya. Antara negara vs FPI, dan KMP memilih berada di belakang FPI.
Tempo.co mencatat puluhan aksi anarkis yang pernah dilakukan oleh FPI selama 10 tahun ini, yang bisa dibaca di sini, atau daftar yang lebih panjang yang bisa dibaca di Wikipedia.com.
Dari Kepolisian RI juga sudah sangat gerah dengan perilaku melanggar hukum dari FPI selama bertahun-tahun ini. Kapolri Jenderal Polisi Sutarman sampai menyatakan, FPI memang tidak layak dipertahankan jika masih terus bertindak anarkis (Tempo.co).
Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian Komisaris Jenderal Suhardi Alius juga menyatakan rasa gerah polisi terhadap FPI selama ini. Dia menyatakan penyesalan Polri kepada Pemerintah yang tak kunjung membubarkan FPI. Padahal, Polri siap menjadi saksi dan memberikan banyak data tentang tindakan-tindakan anarkis yang pernah dilakukan oleh FPI selama ini (Tempo.co).
Sebaliknya dengan KMP yang dipimpin oleh Gerindra, mereka justru mendukung sepenuhnya FPI, bahkan bisa dikatakan berkomplot dengan FPI melawan hukum negara! Bahkan anggota Fraksi Partai Gerindra DPRD DKI, Fajar Sidik, mengakui selama ini aksi unjuk rasa yang digelar FPI selalu berkoordinasi dengan partainya (Tempo.co). Rupanya selama ini salah satu tangan kuat yang meng-back-up FPI adalah Partai Gerindra!
Pada saat FPI melakukan unjuk rasa di depan Gedung DPRD DKI Jakarta, mereka menggunakan truk berpenggeras suara, dengan spanduk mencolok mata digantung di sisinya, bertuliskan “Ahok Musuh Islam”, dua orang pentolan KMP DPRD DKI Jakarta, M Taufik dari Gerindra yang sangat ingin melengserkan Ahok agar dia bisa menjadi Gubernur DKI Jakarta, dan Haji Lulung yang kelihatannya akan dijadikan Wakil Gubernurnya, ikut naik di atas truk itu bersama dengan petinggi-petinggi FPI, seperti Habib Rizieq berorasi ikut menyebarkan sentimen kebencian anti Ahok kepada warga Jakarta.
Maka terjadilah sesuatu yang sangat ironis dan sekaligus berbahaya bagi kesatuan dan persatuan bangsa di NKRI ini, jika hal tersebut terus dibiarkan sehingga menyebar ke seluruh Indonesia, dan berkembang menjadi lebih besar.
Parpol-parpol yang bergabung di KMP itu yang sejatinya adalah wakil rakyat DKI Jakarta, justru bertindak dengan melawan kehendak mayoritas rakyat Jakarta itu. Mereka malah memilih berkomplot dengan ormas anarkis bernama FPI itu untuk menggulingkan Ahok dengan cara-cara yang melawan konstitusi.
KMP tidak perduli dengan fakta bahwa FPI sudah bertindak terlalu jauh, dengan aksi-aksinya yang justru menentang Pancasila dan UUD 1945. Karena bagi FPI, ketentuan yang menyebutkan semua WNI punya hak dan kewajiban yang sama di depan hukum dan pemerintahan, dan bahwa semua WNI tanpa kecuali berhak menjadi kepala daerah, dan sebagainya itu adalah salah.
Bagi FPI: Salah bahwa WNI yang berasal dari etnis tertentu, beragama Kristen, atau beragama nonMuslim lainnya mempunyai hak yang sama di depan hukum dan pemerintahan. Salah bahwa orang Cina, apalagi juga Kristen berhak menjadi Gubernur DKI Jakarta. Menurut FPI, yang benar adalah hanya orang Islam saja, bukan Cina – tak perduli rekam jejaknya seperti apa – yang berhak menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Pemahaman ini oleh FPI terus dipaksakan kepada DPRD DKI Jakarta dan pemerintah pusat untuk dilaksanakan, seolah-olah Indonesia ini adalah negara berdasarkan hukum Islam (versi mereka). Tidak perduli dengan fakta bahwa hal tentang persamaan hak dan kewajiban bagi semua WNI di hadapan hukum dan pemerintahan, termasuk menjadi pejabat negara disebutkan secara filosofi oleh Pancasila, dan diatur secara hukum dasar oleh UUD 1945.
Tak diragukan sedikit pun bahwa semua cara haram KMP berkomplot dengan FPI itu semata-mata demi memperoleh kekuasaan, demi kepentingan golongan mereka sendiri. Sehingga Ahok yang justru sudah terbukti berintegritas tinggi selama dua tahun ini sebagai Wakil Gubernur dan Plt Gubernur, hendak digulingkan, untuk digantikan dengan mantan koruptor dan “godfather” preman di Jakarta.
DKI Jakarta adalah miniatur dari NKRI, jika rencana jahat komplotan KMP dengan FPI ini dibiarkan, berpotensi besar ditiru di daerah-daerah lainnya di Indonesia. Akibatnya bisa sangat fatal, karena Pancasila dan UUD 1945 akan tidak dihargai, rakyat terpecah-belah berdasarkan suku, golongan dan agama. Alhasil NKRI tinggal kenangan. ***