Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Pilihan

Politik Super Zig-zag Adalah Karakter Aburizal Bakrie

12 Desember 2014   14:42 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:28 1046 16

Suatu ketika bertemulah Aburizal Bakrie dengan Prabowo Subianto, kata Prabowo kepadanya: “Pilkada tidak langsung atau melalui DPRD adalah yang terbaik dan paling benar!”

Aburizal meresponnya sambil mengangkat dua jari jempol tangannya ke arah Prabowo: “Pak Prabowo, anda benar, anda sungguh-sungguh benar: Pilkada melalui DPRD adalah yang paling tepat dan benar. Maka itu Golkar pasti mendukung UU Pilkada melalui DPRD!”

Kemudian Aburizal pergi menemui SBY, yang waktu itu masih menjadi Presiden RI. Kata SBY kepadanya: “Pilkada langsung oleh rakyat adalah yang terbaik dan paling benar, karena sesuai dengan aspirasi rakyat banyak. UU Pilkada dengan sistem tidak langsung itu bertentangan dengan aspirasi rakyat, maka itu harus dicabut dengan Perppu yang segera saya buat.”

Aburizal meresponnya sambil mengangkat dua jari jempol tangannya ke arah SBY: “Pak SBY, anda benar, anda sungguh-sungguh benar: Pilkada langsung oleh rakyatlah yang paling tepat dan benar. Pilkada melalui DPRD bertentangan dengan kehendak rakyat banyak. Suara rakyat adalah suara Golkar, maka itu Golkar pasti mendukung Perppu tentang Pilkada langsung itu!”

Di Bali, Aburizal bertemu dengan Nurdin Halid. Berkatalah Nurdin Halid kepadanya: “Pak Ical, Pilkada yang paling benar adalah Pilkada tidak langsung, atau melalui DPRD, ini sesuai dengan Sila keempat Pancasila mengenai sistem perwakilan.”

Aburizal meresponnya sambil mengangkat dua jari jempol tangannya ke arah Nurdin Halid: “Pak Nurdin, anda sungguh cerdas dan benar. Pilkada yang paling benar dan tepat itu memang Pilkada tidak langsung. Oleh karena itu Golkar pasti mendukung dan memperjuangkan Pilkada harus melalui DPRD!”

Nurdin kemudian mendekatkan mulutnya ke telinga Aburizal, sambil berbisik, “Sssst, Pak Ical, yang benar sesungguhnya adalah karena Pilkada itu terbaik bagi kita, Golkar, bukan bagi rakyat, karena di hampir seluruh daerah Golkar bersama KMP menguasai parlemen, maka sangat berpotensi nyaris semua kepala daerah adalah kader Golkar. Hehehe ...”

“Hahahaha ... “ Aburizal tertawa terbahak-bahak membayangkan apa yang dibisiki Nurdin itu bakal menjadi kenyataan.

Suatu malam, ketika Aburizal membaca artikel-artikel di Kompasiana, berubah lagi pikirannya, katanya dalam hati: “Kompasiana adalah media yang ditulis warga biasa, suara rakyat juga, maka Kompasiana-lah yang sungguh-sungguh benar. Pilkada langsunglah yang benar. Golkar harus mendukung Pilkada langsung!”

Maka, Aburizal segera membuka  akun Face Book dan Twitter-nya, bergeraklah jari-jari tangannya, menulis pernyataannya mengatasnamakan Golkar,  tak lama kemudian publik pun membacanya sambil menggeleng-geleng kepalanya masing-masing: “Golkar mendukung Pilkada langsung karena itu yang sesuai dengan kehendak rakyat banyak. Golkar mendukung Perppu Pilkada langsung!” Demikian yang menjadi inti pernyataan Aburizal Bakrie di akun Face Book dan Twitter-nya itu.

Kisah di atas adalah ramuan antara fakta dan fiksi yang saya buat, tetapi subdtansinya adalah benar.

Jika memperhatikan jalannya politik zig-zag Aburizal ini, kelihatan juga adanya perilaku otoriternya yang merasa seolah-olah Golkar adalah miliknya pribadi, oleh karena itu dia berkuasa sepenuhnya di partai berlambang Pohon beringin ini, suara Aburizal adalah suara Golkar. Bukankah suara Golkar di Munas di Bali itu adalah suara tertinggi partai, yang telah mengrekomendasikan bahwa Golkar harus menolak Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pilkada langsung, dan mendukung Pilkada melalui DPRD sebagaimana putusan awalnya? Apakah pernyataan Aburizal di Face Book dan Twitter itu lebih tinggi daripada Munas Golkar, sehingga mampu menganulir suara di Munas Golkar itu?

Manuver Aburizal ini sungguh konyol, dia semakin memerosok Golkar menjadi parpol yang paling tidak layak dipercaya rakyat. Sudah begitu para petinggi Golkar di bawahnya semakin merusaknya dengan membela “big boss”-nya ini secara membabi buta, dengan mengatakan apa yang disampaikan di Munas Golkar di Bali itu hanya sebagai rekomendasi saja. Jadi, yang benar adalah apa yang disampaikan oleh “big boss”-nya itu. Kalau tidak untuk dilaksanakan, buat apa repot-repot secara aklamasi Munas Golkar itu menyerukan kesepakatan bersama Golkar akan menolak Perppu Pilkada langsung itu?

Publik pusing tujuh kali tujuh keliling mengikuti politik super zig-zag dari Aburizal Bakrie antara mendukung Pilkada langsung atau tidak langsung itu. Dari mendukung Pilkada tidak langsung (paripurna DPR), kemudian berubah menjadi mendukung Pilkada langsung (kesepakatan bersama KMP dengan Demokrat), berubah lagi menjadi mendukung Pilkada tidak langsung (Munas IX Golkar di Bali), dan kembali lagi ke mendukung Pilkada langsung (melalui Face Book dan Twitter).

Padahal, seharusnya publik tidak perlu pusing tujuh keliling, apalagi sampai tujuh kali tujuh keliling, kalau ingat akan rekam jejak tokoh ini, minimal di kala Pilpres barusan.

Aburizal Bakrie, sang Ketua Umum versi Munas IX Golkar di Bali itu adalah tokoh yang benar-benar melaksanakan secara konsisten dan konsekuen peribahasa lama yang berbunyi: “Bagaikan air di daun talas.”

Masih ingat di masa Pilpres 2014?

Inilah dialah tokoh dalam sejarah Republik ini bakal calon presiden yang paling berambisi menjadi presiden sekalipun itu harus melawan kenyataan bahwa dirinya sangat tidak dikehendaki rakyat, sehingga dalam waktu singkat dia bisa mengubah-ubah penawarannya kepada sedikitnya delapan tokoh untuk mau mendampinginya sebagai bakal calon wakil presiden, yang diharapkan dari tokoh-tokoh ini presidential thershold-nya bisa meningkat tajam sehingga dia bisa lolos sebagai calon presiden. Tetapi “luar biasanya” semua dari delapan tokoh itu tidak ada satu pun yang bersedia mendampinginya. Inilah kejadian yang paling unik se-Indonesia Raya. Belum pernah terjadi dalam sejarah Indonesia, seorang bakal capres begitu sulitnya mendapat pendampingnya.

Biasanya justru banyak orang yang berhasrat dipinang untuk dijadikan pendamping calon presiden, tetapi pada Aburizal Bakrie ini justru sebaliknya. Tidak ada yang mau. Orang-orang bukannya mendekat, tetapi menghindar, karena khawatir didekati Aburizal untuk dipinang sebagai calon wakil presidennya. Takut, sungkan untuk bagaimana menolaknya. Padahal, Aburizal Bakrie ini sudah mengdeklarasikan dirinya sebagai capres dari Golkar sejak 1 Juli 2012.

Delapan tokoh yang pernah didekati Aburizal untuk bersedia menjadi bakal cawapres-nya ketika itu, dan semuanya menolak, bahkan menghindarinya adalah Jokowi (ketika itu adalah Gubernur DKI Jakarta), Soekarwo (Gubernur Jawa Timur), Jenderal TNI Moeldoko, Akbar Tandjung,  Wiranto (Ketua Umum Partai Hanura), Pramono Anung (PDIP), Mahmud MD, dan Lukman Hakim Saifuddin (sekarang Menteri Agama). Kisah lengkapnya, silakan baca artikel saya yang berjudul Tak Ada yang Mau dengan Aburizal Bakrie (Kompasiana, 12 Mei 2014).

Setelah mendapat penolakan bertubi-tubi, Aburizal menyerah untuk menjadi calon presiden, dia pun rela turun derajatnya. Dari semula, katanya, sesuai dengan Rapimnas Golkar, dia hanya mau diajukan sebagai capres, tidak cawapres, tetapi kemudian sekarang mengubah pernyataannya sendiri itu dengan menyatakan kesediaaanya “turun derajat” menjadi cawapres saja. Tetapi, capres siapakah yang sudi menjadikan dia cawapres mereka? Ternyata juga tidak ada.

Untuk bisa diterima menjadi cawapres, Aburizal sampai rela bolak-balik-bolak-balik antara Prabowo dengan Jokowi.

Pertama kali setelah rela menurunkan derajatnya dari bakal capres menjadi bakal cawapres, yang didekatinya adalah Prabowo Subianto yang saat itu masih mencari-cari bakal pasangan pendampingnya itu. Tetapi, kemudian ternyata tidak ada kecocokan di antara mereka berdua.

Maka, Aburizal pun mengubah haluannya, datang mendekati bakal capres dari PDIP ketika itu, Jokowi, membujuknya agar bersedia menerimanya sebagai cawapres-nya. Tetapi Jokowi, juga PDIP, tak bersedia menerimanya.

Berbaliklah Aburizal kembali ke kubu Prabowo, sambil berharap Prabowo mau mengubah pikirannya, dan menerimannya sebagai cawapres-nya Prabowo. Ternyata itu sia-sia, Prabowo memilih Hatta Rajasa sebagai pendampingnya.

Karena kecewa berat, Aburizal kembali lagi mendekat ke Jokowi, kali ini menawarkan diri dan Golkar kepada kubu Jokowi untuk bisa menerimanya sebagai apa saja, dengan imbalan Golkar akan berkoalisi dengan kubu Jokowi itu mendukung Jokowi-JK sebagai presiden dan wakil presiden. Untuk keperluan itu Aburizal yang seumur-umur tidak pernah menginjak kakinya di pasar rakyat pun, rela bertemu Jokowi di Pasar Gembrong, Johar Baru, Jakarta Pusat, ketika itu Jokowi masih sebagai Gubernur DKI Jakarta sedang melakukan blusukan di sana (13 Mei 2014). Tetapi politik transaksional yang ditawarkan Aburizal  kepada Jokowi itu pun tak laku.

Berubah lagi sikap Aburizal, kembalilah lagi dia ke kubu Prabowo. Entah apa yang dibicarakan dengan Prabowo, akhirnya dengan rela turun derajat untuk kali kedua, jadilah dia membawa Golkar berkoalisi dengan kubu Prabowo, dengan imbalan janji akan dijadikan Menteri Utama di kabinet Prabowo, jika Prabowo yang menjadi Presiden.

Dari sini, dan dari sikapnya terhadap Pilkada langsung dan tak langsung, bisa disimpulkan bahwa politik super zig-zag, yang membuatnya tidak layak dipercaya rakyat, adalah memang sudah menjadi karakternya Aburizal Bakrie.

Faktanya, berbicara lain, Prabowo kalah di Pilpres 2014, gagal menjadi Presiden, maka gagal pula Aburizal yang dari bakal capres, rela turun derajat menjadi bakal cawapres, dan kemudian ikhlas turun lagi derajatnya menjadi hanya bakal Menteri Utama.

Maka, kembalilah dia mengincar kedudukan satu-satunya yang masih dipegangnya, yaitu Ketua Umum Partai Golkar. Namun, itu pun mendapat tantangan yang luar biasa dari internal Golkar. Kalau tidak dengan menghalakan segala cara, terutama cara-cara licik, tentu jabatan itu pun gagal dipertahankannya. Misalnya, yang terungkap dari rekaman pengarahan Nurdin Halid kepada para ketua DPD Golkar yang hadir untuk Munas di Bali, diarahkan untuk secara aklamasi memilih Aburizal, bersama-sama memperjuangkan Golkar tetap menolak Perppu Nomor 1 Tahun 2014 agar Pilkada melalui DPRD dengan janji para ketua DPD akan dijadikan kepala daerah, dan sebagainya.

Karena ambisinya itu pun Golkar pun menjadi korban, terpecah dua: versi Aburizal, dan versi Agung Laksono, menjadikannya salah satu kasus politik dan hukum yang paling rumit dalam sejarah.

Jika melalui sistem dan cara-cara yang benar, pasti Aburizal Bakrie ini juga  gagal untuk mempertahankan kursi Ketua Umum Golkar-nya.

Sekarang, tinggal menunggu kasus ini diputuskan oleh pengadilan, Golkar siapakah yang sah secara hukum; apakah Golkar dengan Ketua Umum-nya Aburizal Bakrie, ataukah Golkar dengan Ketua Umum-nya Agung Laksono.

Seandainya, putusan pengadilan Golkar dengan Ketua Umum-nya Agung Laksono-lah yang sah, maka gagal pula Aburizal Bakrie menjadi Ketua Umum Golkar. Jadi, untuk menjadi Ketua Umum partainya pun ternyata dia tak layak, atau gagal juga.

Jadi, sekarang, jabatan apa yang layak bagi Aburizal Bakrie? Mungkinkah perlu menurunkan derajatnya lagi dengan mencoba jabatan gubernur, bupati/walikota, camat,  lurah, atau bahkan cuma ketua RW, atau ketua RT? Masalahnya adalah, warga mana yang mau punya lurah/ketua RW/ketua RT adalah Aburizal Bakrie? Anda mau? ***

Artikel terkait:

Ketika Para Pengkhianat Berbicara tentang Khianat

Tak Ada yang Mau dengan Aburizal Bakrie

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun