Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Pilihan

Strategi Jokowi dalam Kasus Budi Gunawan

17 Januari 2015   17:43 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:57 2059 11

Presiden Jokowi memutuskan mengambil jarak dengan KPK, dan para politisi pendukung Presiden Jokowi mendadak bersikap bermusuhan dengan KPK!

Gara-garanya adalah karena KPK menetapkan Komisaris Jenderal Pol Budi Gunawan sebagai tersangka kasus korupsi pada 12 Januari 2015, --  diumumkan pada 13 Januari 2015. Padahal dia baru saja (9 Januari 2015) dipilih oleh Jokowi sebagai calon tunggal Kapolri, berdasarkan rekomendasi dari Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).

Para politisi pendukung Jokowi dalam memilih Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri itu pun uring-uringan dengan menuding KPK telah menjalankan misi politik tertentu untuk menjegal Budi Gunawan, lalu bersatu di DPR, dan melalui uji kepatutan dan kelayakan terhadap Budi, bersikeras untuk tetap meloloskannya sebagai Kapolri. Lewat rapat paripurna, Kamis, 15 Januari 2015, DPR pun secara aklamasi menyetujui Budi Gunawan sebagai Kapolri. DPR bersikap seolah-olah ketetapan Budi sebagai tersangka oleh KPK itu tak pernah ada, penetapan KPK itu dianggap angin lalu, ataukah memang sengaja menantang KPK? Maklum banyak musuh KPK di DPR. Bahkan salah satu wakil ketuanya sudah lama punya cita-cita untuk membubarkan KPK.

Menuding KPK

KPK dituding punya agenda politik tertentu untuk menjegal Budi Gunawan, terbukti dengan begitu terburu-buru dan tiba-tibanya KPK menetapkan Budi sebagai tersangka. Kenapa juga baru sekarang, setelah Jokowi menetapkan Budi sebagai calon tunggal Kapolri, KPK tiba-tiba menetapkannya sebagai tersangka?! Begitu pertanyaan menggugat KPK yang dilontarkan kubu Jokowi.

Padahal jika kita mengikuti kronologis penyelidikan dan penyidikan KPK terhadap Budi Gunawan, termasuk saat Jokowi melibatkan KPK dan PPATK dalam menentukan calon para menterinya. Penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka itu sama sekali bukan tiba-tiba. Bahkan jauh-jauh hari sebelumnya KPK sudah mengwanti-wanti Jokowi bahwa Budi Gunawan adalah sosok pejabat tinggi negara yang angat kuat terindikasi masalah hukum (korupsi).

Sebaliknya, justru Presiden Jokowi-lah yang terkesan kuat melakukan keputuisan yang terlalu cepat ketika memutuskan Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri, padahal jabatan itu seharusnya baru kosong pada Oktober 2015 mendatang, setelah masa jabatan Kapolri yang sekarang, Jenderal Sutarman berakhir.

Simak kronologis ini (sumber Harian Kompas, 14/01/2015, dan data-data sesudahnya):

Tanggal 7 Januari 2015: Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto mengatakan belum ada kebutuhan mendesak untuk menggantikan Kapolri Jenderal (Pol) Sutarman.  Tetapi faktanya:

9 Januari: Kompolnas menyerahkan lima nama calon Kapolri. Pada hari yang sama, Presiden Jokowi mengirimkan nama Komjen Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri kepada DPR.

10 Januari: Ketua KPK Abraham Samad mengatakan, Jokowi tak melibatkan KPK untuk melakukan penelusuran rekam jejak saat memilih Komjen Budi Gunawan. Plt Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto mengatakan, PDI-P ikut mengajukan nama Budi Gunawan kepada Jokowi saat menyeleksi calon kapolri.

11 Januari: Komjen Budi Gunawan mengatakan, hasil pemeriksaan Polri menyatakan dirinya bersih dan tidak ada rekening yang mencurigakan.

12 Januari: Surat Presiden soal nama calon Kapolri dibacakan di rapat Paripurna DPR.

Pukul 14:00: KPK menetapkan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka karena dugaan transaksi tidak wajar. Pukul 15:00: Komisi III DPR mendatangi rumah Komjen Budi Gunawan sebagai tahapan sebelum uji kelayakan dan kepatutan. Pukul 17:00 Ketua Komisi III Aziz Syamsuddin mengatakan, uji kelayakan dan kepatutan calon Kapolri akan dilakukan Rabu, 14 Januari 2015.

13 Januari: Presiden Jokowi menyatakan menunggu hasil keputusan DPR terhadap Komjen Budi Gunawan, sebelum menetapkan sikapnya sendiri.

14 Januari: Komisi III menyatakan Komjen Budi Gunawan layak dan patut sebagai Kapolri yang baru, menggantikan Jenderal Sutarman.

15 Januari: Rapat paripurna DPR memutuskan menyetujui Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri yang baru, untuk segera dilantik Presiden Jokowi.

16 Januari: Presiden Jokowi menyatakan menunda, bukan membatalkan pelantikan Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri yang sesuai dengan hasil rapat paripurna DPR.

Dari fakta tersebut di atas, betapa anehnya sikap Presiden Jokowi, betapa tidak ketika KPK sudah menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka korupsi, dia masih bisa menerima hasil uji kelayakan dan kepatutan DPR, yang menyatakan Budi Gunawan layak dan patut sebagai Kapolri. Bagaimana bisa seorang tersangka korupsi masih bisa diputuskan layak dan patut menjadi Kapolri?

Keputusan KPK tentang status tersangka Budi Gunawan itu jelas-jelas adalah merupakan suatu hasil penyelidikan dan penyidikan di bidang hukum, sesuai dengan kewenangannya sebagai penyidik khusus kasus korupsi. Sedangkan keputusan DPR jelas-jelas adalah keputusan politik. Bagaimana bisa keputusan politik bertentangan dengan hukum, bahkan “menganulir” hukum?

Terkesan Presiden Jokowi lebih percaya dan berpihak kepada DPR, ketimbang KPK!

Publik mulai khawatir: Jokowi mulai berubah?

Nawa Cita

Apakah Presiden Jokowi tetap akan melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri, dengani mengabaikan KPK, ataukah membatalkan pelantikan itu, dengan memilih calon yang lain/baru?

Di momen inilah nama baik Jokowi benar-benar dipertaruhkan, apakah dia sungguh-sungguh antikorupsi ataukah tidak. Karena berdasarkan reputasi KPK selama ini, tidak pernah KPK keliru dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka. Di persidangan kemudian, selalu terbukti KPK yang benar. Sang tersangka ditahan, lalu menjadi terdakwa, lalu sang terdakwa berubah statusnya menjadi narapidana korupsi, mendekam di balik jeruji besi. Tidak terkecuali untuk kasus Budi Gunawan ini.

Sungguh merupakan suatu kesalahan yang sangat fatal jika Jokowi tetap bersikeras untuk melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri. Jika itu dialakukan, noda besar pertama akan melekat padanya untuk selamanya sebagai presiden yang tidak pro-antikorupsi, sekaligus membuktikan ketidakkonsistensinya dengan kampanye pilpres tempo hari yang menyatakan komitmennya untuk tidak kompromi dengan segala macam tindakan korupsi, serta berjanji tidak akan pernah mengangkat pejabat mana pun yang terindikasi korupsi.

Kita masih ingat dengan janji-janji kampanye Jokowi-JK di masa Pilpres tempo hari, di antaranya adalah adanya delapan agenda antikorupsi yang akan dijalankan berdasarkan rekomendasi dari KPK, yaitu: reformasi birokrasi dan perbaikan administrasi kependudukan;  pengelolaan sumber daya alam dan penerimaan negara; ketahanan dan kedaulatan pangan;  perbaikan infrastruktur; penguatan aparat penegak hukum; dukungan pendidikan dan nilai keteladanan; perbaikan lembaga partai politik; serta peningkatan kesejahteraan sosial .

Saat kampanye Jokowi-JK juga mempunyai sembilan agenda prioritas jika terpilih sebagai presiden dan wakil presiden. Sembilan program itu disebut Nawa Cita. Program ini digagas untuk menunjukkan prioritas jalan perubahan menuju Indonesia yang berdaulat secara politik, serta mandiri dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan. Nawa Cita secara resmi juga tercatat di situs resmi KPU, pada poin 2 dan 4-nya terdapat program yang berkaitan dengan menjalankan pemerintahan dengan pejabat-pejabat negara yang terpercaya dan bersih dari indikasi korupsi:

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun