Mulai dari peran internet dalam reformasi Indonesia di akhir tahun 1990an hingga maraknya berita palsu di media sosial saat ini, teknologi digital selalu menjadi bagian dari kehidupan politik di Indonesia. Saat Indonesia bersiap-siap menyambut pemilihan presiden tahun 2024, inilah saat yang tepat untuk memikirkan bagaimana media sosial telah mengubah demokrasi di negara ini dan bagaimana media sosial dapat menjaga demokrasi yang "digital" agar tidak berantakan.
Teknologi digital sangat penting dalam memudahkan masyarakat untuk terlibat dalam politik dan mengubah cara masyarakat berbicara tentang politik di Indonesia, khususnya generasi muda. Presiden Joko Widodo, lebih dikenal sebagai Jokowi, adalah salah satu pemimpin politik pertama yang berhasil menggunakan media sosial untuk berkampanye selama pemilu. Pemilihan gubernur Jakarta tahun 2012 terjadi pada saat yang sama ketika jumlah orang yang menggunakan media sosial seperti Facebook, Twitter (sekarang X), dan YouTube sedang melonjak. Jokowi menjadi tenar seantero Indonesia setelah ia menang.
Media sosial telah memudahkan orang-orang biasa seperti Jokowi untuk menjadi berkuasa dan orang-orang biasa untuk menyelenggarakan lebih banyak acara sosial, politik, dan ekonomi, namun media sosial juga membawa banyak masalah.
Karena popularitas media sosial dan ketatnya pemilu, kampanye tidak hanya sekedar menyampaikan pesan positif atau negatif, namun juga menyoroti kualitas baik kandidat atau menyerang kelemahan lawannya. Sejak pemilu tahun 2012, berita palsu telah menyebar dengan cepat di media sosial, penuh dengan cerita-cerita buruk tentang pekerjaan dan kehidupan pribadi anggota parlemen, yang sebagian besar tidak benar.
Para pembuat undang-undang harus menemukan cara untuk melindungi kebebasan berpendapat, mendorong masyarakat untuk terlibat dalam komunitasnya, dan berhenti menyebarkan informasi palsu.
Tiga efek penting perlu perhatian penuh bangsa Indonesia adalah;
Pertama, menggunakan agama dan ras sebagai alasan untuk selalu bertengkar---juga dikenal sebagai penyalahgunaan "kebebasan untuk membenci"---telah merugikan demokrasi Indonesia karena mempersulit masyarakat untuk saling percaya dan bekerja sama. "Keyakinan selektif" adalah cara lain disinformasi yang memperburuk polarisasi. Pemilih lebih cenderung menerima informasi yang merugikan lawannya dibandingkan informasi yang merugikan kandidat favoritnya.
Kedua, kerja para "buzzer" politik atau akun rahasia palsu para influencer, terus dilakukan setelah pemilu, terutama untuk membersihkan kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak disukai masyarakat. Dalam kasus ini, pihak yang memproklamirkan diri sebagai "buzzers" Istana (juga dikenal sebagai Buzzers Istana) mendukung keyakinan kontroversial pemerintah bahwa kelompok radikal telah memasuki Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal ini memberikan hak kepada pemerintah untuk membentuk kelompok untuk memilih pemimpin baru, yang menyebabkan seorang jenderal polisi yang aktif diangkat menjadi ketua KPK, yang bertentangan dengan aturan mengenai konflik kepentingan.
Ketiga, penyebaran informasi palsu menjadi alasan disahkannya beberapa undang-undang yang mengatur konten online, seperti undang-undang fitnah baru KUHP 2022 yang lebih kuat, yang berdampak baik dan buruk. Pemerintah telah menyiapkan cara untuk menangani berita palsu dan meluncurkan situs web di mana masyarakat dapat melaporkan dan memeriksa berita palsu yang mereka pikir telah mereka lihat. Undang-undang dan upaya lain yang dilakukan pemerintah untuk melawan misinformasi memang sangat membantu, namun hal tersebut dapat digunakan sebagai "alat penindasan" terhadap mereka yang tidak setuju dengan pemerintah, dengan menyebut komentar mereka sebagai "berita palsu" dan menjadikannya ilegal.
Oleh karena itu, anggota parlemen harus menemukan cara untuk mendorong masyarakat agar terlibat dalam komunitasnya sekaligus mendukung kebebasan berpendapat dan mencegah informasi palsu.
Apa yang perlu dilakukan Indonesia untuk membangun pemerintahan yang kuat setelah semuanya serba digital?
Tidak ada jawaban yang mudah. Namun Maria Ressa, pemenang Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 2021, dan perjuangannya melawan berita palsu dan penindasan digital dapat mengajarkan kita sesuatu.
Pertama, pendidikan penting bagi demokrasi yang sehat di era digital. Jadi yang terpenting adalah menjadikan sekolah di Indonesia lebih baik. Kedua, supremasi hukum perlu dibawa kembali ke dunia digital melalui undang-undang dan peraturan. Ketiga, semua orang yang terlibat---pemerintah, media (termasuk situs media sosial), kelompok bisnis, dan organisasi masyarakat sipil---perlu bekerja sama dan membangun kepercayaan.
Dengan ide Ressa, masyarakat Indonesia bisa mendirikan piramida #FaktaPertama sebelum pemilu presiden 2024. Piramida dibangun berdasarkan pengecekan fakta oleh sekelompok redaksi dan pemeriksa fakta. Selanjutnya, setiap pemeriksaan fakta dapat dibagikan dan diposkan ulang secara luas melalui kerja sama dengan kelompok bisnis dan kelompok masyarakat sipil, seperti kelompok hak asasi manusia dan LSM. Penting untuk dicatat bahwa studi dan pekerjaan di dunia nyata dapat dilakukan pada saat yang sama untuk mengetahui seberapa besar jenis informasi palsu tertentu telah mempengaruhi ruang publik. Langkah terakhir adalah membentuk sekelompok pengacara dan kelompok hukum yang tujuan utamanya adalah menegakkan supremasi hukum dan membuat aktor politik bertanggung jawab atas tindakan mereka.
Sudah ada beberapa hal baik yang terjadi di Indonesia, dan hal tersebut dapat terus berlanjut. Banyak kelompok berbeda yang bekerja sama untuk membuat situs pengecekan fakta seperti cekfakta.com dan MAFINDO, serta upaya kesadaran masyarakat dan aturan yang lebih ketat untuk moderasi konten.
Namun ada juga lubang dan titik lemah. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa cek fakta secara digital masih belum mendapat perhatian yang cukup dari masyarakat karena cek fakta berbasis teks lebih banyak dilakukan dibandingkan cek fakta berbasis gambar. Selain itu, materi pengecekan fakta dapat ditambahkan ke pesan obrolan dengan cara yang lebih besar, karena pesan obrolan adalah cara cepat penyebaran berita palsu secara online sementara kebanyakan orang masih menggunakan media sosial, situs web, dan mesin pencari untuk memeriksa fakta.
Cara-cara kreatif lainnya untuk menjaga demokrasi Indonesia agar tidak berantakan juga dapat didukung dan didorong. Salah satu contohnya adalah Bijak Memilih, sebuah program non-partisan yang mengajarkan generasi muda tentang politik agar mereka bisa menjadi warga negara dan pemilih yang aktif.
Yang terpenting, setiap orang dapat membantu pemerintah menghentikan misinformasi tanpa merugikan hak kebebasan berpendapat masyarakat. Misalnya, mereka dapat berhenti menggunakan undang-undang tersebut untuk menghentikan disinformasi dan melakukan "de-sekuritisasi", yang berarti bahwa undang-undang tersebut tidak lagi dipandang sebagai ancaman terhadap keamanan nasional. Komunikasi publik yang lebih baik juga dapat membantu pemerintah mendapatkan kepercayaan masyarakat dalam upaya hukumnya melawan disinformasi.
Terdapat risiko dalam perjalanan Indonesia menuju demokrasi, namun ada alasan untuk percaya bahwa negara ini dapat menjadi contoh bagaimana menggunakan media sosial secara maksimal sambil tetap menjaga kualitas dan integritas proses politiknya.