Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Jakarta

26 Maret 2012   19:12 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:26 141 0
Malam tidak sesejuk kemarin meskipun hujan baru mengguyur Jakarta. Mungkin kesejukan sudah habis tersedot oleh emosi orang-orang di kota ini, yang penuh hiruk-pikuk dan ambisi pribadi. Entah apa yang dikejar. Uang, kekuasaan, kesenangan, namun ada juga yang sibuk mengurus soal aurat dan surgawi. Entah berapa lama lagi saya tinggal di kota ini. Bangun jam enam pagi, menyetir 2 jam menuju kantor, 10 jam bekerja, menyetir lagi 3 jam menuju rumah, 6 jam untuk tidur, dan tersisa hanya 3 jam untuk keluarga. What kind of life is that ? Saat remaja dulu saya mempertanyakan keberadaan Tuhan. Saat ini saya mempertanyakan kualitas hidup.

Teringat cerita seorang teman yang cemburu dengan kualitas hidup orang-orang di daerah asalnya. Setiap pulang kampung ke rumah orang tuanya di Purworejo, Jawa Tengah, banyak kerabat dan saudara yang menganggapnya telah sukses menaklukkan Jakarta. Tolak ukurnya adalah mobil yang dibawanya mudik selalu berganti tiap tahun. Awalnya dia menyimpan bangga atas pujian-pujian itu. Hingga suatu saat ia memperhatikan kehidupan seorang lelaki paruh baya disana. Jam empat sore sudah tiba di rumah sehabis mengajar di Sekolah Dasar setempat. Masih sempat bercengkerama dengan keluarga dan para tetangga, apalagi meluangkan waktu untuk ritual di masjid dekat rumahnya. "Hidupnya bersahaja banget, gue ngiri sama bapak itu", kata teman saya yang sudah kepala empat.

Jakarta memang bukan Purworejo yang damai sentosa dengan hamparan sawah hijaunya. Jakarta sesak dengan dinding beton, papan reklame, asap knalpot, bisingnya klakson dan pembangunan flyover. Hiruk-pikuk manusia seolah menggambarkan ambisi-ambisi terpendam mereka. Jakarta mengharuskan orang untuk berlari, bukan berjalan. Jakarta mengharuskan orang untuk bekerja mati-matian demi terisinya rekening tabungan, yang kemudian bisa dipakai untuk bertahan hidup, membeli rumah, kendaraan, memuaskan hobi, atau mengajak jalan-jalan anak-istri. Ironisnya, keadaan itu justru membuat orang tidak mampu membeli kemewahan yang bernama "waktu". Kehangatan bersama keluarga menjadi minim karena tidak punya waktu. Anak sakit tidak diperhatikan, suami/istri punya masalah diabaikan. Semuanya dikorbankan demi ambisi yang mereka sebut "kebahagiaan masa depan". Padahal kebahagiaan bukanlah di masa depan. Kebahagiaan adalah sekarang.

Bagaimana dengan Anda ?
Uups..sudah jam dua pagi. Artinya waktu tidur saya tinggal 4 jam saja.
Selamat tidur dalam mimpi dan ambisi. Salam hangat untuk keluarga Anda...

Daniel Adrian

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun