Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Ruang Rindu

4 Oktober 2012   17:01 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:15 351 1
Maret 2012


Di siang yang pijar, aku duduk terdiam di sebuah kursi peron ini. Lagi. Kursi yang terbuat dari besi, berwarna putih, yang letaknya tepat di sebelah anak tangga. Di kursi peron ini, aku menunggu keretaku datang. Tiba-tiba, kilometer jarak menghampiriku dan mengajakku kembali ke masa itu---seperti de javu, dua tahun yang lalu. Masa yang seharusnya telah hilang dari ingatanku. Masa yang seharusnya sudah kalah tergerus arus waktu.


Di stasiun inilah, kenangan manis sempat terukir. Namun di stasiun ini pula, aku merasakan perih, tiap kali aku menginjakkan kaki kembali di kota ini---Malang.


Aku termasuk orang yang mempunyai sifat pelupa. Tetapi aku masih ingat, satu per satu kisah yang tersusun dalam puzzle cerita di stasiun ini. Cerita tentang aku dan kamu—dulu, saat menjadi kita. Kita yang kala itu sangat membenci jarak---yang menjadi musuh kita. Kita yang masih saling berbagi rindu.


Aku sempat berpikir, seandainya tak ada jarak, mungkin kita masih bisa saling menguatkan. Mungkin, kita masih bisa menikmati setiap inchi jejak-jejak rindu yang hadir. Dan mungkin, luka itu tidak akan pernah ada. Mungkin.


“Udahlah Fir, waktu yang akan menyembuhkan segala luka. Kamu nggak usah terus-terusan naif kayak gini. Percaya deh,” nasehat sahabatku di suatu senja.


Aku hanya bisa tersenyum dan mencoba memahaminya. Dalam hati, ada semacam keinginan untuk mempercayai kata-kata itu. Aku ingin menjadikannya doktrin atau semacam jargon penyemangat untuk kusimpan di otak sekaligus di hatiku. Namun tanpa disadari, kadang justru waktulah yang mampu menguak luka lama itu. Waktulah yang terus saja menggangguku dengan memunculkan ingatan-ingatan yang tak pernah ingin aku ingat. Dan mungkin, kadang waktu jugalah yang kadang membuatku menjadi sangat naif.
***


Februari 2010


Sekitar pukul 13.40 WIB aku sampai di stasiun Malang Kota Baru. Aku duduk di kursi peron; menunggumu. Dan tentu saja aku tahu, butuh waktu yang tidak sebentar untuk menunggumu kali ini.


Entah sesering apa aku melirik jam di tangan kiriku, menatapnya dengan cemas. Entah sudah berapa kali juga aku mengecek layar ponselku, mencoba menghubungimu dan mengirimkan beberapa pesan singkat. Aku mulai bosan.


Hari semakin sore. Udara dingin perlahan menyeruak masuk menusuk kulit dan menembus sweater hitam yang kupakai. Namun, tanda-tanda kedatanganmu belum juga tampak.


Pip pipp... ponselku berdering, mengirimkan pesan masuk. Aku segera membacanya.


“Tadi hujan dan Mas terjebak macet. Ini masih on the way. Adek gapapa kan? Makan dulu gih, biar nggak masuk angin.” Segera kubalas pesan singkat itu, mengatakan kalau aku baik-baik saja.


Jarak Surabaya – Malang memang tidak terlalu jauh, namun apapun yang tidak terduga bisa saja terjadi di sebuah perjalanan, bukan? Aku mendesah pelan, “semoga dia segera  datang dan selamat sampai tujuan,” batinku.


Aku ingat, kita sempat bertengkar kecil saat itu—sebelum rencana pertemuan kita. Kita sempat tidak berbicara dan berhenti saling menghubungi satu sama lain. Kita yang terpisah jarak dan waktu. Namun entah bagaimana, akhirnya kita sama-sama mengalah. Kita---mungkin, mempunyai hasrat yang sama untuk tetap saling merindu hingga akhirnya ingin bertemu. Aku dan kamu akhirnya  menyempatkan waktu untuk bertemu di tengah kesibukan kita masing-masing.


Senja akan segera menjemput malam, dan aku masih di stasiun ini. Masih menunggumu. Tak kuhiraukan lagi pegawai PJKA yang menatapku penuh tanda tanya, yang sedari tadi tidak juga beranjak dari kursi peron, padahal kereta terus datang dan pergi. Aku mengawasi sekelilingku dan menyadari bahwa ternyata hanya ada beberapa orang di sana, termasuk aku. Stasiun menjadi sangat sepi jika tidak ada jadwal keberangkatan kereta. Hawa dingin semakin membuatku menggigil diantara kebosanan dan sepi.


Selama kurang lebih tiga jam aku menunggumu, waktu terlama dalam hidupku untuk menunggu seseorang. Jengah, lelah, hingga ingin marah, sebelum akhirnya aku mendengar suaramu yang meneleponku, mengabarkan bahwa kamu telah sampai. Perasaan lega, haru, dan senang bercampur jadi satu. Akhirnya aku dan kamu dipertemukan kembali, di stasiun ini. Aku menamakannya ruang rindu, ruang aku dan kamu bertemu.
***


Perpisahan; adalah salah satu moment yang paling kubenci. Di dalamnya selalu ada air mata, perasaan haru, serta kehilangan. Iya, aku dan kamu akan terpisah lagi. Kita kembali di ruang ini—stasiun ini. Tanganmu meraih tanganku, memelukku, dan kemudian kamu mengecup keningku. Tak terasa, sudut mataku telah basah.


Satu minggu pertama, dua minggu, satu bulan, dua bulan... tanpa sadar aku jadi rajin menghitung waktu. Barangkali, jarak mempunyai hak untuk menjauhkan. Menjauhkan aku darimu, pun sebaliknya. Jarak menjauhkan kita. Dari selalu, menjadi sering, kemudian jarang, hingga tidak pernah sama sekali. Kita hanya berhenti saling bicara. Iya, kamu tidak pernah lagi mengirimkan kabar untukku. Kamu menghilang. Aku kehilangan.
***


Maret 2012


Aku masih duduk terdiam di sini---di stasiun Malang Kota Baru, menunggu kereta datang.
“Sayang, kamu udah nunggu lama ya? Sori nih telat. Keretanya belum datang kan?” tiba-tiba muncul suara yang mengagetkanku dan segera membuyarkan lamunanku. Aku menatapnya sejenak, menggeleng, kemudian tersenyum padanya.


“Ah, syukurlah.”


Terdengar dia menghela napas pelan. Aku segera menggeserkan badanku, memberinya ruang untuk duduk di sampingku. Kulihat dia merogoh isi tasnya, dan mengeluarkan sesuatu.


“Oh iya, nih buat kamu,” katanya seraya menyodorkan dua batang cokelat kesukaanku. Bola mataku tampak membesar. Girang. Aku tersenyum lagi padanya, kali ini lebih lebar.


“Makasih ya, Sayang,” jawabku sambil berkeling manja padanya--- lelakiku; Bisma. Lelaki yang telah menikahiku dua bulan yang lalu. Dan kali ini, aku kembali berada di ruang rindu ini, tidak lagi sendiri---berdua. Kini, aku telah berdamai dengan waktu dan hatiku. Mencoba mengikhlaskan masa lalu dan melupakan segala tentangmu. Membuang ruang rindu, aku dan kamu; dulu. Kini; tidak ada salam perpisahan, tidak ada pelukan selamat tinggal, dan tidak ada isak tangisan seperti dulu; hanya ada senyuman.*

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun