Rintik hujan kini membasahi sebagian rambutku saat aku sedang perjalanan pulang.
Aku mempercepat langkahku saat hujan semakin deras. Mataku menyusuri tempat yang sekiranya bisa untuk berteduh.
 Sebuah toko yang sudah tutup menjadi tempat berteduhku. Berdesakan dengan orang-orang yang bernasib sama, lupa membawa payung.
 Aku pikir hujan hari ini akan lebat, melihat gulungan awan hitam memenuhi langit tanpa sisa. Awalnya aku berniat untuk menunggu hujan hingga reda. Namun hingga petang hujanpun masih setia untuk turun. Emperan toko yang tadinya berdesakan kini terasa lenggang. Hanya tinggal aku seorang, menunggu hujan hingga benar-benar reda.
"Hei!"
"Hei!!"
 Aku mendengar seseorang memanggil. Tapi aku tak menoleh karena menganggap itu hanya memanggil orang lain bukan aku.
"Hei!"
 Ternyata aku salah. Akhirnya aku mencari sosok tersebut. Tidak ada siapa-siapa, hanya ada gelapnya kota yang di terangi oleh lampu-lampu jalan.
 Pikiranku mulai kacau. Memikirkan hal-hal buruk yang mungkin akan terjadi.
 Tanpa berpikir panjang, aku pun menerobos gerimisnya hujan. Tak peduli hujan membasahi diriku. Aku hanya ingin mencari tempat yang ramai. Sayangnya, seseorang yang memanggil itu masih terdengar. Seolah-olah ia memanggilku. Bahkan suaranya terdengar semakin mendekat. Aku berusaha untuk tidak menoleh. Tidak ingin melihat hal buruk yang mungkin terjadi.
Â
"Hei"
 Lalu  aku berjalan terburu-buru hingga lupa kalau sekarang sedang hujan. Jalanan yang licin membuatku terpeleset. Namun, yang kurasakan sebuah tangan yang menahanku. Membuatku tidak terjatuh.
"Kenapa kau lari?" Tanyanya tepat di telingaku.
 Aku bingung. Haruskah aku mengatakan kalau ada seseorang yang sedang mengejarku? Tapi bisa saja  dia yang mengejarku.
"Aku yang tadi memanggilmu" sahutnya seolah-olah mengetahui isi pikiranku.
 Aku terkejut dan malu. Pasti wajahku sudah memerah. Bagaimana bisa pikiranku ke mana-mana tadi? Apa yang harus kukatakan padanya?
"Aku hanya ingin menawarkan payung ini untukmu"
Pria itu menjulurkan payung hitam yang masih tertutup rapat untukku.
Aku mengangguk. Meski merasa aneh, mengapa ia tidak memakai payung itu di tengah gerimis.
"Ayo!"
Tiba-tiba ia membukakan payung itu dan mengulurkan tangannya. Membawaku ke bawah  payung hitamnya, bahkan aku belum sempat untuk menjawabnya.
Aku pikir ia akan mengantarkanku pulang. Ternyata tidak, kami berhenti di depan toko buku. Ia menyerahkan payungnya kepadaku.
"Aku ada janji disini, kamu bisa membawa pulang payungnya"
Aku menangguk dan hendak berbalik. Tetapi aku teringat akan sesuatu.
"Temanku bawa mobil, kamu tidak perlu khawatir"
Aku melongo dibuatnya. Bagaimana ia bisa tahu aku akan menanyakan bagaimana ia akan pulang jika aku yang membawa pulang payungnya.
"Baiklah terima kasih" Ucapku.
Sampai saat ini aku masih belum tahu nama pria yang ada di hadapanku ini.
"Devin"
Tanpa sadar aku tersenyum mendengar namanya. Seperti nama perempuan pikirku. Aku suka namanya, lucu he he.
"Memang terdengar seperti nama perempuan. Devin Azzam. Apa masih terdengar seperti nama perempuan?" tanyanya
Aku menggelengkan kepalaku memberikan senyuman dan bergegas balik. Devin benar-benar menakjubkan.
Aku menyempatkan untuk menoleh ke belakang. Ternyata Devin masih berdiri disana. Menungguku hilang dari pandangannya dan ia melambaikan tangannya.
Tanganku terangkat membalas lambaiannya Devin
"Terima kasih, Dev"
Keesokan harinya aku memilih untuk jalan kaki  ke kampus. Memilih jalan yang kulalui kemarin sore.
Berharap bisa bertemu Devin kembali. Bukan karena apa aku hanya ingin mengembalikan payungnya dan ucapan terima kasih.
Aku melirikkan mataku pada payung hitam yang ada ditanganku. Â Mengingat kejadian semalam yang membuatku malu. Bagaimana bisa aku mengira jika Devin itu makhluk astral? Padahal niatnya baik, aku tidak tahu harus bagaimana jika bertemu dengannya lagi.
"Rin!" panggil Fina yang tengah memarkirkan motornya di parkiran kampus.
"Tumben jalan kaki?" tanyanya
"Iya lagi kepingin aja"
"Cuaca cerah gini ngapain kamu bawa-bawa payung Rin? Sepertinya tidak akan hujan"
Aku mengangkat payung hitam ditanganku
"Ah, ini bukan punyaku, aku cuma mau mengembalikan payung"
"mengembalikan ke siapa?"
"Devin" ucapku
Fina menghentikan langkahnya tiba-tiba dan berbalik menatapku. Wajahnya terlihat terkejut sekali.
"kenapa? Kamu kenal Devin?" tanyaku
Dengan cepat Fina menggelengkan kepalanya. Berusaha mengembalikan raut wajahnya seperti biasa kembali " engga aku ga kenal, aku duluan ya Rin"
"Iya"
Kita berpisah di pertigaan koridor. Fina menuju kelasnya dan aku menuju kantin. Pikirku, kenapa Fina sangat kaget saat mendengar  nama Devin?
Aku heran cuaca akhir-akhir ini cerah sekali. Padahal sekarang sudah memasuki bulan penghujan , aku sedang rindu hujan kali ini.
Â
Bahkan orang-orang mulai heran melihatku, seorang gadis di tengah teriknya matahari membawa Payung hitam.
Belakangan ini hampir setiap hari aku membawa payung Devin, takut kalau ketemu dijalan bisa langsung mengembalikan payungnya
Aku berhenti di depan sebuah toko buku. Persis tempat dimana  aku dan Devin berpisah. Aku berharap Devin ada di dalam.
Nihil. Aku berputar berkali-kali mengelilingi rak-rak buku tapi tidak ada Devin sama sekali.
Sampai akhirnya sebuah buku menarik perhatianku. Rindu hujan, judul yang tertera dibuku bersampul biru itu. Aku sedikit tertawa, bagaimana bisa kebetulan dengan situasiku saat ini. Tapi aku bukan rindu hujannya, aku rindu dia yang hadir saat hujan turun, Devin Azzam.
Aku memutuskan membeli buku Rindu Hujan, lalu kembali menyusuri jalan yang kulalui bersama Devin waktu itu. Hari masih siang dan banyak toko yang masih buka. Aku mencari toko tempatku berteduh saat hujan minggu lalu.
Toko itu masih tutup seperti terakhir kali aku kemari. Seperti tak ada yang berubah. Aku berdiri di emperan toko, mengamati orang-orang yang sibuk berlalu lalang. Berharap Devin salah satunya.
"Hei!"
Aku yang sudah merasa putus asa dan hendak pergi mengurungkan niat. Begitu mendengar seruan itu. Aku berbalik namun yang kudapati hanya rasa kecewa, itu bukan Devin.
"Manggil aku?"
"Iyalah siapa lagi? Ngapain disini? " tanya Fina padaku.
"Mau jalan pulang, kamu sendiri ngapain disini?" ujarku bohong, aku tidak ingin Fina tahu
Bukannya menjawab pertanyaanku, Fina malah menarikku pergi. Awalnya aku ingin menolak namun rasanya Devin tidak akan datang dalam waktu dekat.
"Sebenarnya ada yang inginku bicarakan padamu" ujar Fina sembari menoleh kanan kiri
"Apa?" tanyaku penasaran
"Ini tentang Devin"
Aku menghentikan langkahku. Untung saja sudah sampai di seberang jalan, jadi tidak mengganggu lalu lintas.
"Aku ingin kau bertemu dengan seseorang" Ujar Fina tiba-tiba.
Hanya sebuah kalimat namun bisa membuat perasaanku senang. Harapan yang awalnya pupus kini kembali terlihat
Ternyata Fina mengajakku ke sebuah kafe yang berada di seberang toko buku. Kami memasuki kafe diiringi dengan suara lonceng yang terpasang di atas pintu. Kami menuju meja yang menghadap jendela. Disana sudah ada seseorang yang menunggu kami.
Kini aku duduk di hadapan dua perempuan yang mengaku kenal dengan Devin. Canggung, tidak ada yang memulai obrolan.
Elia  mengeluarkan sesuatu yang ada di tasnya. Sebuah payung hitam, yang sangat persis seperti payung yang kubawa. Aku pikir ini hanya kebetulan ternyata tidak.
"Aku Elia. Ini payung milik Devin"
Aku kaget, payung yang kubawa juga milik Devin
"Sepertinya kita memiliki nasib yang sama, sejak sebulan yang lalu aku mencari Devin Azzam" ujar Elia
"Tunggu, apa ini? Aku tidak mengerti" ucapku
"Aku tahu ini sangat sulit di mengerti tapi Devin tidak nyata. Dia berbeda dengan kita" Fina menyodorkan sebuah koran lama kepadaku.
Berita di halaman utama membuatku terdiam, berusaha meyakinkan bahwa ini bohong. Foto Devin terpampang disana. Jelas tertulis  Devin adalah korban tabrak lari 1 tahun silam. Yang terjadi tepat di depan toko tempatku dan Devin pertama kali bertemu .
Itu artinya aku tidak akan bertemu lagi Devin. Pencarianku selama ini sia-sia. Devin dan aku berbeda. Dan selama ini aku jatuh hati padanya. Sekeras apa pun aku menyangkal ini kenyataannya
"Terima kasih" Hanya kata itu yang bisa kuucap.
Aku mengalih pandanganku, menatap gerai toko yang sudah tutup di seberang jalan. Entah kenapa ada rasa sakit saat mendengar penuturan Fina dan Elia.
Apa aku telah jatuh hati lada Devin? Tidak mungkin. Kami baru bertemu untuk pertama kalinya, tapi tetap saja rasanya sakit.
Aku beranjak dati kafe meninggalkan Fina dan Elia. Langkahku menuju toko itu, menatap lama toko itu.
"Terima kasih, Dev" Ucapku
Aku meletakkan payung hitam milik Devin di depan toko. Segera beranjak dari sana, meninggalkan begitu saja. Aku tidak ingin bayang-bayang Devin mengikutiku.