Saya mengenal Ethan dan Justin tidak berapa lama. Tetapi nasib kedua remaja ini sangat menyentuh hati saya dan Damien. Awalnya Damien bekerja dengan mereka sebagai Youth Care Worker beberapa waktu lalu dan Damien sangat menyayangi keduanya. Mereka adalah keturunan Native-Canadian alias suku Indian. Pertama diperkenalkan pada mereka, saya hanya berpikir, "waduh kedua anak ini tinggi amat ya". Keduanya terlihat malu-malu berpandangan dengan saya tapi kalo berkomunikasi dengan Damien, mereka sudah seperti teman baik. Hari itu kami baru tahu bahwa Ethan akan segera berangkat ke Montreal untuk ikut wajib militer. Ethan berumur 19 tahun dan dia belum lulus High School, tinggal 3 kredit katanya, sementara Justin adiknya, masih berumur 17 tahun dan dia vakum selama setahun dari High School karena permasalahan pribadi. Damien dan saya mengajak mereka makan malam di Moxie's yang kemudian dilanjutkan nonton Ninja Assassin di Silver City. Setelah itu lama sekali kami tidak bertemu lagi sampe suatu hari Damien sangat membutuhkan salah satu peralatan fitnessnya yang dulu pernah dititipkan ke Justin ketika dia mau visit saya ke Indonesia. Jadi dia mulai menghubungi Justin lewat Facebook untuk meminta alat-alatnya kembali. Saya berpikir bahwa barangkali Ethan sudah berada di Montreal already. Dua minggu lalu, pas week end akhirnya kita ada waktu untuk mengambil peralatan fitnessnya Damien di rumah kontrakannya Justin. Waktu itu Justin tidak ada, yang ada hanya neneknya. Selama hidup mereka, Ethan dan Justin tinggal dan dirawat nenek mereka. Nenek mereka mengenal Damien sudah sejak lama dan ketika kita datang, dia terlihat sangat ingin ngobrol Damien mengenai Justin, mumpung Justin tidak ada. Neneknya bercerita bahwa akhir-akhir ini Justin terlihat depresi mungkin salah satunya karena ditinggal Ethan wajib militer dan masih terbayang kematian adik perempuannya beberapa waktu silam. Kemudian dia berusaha membuat janji dengan salah satu psikiater untuk memeriksa Justin,
she wish that it would literally help him. Dia hanya
concern jika Justin menunjukkan tanda-tanda
suicide karena tekanan hidup yang menimpanya. Orang tua Ethan dan Justin tinggal terpisah. Ibunya seorang alkoholik dan juga
drug addicted sejak dia masih remaja. Kehidupan sekolahnya juga morat marit karena sejak kecil dia adalah seorang pembangkang. Ayah Ethan dan Justin sendiri adalah seorang
homeless. Setahun terakhir dia tinggal di Union Gospel Mission (UGM), sebuah yayasan sosial yang juga berfungsi sebagai
shelter untuk para
homeless di Winnipeg. Dia juga seorang alkoholik. Justin bilang bahwa saat dia di UGM, dia bekerja di sana dan
quit drinking untuk sementara namun sekarang dia kembali ke alkohol lagi. Alhasil Ethan dan Justin tinggal bersama nenek mereka yang tidak bekerja. Disini, di Canada, orang miskin mendapatkan tunjangan sehingga mereka masih mampu untuk sewa rumah. Namun sekali lagi, hidup disini tidak murah karena semua serba privat, terutama utilities, seperti listrik, air bersih, telepon dan internet. Jadi tunjangan yang diberikan pemerintah pun masih sangat kurang untuk mereka. Kalau untuk urusan makan, neneknya meminta bantuan dari
food bank setiap 2 minggu sekali. Untungnya sekolah dari SD-SMA disini tidak bayar sehingga Ethan dan Justin bisa tetep ke sekolah. Salah satu hal lagi yang membuat Justin depresi adalah dia mempunyai pacar yang juga depresi dan alkoholik. Di satu sisi dia harus
deal dengan tekanan hidupnya sendiri namun disisi lain dia juga menghadapi situasi kejiwaan pacarnya yang juga labil. Lengkaplah sudah semua alasan itu! Akhirnya Damien berkata bahwa dia akan membantu sebisa mungkin untuk berkomunikasi dengan Justin dan mengajaknya
hang out minggu depan. Kebetulan pas kami akan pulang, kami berpapasan dengan Justin dan sempat membuat janji untuk ketemuan sabtu minggu depan, sekedar dinner atau nonton. Akhirnya dia mengiyakan. Hari Sabtu lalu, kami mengajak Justin makan malam di restoran Korea, Nou Eul Tor, sebuah restoran yang sering kami kunjungi karena ayahnya Damien adalah konsultan bisnis restoran ini. Dia bilang ini sebuah pengalaman baru, katanya, ketika mencicipi masakan Korea yang ada di hadapannya. Seraya makan, kami bercerita
ngalor ngidul mengenai Ethan yang memutuskan untuk kembali ke Winnipeg, karena dia tidak betah. Selama pendidikan, dia hanya dibayar $2500. Uang sebesar itu tergolong sedikit untuk Montreal karena
cost of living di Montreal sangat tinggi. Pemerintah Canada tidak mampu membayar tinggi
army saat ini, karena rakyatnya sangat tidak menyukai militer. Ethan juga tidak suka gaya hidupnya di Montreal, karena pada saat weekend teman-temannya lebih suka ke bar dan maen
striptease, sementara Ethan (dan juga Justin) tidak minum dan tidak suka berbuat seperti itu. Jadi waktu weekend dia lebih suka menghabiskan waktu di
base. Pihak militer sendiri sebenarnya sangat menyayangkan kalau Ethan harus mundur karena dia anak pintar, namun tekad Ethan untuk mundur sudah bulat. Namun sebelumnya dia sudah menandatangani kontrak dan dia harus kembali jika dibutuhkan sewaktu-waktu pada saat perang. Jika dia menolak, maka dia akan dijebloskan ke dalam penjara. Aku sempat terperanjat mendengar hal itu, sambil menelan ludah pahit. Ya Tuhan, malang sekali nasib anak ini. Sungguh tidak manusiawi, pikirku, namun nasi sudah menjadi bubur. Ethan sudah menandatangani kontraknya dan dia harus menerima resikonya. Sangat membuatku terharu. Aku hanya berharap semoga perang Irak dan Afghanistan segera berakhir sehingga Ethan tidak harus ke medan perang jika suatu saat militer Canada membutuhkannya. Selesai makan malam, kami singgah ke Robin's donut untuk sekedar minum kopi sambil menikmati
dessert. Disitulah akhirnya Justin menceritakan masalahnya kepada kami. "
it has been tough lately man" katanya. Kami hanya bisa mendengarkannya. Sesekali aku menarik napas panjang, merasa bersyukur untuk orang tuaku yang membesarkan aku dengan baik. Masalah utamanya adalah tidak adanya kestabilan dalam keluarga. Sementara pacarnya juga depresi, kondisi studinya yang terasa berat dan juga kemiskinan yang melandanya sejak lahir. Namun saya tetap salut dan optimis bahwa Ethan dan Justin suatu hari akan sukses untuk keluar dari kemiskinan. Mereka adalah anak-anak baik yang tertempatkan dalam suatu kondisi yang
tough. Mereka telah beranjak dewasa dan dituntut dewasa sebelum waktunya, karena tidak ada pilihan lain. Mereka bukan alkoholik,
drug addicted maupun
gang member seperti anak-anak muda yang miskin pada umumnya disini. Di akhir percakapan, aku menanyakan pada Justin, apa rencana Ethan setelah dia kembali. Dia menjawab bahwa Ethan akan kembali ke sekolah dan berusaha menyelesaikan High Schoolnya dan dia ingin melanjutkan ke college melalui
student loan dari Pemerintah Canada. "
Go for it, because I believe that it will change his life somehow" I said. Sementara Justin berencana untuk bekerja di musim summer ini. Aku selalu berdoa untuk Ethan dan Justin supaya bisa keluar dari kemiskinan yang dibawa pendahulunya. Untuk anak-anak lain yang kurang beruntung,
somehow, I believe there is a way to get out from the poverty if we choose to. Untuk anak-anak yang saat ini beruntung mendapatkan kesempatan sekolah dan mendapatkan orang tua yang baik, jangan sia-siakan, namun juga jangan menjadi manja.
KEMBALI KE ARTIKEL