Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Gap Year

30 Juni 2024   17:06 Diperbarui: 30 Juni 2024   17:19 134 1
Kalah perang, itulah yang saya rasakan meski saat ini berstatus sebagai mahasiswa baru teknik kampus negeri di Sumatra. Kampus hijau yang hanya 5 menit berkendara dari rumah dinas bapak.

"Kamu harus pulang, kamu nggak bisa urus diri. Kuliah, kita lihat saja nanti. Swasta pun tak apa", kalimat terakhir ibu di ujung telepon. Sebelum akhirnya bapak menjemput saya dari kota hujan.

Saat seluruh mahasiswa di Indonesia sedang melakukan demontrasi besar besaran menginginkan reformasi negeri ini. Saya tergolek di ranjang rumah sakit sembari menggulung mimpi besar tentang kehidupan dan cita-cita. Dokter menyarankan cuti kuliah agar bisa fokus ke pengobatan.

***

"Apa kabar Dan", lelaki berkulit gelap berambut ikal tersenyum lalu mengulurkan tangan.

"Nggak lupa kan?", cengengesan khas yang membuat ikut tertawa.

"Hah nggak lah. mana mungkin lupa Toni catur kan?"

Kami tertawa berderai bersama seperti saat duduk di bangku sekolah dasar. Saat SD saya dan Toni sempat punya gank belajar bersama yang terdiri dari empat orang dan Toni yang istimewa. Bukan hanya pandai di pelajaran , Toni piawai memainkan biduk catur hingga ia menjuarai lomba catur tingkat nasional dan beritanya tertulis di surat kabar nasional. Tapi sejak lulus SMP saya tak pernah mendengar kabarnya lagi.

"Kamu SMA 9 kan?"

"Yoi!"

"Kamu kemana aja. Yoga sekarang di Jogja , Bayu Bogor", ujarku singkat mengabarkan gank kami saat SD.

"Habis orientasi ke beringin cinta ya."

Toni memang tak pernah berubah, selalu menghidupkan suasana. Tahun ini kita menjadi mahasiswa baru setelah kehilangan satu tahun alias gap year. Jika saya harus kalah perang karena sakit, Toni harus berjuang dan bertahan hidup.

Ia berkisah, setelah SMA hidupnya memang berubah. Toni yang dulu sekolah tak pernah membayar uang karena beasiswa , saat di sekolah menengah atas harus keluar biaya tambahan karena jarak sekolah dan rumahnya yang jauh. Ironisnya Toni memilih membolos tak berangkat sekolah . Bukan karena malas tapi merasa sia sia, sudah keluar ongkos ternyata gurunya sering tak masuk mengajar , hanya meninggalkan catatan untuk difotokopi atau setumpuk lembar kerja siswa.

Bagi kami siswa yang terbiasa berdisiplin di sekolah swsta favorit , masuk sekolah negeri adalah perubahan besar. Bayangkan kami harus terbiasa dengan kelas yang langit langitnya bolong hingga langit. Beberapa guru random yang wujudnya mirip lelembut jarang terlihat di kelas tapi sering menitipkan tugas. Era itu nasib guru mirip Pak Umar Bakrie, harus punya sampingan di luar sekolah demi tuntutan hidup yang tak murah.

Toni berkisah selepas SMA , ia bingung tak punya uang untuk melanjutkan kuliah dan nilainya tak bisa untuk mengajukan beasiswa. Pilihannya bekerja setahun mengumpulkan modal untuk biaya kuliah , tapi pekerjaan apa bagi lulusan SMA yang tak memiliki skill. Ia berkisah menjadi pemburu ular kobra di pedalaman Jawa Barat.

"Hasilnya lumayan Nan. Kulitnya bisa dijual dan dagingnya dimakan."

"Ah loe makan uler?"

"Enak lho Nan", pelotot Toni lalu tertawa terbahak.

Ia menjelaskan ular hidup dikumpulkan lalu dijual dipengepul. Banyak hal yang ia pelajari menjadi pemburu ular, mulai dari menghadapi hewan berbahaya hingga paham beragam bisa ular. Tapi paling penting adalah bertahan hidup di alam bebas terutama hutan.

"Hidup nggak gampang ya Nan. Dulu kita tahunya main dan sekolah", Toni menerawang .

"Iya. Jadi mau apa", tanya saya random.

"Guru."

"Eh serius."

"Serius lha . Passing grade paling rendah UMPTN kan FKIP. Aku kan ikutan bimbel jadi tahu diri aja.Nan."

"Oh karena passing grade. Gaji guru nggak gede lho."

"Hehehe. Beneran aku mau jadi guru. Kamu?

Aku cuma diam lalu nyengir. "Jangan pikir aku mau jadi insinyur. Wong sama listrik aja takut."

"Hah?" muka Toni kaget. Belum sembuh traumanya?

"Aku nggak punya pilihan Ton. Aku nggak mau kehilangan setahun lagi. Paling penting proses pengobatan berjalan, dekat rumah dan kuliah."

"Yakin aja , Tuhan punya rencana terbaik", Toni tersenyum.

Percakapan hangat dua sahabat lama yang makin menyadarkan bahwa setiap manusia punya timeline hidup masing masing. Jangan pernah menyesali prosesnya yang tak berkenan rencana manusia . Nasib saya dan Toni mungkin tak semulus teman teman kami tapi pada akhirnya kami yakin ada rencana Tuhan yang lebih besar menanti. Kita boleh dendam dengan masa lalu yang tak selalu manis tapi jangan bawa dendam menjadi luka apalagi racun untuk menapaki masa depan.  Biarkan dendam menjadi bahan bakar usaha dan kerja keras selama berproses. Lalu ia hanya akan menyisakan suksesi dan kisah manis di masa depan.

Saat belum mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi dan harus menanti di momen adalah hal yang berat. Terutama bagi saya yang pernah bersekolah di SMA favorit , ekpetasi semua orang jawabannya pasti kampus negeri dan jurusan favorit . Tapi Toni tetap bangga dengan pilihannya menjadi guru sejarah . Ia yang dulu jago tak logika tak memilih jurusan yang mengandalkan kemampuan eksakta. Ia berpikir logis memilih jurusan yang tak biaya tetek bengek lainnya seperti praktikum dan buku buku yang mahal. Baginya menjadi guru adalah cita cita mulia sederhana yang tak banyak biaya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun