Perjalanan ke Timor Leste adalah sebuah dilema, di satu sisi saya sangat senang karena ini perjalanan panjang bersama menjelajah Flores namun di sisi lain ada ketakutan mengadapi luka politik antara Indonesia dan Timor Leste. Ada kisah pilu ketika kedua negara ini harus berpisah. Banyak berita satir bagaimana harusnya kami orang Indonesia wasapada jika melakukan perjalanan ke Timor Leste.
Kehangatan Usai Perjalanan 12 Jam
Setelah terguncang-guncang di dalam minibus seharian melewati jalan berkelok ekstrim antara Kupang Dilli, akhirnya kami sampai di kesusteran St Elisabeth daerah Taiibesi. Suster Yovita dan Yolita menyambut kedatangan kami, mempersilakan kami masuk. Ya malam ini kami bermalam di kesusteran atas kebaikan seorang teman jalan yang memiliki relasi baik.
Suster Yolita pergi ke dapur sedangkan Yovita menunjukan kamar yang akan kami tempati.
"Kalian muslim?", tanya suster Yovita.
"Iya", jawab El teman perjalanan saya.
"Nanti kalau mau sholat, silakan di sini", suster Yovita mengantar kami ke ruangan kecil. Ia menunjukan sajadah yang sudah diarahkan ke kiblat. Saya dan El saling berpandangan. Entahlah ada perasaan damai di dalam hati ketika mereka yang bukan muslim menyediakan tempat terbaik untuk beribadah. Seumur hidup baru saya paham apa arti toleransi dengan menjadi minoritas.
Saat malam akan tidur saya dan El sempat membahas kesan pertama di Dili ketika menerima kebaikan sederhana tapi memberi kesan dalam. Ternyata Timor Leste tak seburuh yang tertulis di media Indonesia. Saya sempat khawatir membawa kamera layaknya jurnalis tapi pada akhirnya banyak tak terduga saja jumpai. Seperti akhirnya bisa masuk istana kepresidenan hanya karena mengobrol dengan penjaga istana.
Kebaikan Paroki Wolofea
Murusombe adalah sebuah ambisi perjalanan, ini tentang perburuan terjun kembar jauh di desa Poma. Dari Maumere kami bergerak menuju Ende setelah 36 km kami berbelok menuju Wolofeo. Sebelum malam gelap kami harus sampai Poma karena jalan semakin buruk. Malam hampir datang mobil yang kami terpuruk di Wolofeo dan kondisi kendaraan tak memungkingkan kami sampai di Poma.
Seorang warga menyarankan kami untuk bermalam di Wolofea dan mengantar kami ke komplek paroki Wolofea. Romo Anis dan para suster menyambut kami dengan baik. Malam ini kami bermalam di salah satu bangunan yang juga difungsikan sebagai panti asuhan. Malam itu kami makan malam bersama dengan anak-anak panti dengan menu utama nasi jagung.
Keramahan orang-orang timur malam ini benar-benar menggetarkan hati saya dan El. Ya kami beda keyakinan dengan mereka tapi malam ini kami dijamu layaknya kerabat yang baru pulang kampung. Lagi-lagi kami diberikan ruangan khusus untuk melaksanakan shalat.
Toleransi agama memang bukan hal baru, jauh sejak mengenal pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila) pelan-pelan mulai dikenalkan sejak TK hingga menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Namun memang terasa berbeda jika kita menjadi mayorita, kita selalu berharap orang bertoleransi dengan keyakinan kita. Pusatnya selalu yang mayoritas, kita pun bisa memvalidasi bahwa toleransi boleh tapi tidak bertentangan dengan keyakinan padahal ini hanya tentang mengucapkan hari raya.
Belum lagi saat di Ramadan, dengan gaharnya kita akan melarang orang makan di hadapan kita dengan alasan toleransi. Padahal ibadah itu antara manusia dengan Tuhan, saya rasa tak perlu mengontrol orang lain agar ibadah kita lancar. Semua tergantung diri kita.
Pertanyaan Tentang Toleransi
Malam itu saya dan El kembali membahas toleransi agama dalam balutan keramahan khas orang Timur.
"Luar biasa ya El dari Dili sampai Flores"
"Aku nggak terbayang rasanya menjadi minoritas tapi dihargai", El menerawang.
Ya perjalanan ini kami banyak mendapat pengayaan batin bukan hanya menyambangi tempat-tempat indah. Ada satu pertanyaan yang sampai ini belum terjawab. Sebagai mayoritas, akankah kita terpikir untuk memberikan tempat ibadah yang layak bagi minoritas yang singgah di rumah kita.