Mengutip dari bukunya mendiang Agus Sunyoto "Atlas Walisongo" mengatakan bahwa ajaran kapitayan yang dijalani, memberikan dampak besar mulai dari perkataan, pemikiran hingga tingkah laku orang jawa.
Mengutip dari bukunya dr. Abdullah Ciptoprawiro yang berjudul "Filsafat Jawa" mengatakan bahwa zaman kerajaan hindu yang berkuasa dijawa, terlepas dari model kepemimpinan atau strategi perangnya, ternyata menampakkan orang-orang bijak dalam hal ini disebut "Filsuf Jawa" dimana mereka memiliki kecerdasan intelektual juga diimbangi kesadaran spiritual yang mampu memberikan dampak kepada sesama salah satunya lewat karya.
Beberapa diantaranya:
- Mpu (Pujangga) Kanwa. Hidup pada masa kerajaan Airlangga. Karya : Arjunawiwaha (The Nuptails of arjuna)
- Mpu Tantular. Hidup pada masa Raja Agung Hayam Wuruk kerajaan Majapahit. Karya : Sutasoma
- Yasadipura I (1729-1801). Karya : Dewa Ruci, Ramayana, Baratayuda, Mintaraga
- Paku Buwana IV. Hidup dalam masa kebangkitan sastra jawa kuno. Karya : Wulangreh (Ethics)
- Ranggawarsita (1802-1873). Cucu dari Yasadipura II dan Cicit dari Yasadipura I. Karya : Serad Wirid Hidayat Jati,
- Paramayoga, Pustaka Raja Purwa, Kalatidha, Saloka Pari Basa.
- Mangku Negara IV (1809-1881). Salah satu Raja Surakarta. Hidup sezaman Ranggawarsita dan hubungan mereka akrab. Karya : Wedhatama dan Tripama.
Berangkat dari beberapa orang-orang hebat ini, mulailah kelihatan orang-orang bijak jawa (dikemudian hari) lalu memberikan pesan atau petuah yang mana hingga kini pun masih di gunakan sebagai landasan hidup khususnya orang jawa. Jika membahas tentang karakter orang jawa, bisa dilihat dari beberapa aspek, diantaranya :
- Aspek kesabaran
Jawa diakui sebagai masyarakat yang berpenampilan sederhana, budi pekerti baik, sabar dan lemah lembut. Gaya bahasa pun dinilai sangat santun jika saat berbicara satu sama lain. Seperti pepatah jawa kuno mengatakan dengan istilah "Cakra Manggilinan" yang artinya adalah kehidupan itu seperti roda yang terus berputah.
Tidak hanya berada diposisi atas, tapi setelah bergerak pun sangat memungkinkan berada dibawah. "gak miber nalika dipuji, gak tibo nalika di maki" (tidak akan merasa tinggi ketika diberi pujian, dan tidak akan jatuh ketika diberikan caci-maki).
Masyarakat jawa juga mempercayai adanya hasil yang tidak akan jauh dari usaha serta proses menuju itu. Proses merupakan step yang mau tidak mau harus dilalui untuk menuju harapan. Sedangkan hasil adalah ranah Illahi sedangkan tugas kita hanya menerima yang telah diberikan.
Seperti pepatah "Gliyak-gliyak Tumindak, sareh pakoleh" yang artinya tak masalah jika usahanya dilakukan secara perlahan, yang penting tujuannya tercapai. Kesabaran mencapai tujuan/harapan memang perlu dibina dan dikontrol dengan baik. Persis sesuai dengan Al-Qur'an yang berbunyi "sesungguhnya Allah bersama dengan orang sabar".
Sabar dan tekun itu dua keping yang saling berdampingan. Biasanya orang yang sabar efek sampingnya menjadi tekun. Sabar menghadapi tekanan kerja, sabar jika dagangannya belum laku, sabar menghadapi bos yang tidak sesuai, bahkan sabar dalam bisnis yang mungkin lagi down.
Orang sabar itu kemungkinan menjadi orang yang lapang dada itu ada. Kalau dalam jawa, orang sabar itu ya nerimo, ikhlas, gak neko-neko. Beberapa orang sukses juga melalui proses yang tidak sebentar, jika saja mereka tidak punya sifat sabar/tekun mungkin yaa akan gagal.